Rabu, 03 Februari 2010

Abdullah bin Zubair

Seorang pemimpin gerakan oposisi pada masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal
khilafah Bani Umayyah. Dia adalah bayi pertama yang lahir dikalangan Muhajirin
di Madinah. Ayahnya bernama Zubair bin Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar
as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad SAW dari istrinya, Aisyah
binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari "Empat 'Ibadillah" (empat orang
yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih sahabat Nabi SAW yang dikenal
menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, Tiga orang 'Ibadillah lainnya adalah
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin As.
Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika bersama
ayahnya turut dalam Perang Yarmuk (Agustus 636M), dan empat tahun kemudian
kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di Mesir. Ibnu
Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh
melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa tersebut mengundang
kekaguman penduduk Madinah kepadanya.

Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas
menyusun Al-Qur'an. Di masa KhalifahAli bin Abi Talib, ia bersama Aisyah
mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian
kasus pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan ini didukung oleh beberapa tokoh,
seperti Ja'la bin Umayyah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basra, Sa'ad bin As, dan
Wahid bin Uqbah (pemuka kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan beberapa sahabat senior
(Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam), dan ayahnya. Perselisihan antara
kelompoknya dan kelompok Ali yang sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta
(Waqiah al-Jamal). Dalam perang inilah ia menyaksikan ayahnya gugur. Disebut
Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta saat memimpin pasukan itu.

Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun di masa Mu'awiyah bin
Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, ia tampil menantang
khilafah (pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan. Ia memprotes Yazid,
putra Mu'awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan ayahnya setelah
ayahnya wafat. Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair
bersama Husein bin Ali (cucu Nabi SAW) dan Abdullah bin Umar agar menyatakan
kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap membangkang. Demi keamanan,
keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap sebagai penantang khalifah sekalipun Husein,
tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam pertempuran tak seimbang di
Karbala (10 Oktober 680M).

Pernyataan secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas
dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan. Setelah
menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah di bawah
pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan orang-orang Madinah
tersebut dalam Perang Harran (Agustus 683M). Kematian Muslim bin Uqbah tak
menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah dengan sasaran
mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan menghujani
kota Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka'bah terbakar.
Berita meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin
Numair, mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk
kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa
ia akan tetap di Mekah. Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai
amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu tidak lebih dari sekedar nama, namun
lawan-lawan dinasti Bani Umayyah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah
sempat menghargainya sebagai khalifah.

Setelah Mu'awiyah II putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair
muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada
kandidat lainnya yaitu, Marwan bin Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua kabilah
Arab berdomisili di Suriah, juga saling bersaing mengajukan calon masing-masing.
Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik mengalami
perubahan, akibat pemberontakan di Kufa (685M) dan pembelontan di antara
pengikutnya, setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi ketika
Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan,
putra Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan "Sang Penantang Enam
Khalifah" - dari Ali, Mu'awiyah, Yazid, Mu'awiyah II, Marwan bin Hakam, sampai
Abdul Malik. Tidak kurang dari tujuh bulan (Maret-Oktober 692M) diperlukan untuk
menghujani kota suci Mekah dan Ka'bah dengan bombardir pasukan al-Hajjaj untuk
melumpuhkan perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putra-putranya
menyerahkan diri kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali setelah
berjumpa sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan
memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada
ibunya rasa khawatir, bahwa mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para
pembunuhnya kelak. Ibunya mengatakan bahwa kambing yang sudah disembelih tak
sedikit pun akan merasakan sayatan-sayatan pada dagingnya. Jawaban ini
mendorongnya keluar dari rumah tempat ia bertahan , maju ke tengah-tengah
lawannya yang kemudian menyergap dan menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada
tiang gantung yang sama di mana saudaranya, Amr, pernah mengalami hal serupa.
Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada ibunya. Taklama
berselang, setelah menguburkan mayat putranya itu, ia pun wafat.

Mediaislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar