Kamis, 25 Februari 2010

Anthony Giddens: Sang Pencari Jalan Lain


Apa yang akan terjadi dengan ekonomi kita setelah pemilu 2009 memenangkan madzab eko-politik neoliberal? Ini pertanyaan menarik karena refleksi kita adalah, jika kemiskinan tak segera dituntaskan (oleh madzab ekonomi apapun), ia akan menjadi salah satu alat picu kekerasan yang stabil. Beberapa bukti riset menunjukkan bahwa kekerasan dan bahkan gerakan sparatisme yang masih tumbuh subur di negara kita disebabkan karena kemiskinan yang tak diselesaikan. Maraknya tribalisme, fundamentalisme, terorisme dan ketegangan pusat-daerah adalah bukti tak terbantahkan tentang hal itu.
Zaman kita (di banyak negara) bagi Giddens memang dicengkeram oleh banyak kekerasan. Baik disebabkan oleh kemiskinan, fanatisme, maupun separatisme dan fundamentalisme. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya adalah bahwa “it’s importance has never been adequately analysed within the major traditions of social-politic theory.” Kekerasan yang oleh sosiolog masa lalu hanya dicari solusinya tanpa dipecahkan penyebabnya. Sosiologi masa lalu memang lahir dengan filsafat positifisme yang suka berbicara bagaimana, bukan mengapa: solusi bukan sebab. Padahal, sosiologi dalam pengertian luas harus bicara sebab dan solusi sekaligus.
Karena alasan tersebut, ambisi Giddens adalah bukan hanya memperbaiki teori sosiologi dan ekonomi politik sehubungan dengan meluasnya kekerasan dan perang di banyak tempat. Melainkan memberikan “jawaban serius” melebihi jawaban-jawaban yang telah lahir dari peneliti sebelumnya. Dalam wawancaranya dengan wartawan dan mahasiswanya, Giddens mengatakan: “Saya ingin melakukan tiga hal sekaligus: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial-politik yang baru, dan mengajukan analisis baru tentang munculnya lembaga-lembaga modern.” Rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift. Ini memang sebuah nubuwah yang dahsyat.
Giddens–seperti kita di lembaga Nusantara Centre–memulai pekerjaannya dengan cara yang biasa, umum dan tak aneh. Tentu saja, Giddens mulai dengan membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi dan politik, Karl Marx, Emil Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Setelah paham dan merangkumnya, hasilnya lalu diterbitkan menjadi buku, Capitalism and Modern Social Theory: An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971). Buku ini serta merta mendapat tanggapan hangat sebagaimana tampak pada komentar dan apresiasinya di media dari pengamat buku di Inggris.
Langkah berikut, setelah menguasai pikiran dan karya tokoh-tokoh sosiologi-politik, Giddens melanjutkan petualangannya dengan mengumpulkan pemikir-pemikir besar kontemporer. Bukunya yang memuat inti bacaan dan resum terhadap data itu adalah, New Rules of Sociological Method (1976/1993). Membaca buku ini, kita harus akrab dengan pemikiran filsuf-filsuf besar dunia seperti Wittgenstein, Husserl, Heidegger, Popper, Gadamer. Giddens seolah menjadi murid dan juru bicara terfasih dari tokoh-tokoh tersebut pada para pembacanya.
* *
Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya TheThird Way (1999). Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan kanan. Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok kanan karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Giddens terang-terangan mengkritik program ekonomi Partai Konservatif yang bernaung di bawah “Thatcherisme.” Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran kiri maupun kanan, tetapi berakar dalam visinya yang utopian realism. Tentu utopia yang realistis sendiri menciptakan kebingungan bagi banyak kalangan, tetapi Giddens berargumen bahwa utopia adalah jalan untuk direalisasikan.
Akhirnya, buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan ilmu sosial-politik-ekonomi. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor. Menjadi salah satu teori tercanggih tentang agensi dalam sosiologi modern. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Saat Tony Blair menjadi PM Inggris, Giddens adalah penasehatnya. Karena itu, Giddens ikut merancang reformasi Labour Party menjadi New Labour Party. Reformasi ini menyebabkan kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris tahun 1997. Akan tetapi Giddens kini juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Bill Clinton.1
Kekaguman orang pada pemikiran Giddens masih belum selesai. Pada usia di bawah 70 tahun, orang berharap Giddens masih akan terus kreatif dan inovatif, melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang segar serta memberikan pertanyaan epistemis dari kata mengapa dan bagaimana sehingga melahirkan sebab dan solusi.
Biografi Intelektual Giddens
Giddens lahir dan besar di Edmonton, London, di tengah keluarga kelas biasa karena bapaknya hanyalah pegawai Transportasi di London. Dialah anggota keluarga pertama yang masuk universitas. Mendapatkan gelar akademis pertamanya dari Universitas Hull tahun 1959, dan kemudian mengambil gelar Master di London School of Economics, diikuti dengan PhD dari King’s College, Cambridge pada 1974. Tahun 1961, Giddens mengajar sosiologi di Universitas Leicester. Di Leicester, yang dianggap sebagai salah satu dari persemaian sosiologi Inggris, ia bertemu Norbert Elias–seorang sosiolog kenamaan waktu itu. Pada tahun 1969, Giddens mendapatkan posisi di University of Cambridge, dan membantu menciptakan Komite Ilmu Sosial dan Politik, yang menjadi sub-unit Fakultas Ekonomi.
Giddens bekerja beberapa tahun di Cambridge sebagai mahasiswa S.3 King’s College dan akhirnya dipromosikan menjadi profesor penuh (guru besar) pada tahun 1987. Dia adalah salah seorang pendiri Polity Press (1985). Dari tahun 1997-2003, Giddens menjabat direktur London School of Economics dan anggota Dewan Penasehat Institute for Public Policy Research. Dia juga menjadi penasihat mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair; di mana saat itulah Giddens mencetuskan “jalan ketiga.” Menjadi peserta yang vokal dalam perdebatan politik Inggris, mendukung Partai Buruh kiri dengan tampil di media dan banyak menulis artikel. Giddens juga merupakan kontributor tetap untuk penelitian dan kegiatan-kegiatan Jaringan Kebijakan yang sangat progresif. Mendapat gelar bangsawan pada bulan Juni 2004, sebagai Baron Giddens, dari Southgate di London Borough of Enfield dan berkedudukan di House of Lords untuk Partai Buruh.
Ide-ide Besar Giddens
Sebagai penulis buku yang sangat produktif, Anthony Giddens dikenal karena pendekatan lintas disiplin: sosiologi, antropologi, arkeologi, psikologi, filsafat, sejarah, linguistik, ekonomi, perubahan sosial dan politik. Mengingat pengetahuan dan karya-karyanya, kita dapat melihat pikirannya sebagai bentuk grand sintesis dari teori sosiologi yang kemudian mendunia dan masih terus dikaji. Tentu ini menyebabkannya menjadi salah satu intelektual besar dunia. Jika mau disingkat, beberapa tesis besarnya ada enam yaitu:
1. Neo-Sosiologi
Istilah ini paling tepat dikemukakan sebagai ”ide besarnya.” Sebab, Giddens memang ingin menjadi bapak sosiologi yang melebihi para sosiolog sebelumnya. Memang, sebelum 1976, sebagian besar dari tulisan-tulisan yang ditawarkan Giddens merupakan komentar kritis terhadap sosiolog generasi sebelumnya. Juga merupakan perlawanan terhadap madzab fungsionalisme yang sangat dominan (Talcott Parsons, Max Weber dkk.), serta mengkritik evolusionisme dan materialisme historis. Dalam Capitalism and Modern Social Theory (1971), Giddens mendiskusikan kekuasaan, konstruksi sosial, modernitas dan institusi dari pandangan sosiologis. Lalu, Giddens mendefinisikan sosiologi sebagai studi tentang lembaga-lembaga sosial-politik yang dilahirkan oleh transformasi industri dan mengungkung manusia dengan teorinya sehingga tidak berkembang.
Dalam buku, New Rules of Sociological Method (1976), Giddens mencoba untuk menjelaskan bagaimana sosiologi harus dilaksanakan dan berbicara panjang lebar dengan membagi antara teoretisi yang memprioritaskan hal makro dan hal mikro. Giddens kemudian menolak paradigma positivisme sosiologis Durkheim dan interpretatif sosiologis Weber dengan menyatakan bahwa meskipun masyarakat bukanlah suatu realitas kolektif maupun individu, mereka harus diperlakukan sebagai unit pusat analisis.
Dalam konteks transformasi masyarakat, Giddens akhirnya menekankan pentingnya kekuasaan karena kapasitasnya untuk melakukan transformasi dan mengubah dunia yang dibentuk oleh pengetahuan ruang dan waktu. Kekuasaan akan menghasilkan kegiatan produksi dan reproduksi masyarakat sebagai cara bertahan hidup demi cita-citanya.
Singkatnya, tugas utama sosiologi baru adalah: (1)menjelaskan perbedaan bentuk-bentuk kehidupan secara deskriptif agar mudah dipahami; (2)menjelaskan produksi dan reproduksi masyarakat sebagai hasil yang dicapai oleh agensi dan struktur yang selalu dinamis dan berubah.
2. Strukturasi
Setelah menunjukkan keharusan adanya neo-sosiologi, Giddens bergerak ke teori strukturasi. Teori ini mengeksplorasi pertanyaan apakah individu atau kekuatan sosial yang membentuk realitas sosial kita. Giddens berargumen bahwa walaupun orang tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan mereka sendiri, dan pengetahuan mereka terbatas, mereka tetap merupakan agen yang mereproduksi struktur sosial dan mengarah pada perubahan sosial. Giddens menulis bahwa hubungan antara struktur dan tindakan adalah sebuah elemen fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah dualitas yang tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utamanya terkandung dalam ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa orang-orang membuat struktur masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka dibatasi olehnya.
Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti struktur diciptakan, dipertahankan dan diubah melalui tindakan. Sedangkan tindakan bermakna diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur: garis kausalitas berjalan di dua arah sehingga mustahil untuk menentukan siapa yang mengubah apa. Dalam hal ini, Giddens mendefinisikan struktur yang terdiri dari aturan dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia: aturan membatasi tindakan.
Di sini, Giddens membedakan antara sistem dan struktur. Sistem menampilkan properti struktural tetapi tidak struktur diri mereka sendiri. Sistem di sini diartikan Giddens sebagai kegiatan yang didasarkan pada agen-agen manusia dan berpola hubungan sosial yang melampaui ruang-waktu. Proses sistem mereproduksi struktur ini disebut strukturasi.
Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan, tetapi juga memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna umum. Giddens menunjukkan bahwa struktur (tradisi, institusi, kode moral, dan harapan) pada umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah, terutama melalui konsekuensi tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan mereka, menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda.
Dengan demikian, aktor (agen) menerapkan aturan-aturan sosial yang sesuai dengan budaya mereka yang telah dipelajari melalui sosialisasi dan pengalaman. Aturan-aturan ini bersama-sama dengan sumber daya yang mereka miliki digunakan dalam interaksi sosial. Aturan dan sumber daya yang digunakan dalam cara ini tidak deterministik, tetapi diterapkan secara refleks oleh aktor berpengetahuan. Dengan demikian, hasil dari tindakan tidak sepenuhnya dapat diprediksi.
3. Jaringan Mikro-Makro
Reproduksi hubungan antara berbagai subyek, individu atau agen dan kekuatan sosial menghasilkan jaringan. Tetapi tidak sekedar jaringan biasa melainkan jaringan mikro-makro yang akut. Strukturasi dengan demikian sangat berguna dalam mensintesiskan isu-isu mikro dan makro.
Pada skala makro, ekonomi dunia dapat berjalan sendiri tetapi tetap berpengaruh pada ekonomi suatu negara. Penjelasan serius masalah tersebut harus terletak di suatu tempat dalam jaringan kekuatan makro dan mikro. Dengan demikian tingkat yang berbeda ini, sebenarnya terungkap memiliki pengaruh signifikan terhadap satu sama lain, dan tidak bisa benar-benar dapat dipahami jika dipelajari dalam ketiadaan jaringan. Singkatnya, Giddens menyimpulkan bahwa semua perubahan sosial berasal dari campuran kekuatan tingkat mikro dan tingkat makro.
4. Identitas Sosial dan Identitas Diri
Setelah meyakinkan kita bahwa hak makro selalu berhubungan dengan peristiwa mikro, Giddens kemudian melanjutkannya pada diskursus identitas diri dan identitas sosial yang juga akan berubah. Menurutnya, masa pasca orde tradisional, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek refleksif (sebuah upaya bahwa kita terus bekerja dan merenungkan). Ini bukan seperangkat karakteristik yang diamati sesaat, tetapi menjadi sebuah nilai dari kehidupan seseorang. Giddens menulis bahwa identitas seseorang tidak dapat ditemukan dalam perilaku, maupun dalam reaksi orang lain, tetapi pada kemampuan untuk menjaga akan narasi tertentu.
Kita membuat, memelihara dan merevisi sekumpulan narasi biografi, peran sosial dan gaya hidup serta cerita tentang siapa kita, dan bagaimana datang untuk berada di tempat sekarang. Kita semakin bebas untuk memilih apa yang ingin kita lakukan dan yang kita inginkan. Tapi peningkatan pilihan dapat membebaskan sekaligus mengganggu. Membebaskan dalam arti meningkatkan kecenderungan seseorang dalam pemenuhan diri sehingga sangat individualis. Menyusahkan dalam arti terjadi peningkatan emosional untuk menganalisis pilihan-pilihan yang tersedia. Padahal sebelumnya, masyarakat tradisional kita disediakan dengan narasi dan peran sosial, sementara pada masyarakat pasca-tradisional kita biasanya dipaksa untuk menciptakan diri kita sendiri. Identitas diri dan identitas sosial yang dulu tidak menjadi bahan-bahan utama dalam sosiologi kemudian menjadi sangat penting di hipotesa-hipotesa Giddens.
5. Modernitas
Pada masa apakah identitas sosial dan identitas diri berubah? Tentu jawabannya pada masa modern. Karena itu, modernitas menjadi diskursus utama berikutnya. Modernitas bagi Giddens diproduksi oleh perpanjangan dari kekuatan-kekuatan sosial yang sama yang terbentuk pada masa sebelumnya. Giddens tetap membedakan antara masyarakat pra-modern, modern dan post modern dan tidak membantah bahwa perubahan-perubahan penting telah terjadi tetapi mengambil sikap netral terhadap perubahan-perubahan tersebut. Giddens menekankan bahwa kita belum benar-benar melampaui modernitas. Ini hanya dikembangkan (detradisionalisasi) dan belum post modernitas.
Modernitas refleksif dan modernitas radikal adalah konsep-konsep penting lain yang diperkenalkan Giddens dalam studi modernitas, sebagai alternatif konsep postmodernitas. Singkatnya, dalam pembentukan modernitas ada empat gugus institusi: kapitalisme, industrialisme, pasar dan kekuatan militer. Keempat institusi ini saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah dan ancaman yang ditimbulkan: kekerasan negara, globalisasi, detradisionalisasi, dan relatifitas sosial.
Dalam situasi emat ancaman di atas, Giddens tiba pada kesimpulan bahwa kita akan mengalami Runaway World (dunia yang tunggang langgang). Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana. Istilah ini mungkin cukup pas untuk melukiskan dunia sekarang. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor Juggernaut (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh, dan jual-beli anak-anak. Ini semua berlangsung dalam suasana di mana tak ada lagi perlindungan yang lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. Singkatnya, modernitas bagi Giddens menghasilkan manufactured risk, dan masyarakat yang mengalaminya disebut risk society.
6. Jalan Ketiga
Dalam keadaan resiko masyarakat yang tinggi inilah Giddens mengusulkan ”jalan baru” sebagai alternatifnya. Hai ini disebabkan karena modernitas sedang berubah. Kadang berubah ke arah yang buruk. Giddens mencatat bahwa kehidupan politik diri akan menjadi lebih jelas terlihat daripada politik emansipatoris. Gejalanya kemudian gerakan-gerakan sosial baru dapat mengakibatkan perubahan sosial-politik secara lebih dahsyat dari partai politik lama. Partai politik akan terjebak pada kartel yang dominan sebagaimana perusahaan yang dikuasai-dimiliki segelintir orang.
Dalam karya-karya terbaru, Beyond Left and Righ (1994), Giddens mengkritik sosialisme pasar, dan membangun enam titik kerangka kerja untuk politik radikal rekonstitusi: memperbaiki kerusakan solidaritas, mengenali pentingnya kehidupan politik emansipatoris, menggerakan kepercayaan aktif yang menyiratkan politik generatif, merangkul demokrasi dialogis, memikirkan kembali negara kesejahteraan, menghadapi kekerasan dengan strategi yang tepat.
Lalu, The Third Way (1998) tidak hanya menyediakan kerangka yang di dalamnya jalan ketiga dijustifikasi, tetapi sebuah kumpulan besar proposal kebijakan ditujukan pada apa yang Giddens lebih condong sebagai pusat progresif-kiri dalam politik Inggris. Menurut Giddens sendiri, “Tujuan keseluruhan politik jalan ketiga harus membantu warga negara menuntun cara mereka melalui revolusi besar: globalisasi, transformasi dalam kehidupan pribadi dan hubungan kita dengan alam.” Dengan proposal politik jalan ketiga ini, Giddens tetap cukup optimis tentang masa depan kemanusiaan yang lebih beradab dan berlandaskan kemanusiaan.
Beberapa Karya Giddens
Sebagai pemikir besar, Anthony Giddens telah menulis lebih dari 34 buku dan 200an artikel di berbagai surat kabar dan jurnal. Beberapa yang penting adalah:
Giddens, Anthony (1971) Capitalism and Modern Social Theory. An Analysis of the writings of Marx, Durkheim and Max Weber. Cambridge: Cambridge University Press.
Giddens, Anthony (1973) The Class Structure of the Advanced Societies. London: Hutchinson.
Giddens, Anthony (1976) Functionalism: apres la lutte, Social Research, 43, 325-66
Giddens, Anthony (1976) New Rules of Sociological Method: a Positive Critique of interpretative Sociologies. London: Hutchinson.
Giddens, Anthony (1977) Studies in Social and Political Theory. London: Hutchinson.
Giddens, Anthony (1979) Central problems in Social Theory : Action, Structure and Contradiction in Social Analysis. London: Macmillan.
Giddens, Anthony (1981) A Contemporary Critique of Historical Materialism. Vol. 1. Power, Property and the State. London: Macmillan.
Giddens, Anthony (1982) Sociology: a Brief but Critical Introduction. London: Macmillan.
Giddens, Anthony (1982) Profiles and Critiques in Social Theory. London: Macmillan.
Giddens, Anthony & Mackenzie, Gavin (Eds.) (1982) Social Class and the Division of Labour. Essays in Honour of Ilya Neustadt. Cambridge: Cambridge University Press.
Giddens, Anthony (1984) The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1985) A Contemporary Critique of Historical Materialism. Vol. 2. The Nation State and Violence. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1986) Durkheim. London: Fontana Modern Masters.
Giddens, Anthony (1990) The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1991) Modernity and Self-Identity. Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1992) The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies. Cambridge: Polity (publisher).
Beck, Ulrich & Giddens, Anthony & Lash, Scott (1994) Reflexive Modernization. Politics, Tradition and Aesthetics in the Modern Social Order. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1994) Beyond Left and Right–the Future of Radical Politics. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1995) Politics, Sociology and Social Theory: Encounters with Classical and Contemporary Social Thought. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1996) In Defence of Sociology. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1996) Durkheim on Politics and the State. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1998) The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (1999) Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile.
Hutton, Will & Giddens, Anthony (Eds.) (2000) On The Edge. Living with Global Capitalism. London: Vintage.
Giddens, Anthony (2000) The Third Way and Its Critics. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (2000) Runaway World. London: Routledge.
Giddens, Anthony (Ed.) (2001) The Global Third Way Debate. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (2002) Where Now for New Labour? Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (Ed.) (2003) The Progressive Manifesto. New Ideas for the Centre-Left. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (Ed.) (2005) The New Egalitarianism Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (2006) Sociology (Fifth Edition). Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (2007) Europe In The Global Age. Cambridge: Polity (publisher)
Giddens, Anthony (2007) Over to You, Mr Brown-How Labour Can Win Again. Cambridge: Polity (publisher).
Giddens, Anthony (2009) The Politics of Climate Change. Cambridge: Polity (publisher)
Pancasila: Jalan Ketiga?
Adakah yang sama dari Pancasila dan proyek “melampaui kiri dan kanannya Giddens?” Agak susah menjawabnya. Tetapi kedunya berusaha mencari jalan dari kebuntuan eko-politik yang beriman hanya pada pasar dan negara. Pancasila berkawan dengan dua entitas sekaligus: pasar dan negara. Beberapa penjelasan berikut bisa membantu. Pertama, dalam diskursus Pancasila, peran individu dan negara tidak boleh mengalahkan “kebersamaan dan kegotongroyongan.” Kedua, kalaulah negara harus bekerja, ia tak boleh melanggar aturan-aturan bersama yang melindungi hak warga dan hak komunitas. Ketiga, pembagian kekuasaan ekonomi-politik menjadi tiga yang saling bekerjasama. Dalam wilayah ekonomi ada trias ekonomikus: BUMN-Swasta-Koperasi yang menjadi pelaku penyangga ekonomi nasional. Dalam wilayah politik ada trias politikus: Eksekutif-Legislatif-Yudikatif yang menjadi penyangga politik nasional. Keempat, segalanya diperuntukkan demi kemakmuran rakyat seluas-luasnya: bukan kekayaan negara apalagi orang seorang dan golongan.
Empat ide dasar ini merupakan konstitusi dasar kita dalam berekonomi-politik. Sebuah konstitusi yang jika dirujuk sejak awal keinginan merdeka dari bangsa ini, kita dapat baca dari tesis Tirto Adhi Soerjo [1880-1918], ”tak ada satu bangsa, terutama Eropa, percaya pada kami bangsa kulit berwarna. Mereka bisa percaya dan sayang asal kekayaan bumi kami diberikan pada mereka seboleh-bolehnya dengan cuma-cuma. Sehingga kami miskin, mereka sejahtera. Mereka menjajah, kami dijajah.” Selanjutnya, jika sejarah dibaca lebih luas, gagasan kemerdekaan republik Indonesia yang berpijak pada keinginan menjadi sejahtera dengan mengelola sumber daya [manusia dan alam] lewat tangan sendiri dapat kita temukan dari Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Hasyim Asari, Ki Bagus Mangunkusumo dan Mohammad Yamin.
Dari Tan Malaka kita mewarisi semangat revolusi (dan anti diplomasi) untuk mengusir penjajah. Dengan revolusi, lahirlah pasukan berani mati. Dengan pasukan berani mati, kemerdekaan dapat ditandatangani. Dari Soekarno kita mewarisi trisakti: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, berkepribadian secara budaya. Dari Hatta kita mewarisi ekonomi kerakyatan [koperasi] yang menjadi sintesa antara ekonomi komunis-kapitalis. Dari Syahrir kita mewarisi keadilan sosial yang menjadi landasan akhir manusia Pancasila sehingga bersama untuk bergotongroyong dan bergotongroyong untuk bersama. Dan, dari Yamin kita mewarisi negara hukum [law governed state] yang menyamakan dan membagi keadilan untuk semua. Refleksi dari nilai-nilai itulah yang melandasi Pancasila dan UUD 45.
Dengan demikian, dasar ilmu ekonomi-politik kita adalah demokrasi ekonomi sekaligus demokrasi politik. Penjabarannya kemudian menjadi ilmu ekonomi-politik yang berangkat dari manajemen ekonomi negara yang berbasis kekeluargaan-kegotongroyongan [one for all, all for one. bhineka tunggal ika tan hanna dharma mangrwa]. Dus, merefleksikan kembali gagasan eko-politik Pancasila2 menjadi penting agar negara dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan penduduk karena kemampuan dari individu-individunya tidak mampu memenuhi kebutuhannya dengan sendiri. Pandangan ini dimaksudkan sebagai sintesa dari pandangan Weber [1958] yang menulis bahwa, ”manusia didominasi oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan sebagai tujuan utama dalam hidupnya. Tetapi, ia tetaplah tidak akan mampu memenuhinya jika tidak ada motif, etika dan hukum yang melindungi persaingan mereka.” Singkatnya, menjadi kaya adalah tujuan hidup semua orang, keluar dari perangkap kemiskinan adalah dambaan setiap manusia. Terbebas dari kekurangan adalah impian setiap orang.
Cara merumahkannya tentu saja adalah mengingat kembali bahwa; Pertama, ilmu ekonomi-politik kita tujuannya adalah kemakmuran seluruh rakyat, bukan orang per orang dan golongan/kelas tertentu. Ini yang membedakannya dengan tujuan ilmu ekonomi-politik kapitalis yang mementingkan keuntungan kelas elit/golongan tertentu dengan menggunakan pendekatan teori “menetes” bukan merata. Dengan teori menetes, tentu saja hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Dan, tetesannya ke arah mereka yang miskin sehingga tidak akan cepat merata karena jumlah orang kaya selalu lebih sedikit dibandingkan kelas orang miskin. Kedua, adalah kewajiban keterlibatan dan partisipasi rakyat banyak baik dalam proses produksi maupun dalam menikmati hasil-hasilnya. Ketiga, konsistensi para aparatus negara untuk bersama merealisasikan cita-cita dasar dari ilmu ekonomi-politik kita. Inilah tiga ciri khas ilmu ekonomi-politik kita sebagai tujuan suci dari demokrasi Pancasila.
Ketiga prasyarat pokok tersebut menentukan sifat dari alokasi sumberdaya. Sifat pertama adalah adanya suatu mekanisme untuk mempertinggi kemakmuran. Kedua, adalah adanya suatu mekanisme agar penguasaan faktor produksi dan konsumsi lebih tersebar kepada seluruh rakyat.3 Dua hal inilah yang menentukan derajat pendemokrasian ekonomi [dalam hal ini demokrasi yang memihak rakyat banyak]. Selanjutnya, kita harus bekerja dengan cara: (1)Merumuskan strategi aliansi Koperasi-BUMN-Swasta; (2)Strategi pemasaran lewat distribusi demokratis; (3)Strategi realokasi aset guna memperkuat basis ekonomi rakyat; (4)Strategi penciptaan sistem kemitraan usaha dalam memasuki persaingan pasar terkelola; (5)Strategi cinta produksi dalam negeri dan penggunaannya sehari-hari; (6)Strategi ekspor pada hasil produksi bukan pada bahan baku; (7)Strategi kebijakan moneter; inflasi tinggi atau rendah; (8)Strategi kebijakan kurs; mengambang atau tetap; (9)Strategi kebijakan devisa; bebas atau terkendali; (10)Strategi kebijakan fiskal; berimbang atau defisit; (11)Strategi kebijakan utang; hapus atau penjadwalan kembali; (12) Strategi kebijakan industri perdagangan; berbasis sumberdaya alam dan berorientasi ekspor atau berbasis tekhnologi tinggi. []

www.yudhieharyono.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar