Kamis, 04 Februari 2010

Jurnalisme Bencana Alam

Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya
Kompas Jatim, 3/1/2005
Dan bencana alam-pun kembali mengguncang. Banjir yang mengharu-birui kota Surabaya dalam sebulan terakhir mungkin masih dianggap wajar dan biasa. Tapi banjir bandang yang melanda dua kecamatan di Kabupaten Jember yang menewaskan lebih dari seratus orang sungguh menyentakkan dan menggiriskan. Sebuah tragedi alam yang begitu lekat dengan keseharian kita, yang mengingatkan kita akan tragedi tanah longsor di Pacet, banjir bandang di Blitar, Malang Selatan, Lamongan dan Bojonegoro beberapa waktu lalu. Dan bencana serupa agaknya masih akan terjadi pada waktu-waktu berikutnya pada musim hujan ini. Karena menurut analisis Badan Meteorologi dan Geofisika, masih banyak lagi daerah di Jatim yang berpotensi disinggahi tanah longsor dan banjir.
Kita tidak memang tidak menyaksikan secara langsung banjir bandang yang meluluhlantakkan beberapa desa di jember tersebut. Namun melalui media, baik cetak (media), auditif (radio), ataupun audiovisual (televisi), kita bisa menyaksikan segala kengeriaan itu. Apalagi pada saat bersamaan,melalui laporan jurnalisme, media juga melaporklan bencana-benacana lain yang tak kalah ngeri yang terjadi di berbagai daerah. Bencana kelaparan di Yahukimo Papua, Gizi buruk di berbagai daerah, tanah longsor di Banjarnegara dan yang lainnya. Di media rentetan bencana tersebut telah menjelma teror dan horor yang begitu mencemaskan dan menggiriskan, sehingga begitu cepat mengundang respon khalayak, baik dari suprastruktur pemerintahan untuk segera turun gelanggang ataupun dari masyarakat untuk ikut andil dalam memberikan dan menyalurkan bantuan.
Peran Media
Harus di akui, jajaran media nasional secara umum dan media Jatim khususnya telah sukses dalam menyajikan berita dan informasi bercirikan straight news tentang berbagai bencana alam tersebut, hingga memancing simpati dan solidaritas masyarakat. Namun, di antara gegap gempita pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik hanya beberapa saja mampu menghidangkan racikan liputan yang disertai pendalaman materi lewat pendapat pakar dan riset kepustakaan. Malah tidak jarang beberapa oknum insan media datang berkunjung bersama para pejabat negara atau pun CEO korporasi baik nasional ataupun lokal, yang sesampai di lokasi bencana hanya berkeliling-keliling meninjau suasana, muaranya adalah statement pejabat tersebut.
Sang wartawan ini lagi-lagi terjebak dalam langkah awal ‘jurnalisme kata-kata’ (talking news) atau lebih tepatnya jurnalisme (kata-kata) pejabat. Lebih celaka lagi sang guru masyarakat sadar atau tidak telah menjadi corong untuk mendongkrak citra si pejabat, meski hanya keliling-keliling lokasi kejadian saja tanpa satu pun wawancara baik dengan korban, para relawan atau nara sumber lain yang dari menit ke menit menggeluti upaya resque pada fase awal bencana. Atau berbagai macam kendala dan sisi-sisi human interest selama masa evakuasi atau bahkan pemulihan mental korban.
Berita-berita dan informasi yang tersaji pasca bencana (mis: Gizi buruk di Surabaya, dan banjir bandang Jember) memang beberapa cukup informatif dan penuh nilai human interest. Tapi sekarang (ribuan orang pengungsi Jember masih tinggal di bawah tenda dan barak), dalam fase pembangunan ulang (recovery dan rehabilitasi) yang telah berjalan seminggu lebih. Mereka telah kehilangan harapan, kehilangan sanak saudara, rumah, tanaman, pekerjaan dan berbagai trauma psikis lain yang harus ditanggung.
Namun, lagi-lagi tulisan dan berita yang kita baca sebatas informasi peristiwa baik menyangkut kebijakan pemerintah, laporan-laporan tentang kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, arus dana dan bantuan hanya yang dilaporkan lewat siaran media, advetorial ataupun wawancara langsung tanpa rangkaian pertanyaan (meminjam ungkapan Bondan Winarno) yang berdaya atau power question, terencana dan terakumulasi untuk memperoleh informasi eksklusif, unik dan khas untuk disajikan keruang publik guna mengakselerasi penyembuhan kehidupan sosial ekonomi, lingkungan, dan trauma yang berkepanjangan.
Jurnalisme bencana
Laporan (jurnalisme) media tentang bencana alam mestinya harus selaras dengan manajemen pengelolaan kebencanaan, yakni laporan pra bencana, (saat) bencana, dan pasca bencana. Pada masa pra bencana atau disebut juga sebagai fase penyadaran akan bencana, jajaran media dapat memainkan perannya selaku pendidik publik lewat artikel ataupun berita yang disajikannya secara priodik, terencana, populer, digemari dan mencerahkan serta memperkaya khazanah alam pikiran publik dengan target antara lain :
(1) peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang bencana, mekanisme quick respon, langkah-langkah resque yang perlu, cepat dan tepat untuk meminimalisasi korban serta menekan kerugian harta/benda, (2) pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui muatan-muatan artikel tematis yang bersifat penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap potensi, jenis dan sifat bencana), (3) perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan tata-ruang; (4) pelestarian lingkungan.
Ketika bencana, disebut juga aktivitas emerjensi dan resque. Dalam periode ini dunia jurnalistik lebih menonjolkan penyajikan berita dan informasi yang bersifat menyejukkan hati para korban, mengurangi dampak susulan, menumbuhkan optimisme, di samping pengumuman-pengumuman identitas korban baik yang meninggal maupun yang mengungsi, alamat-alamat posko bantuan, lokasi puskesmas, poliklinik dan rumah sakit, lokasi pengungsian, serta melakukan peran kontrol terhadap kiprah para pelaku dan pemberi pertolongan yang kerap mengedepankan aktivitas kemanusian dan rasa kepedulian, dibalik keinginannya untuk mempromosikan diri ataupun organisasi.
Hal tersebut di samping untuk memudahkan dan memperlancar sang korban sesegera mungkin memperoleh kebutuhan dasarnya, juga memberikan informasi bagi para relawan yang hendak membantu dalam penyediaan berbagai kebutuhan primer korban, seperti : (1) sandang dan pangan; (2) sarana berlindung, rumah/barak penampungan, kemah, payung, jas hujan, jaket/baju tebal, selimut, dsb; (3) sarana kesehatan diri (obat-obatan dan kebutuhan darah) dan kesehatan lingkungan (air bersih dan MCK di tempat pengungsian); (4) peralatan ibadah, sekolah dan olah raga; (5) perlengkapan/peralatan ibu-ibu hamil, bayi dan jompo; dll.
Laporan-laporan yang mendalam hasil investigasi langsung dari lokasi bencana memberikan muatan news value yang cukup signifikan, eksklusif, dan berbobot. Berita-berita seputar drama kemanusiaan yang sangat humanistik dalam proses pencarian, penemuan dan perjumpaan kembali dengan sahabat, kerabat dan famili yang hilang saat bencana merupakan potret utuh refleksi egalitarianisme serta keikhlasan manusia tanpa diembel-embeli oleh nilai-nilai materialisme, dan atribut-atribut sosial yang dalam kondisi normal mempunyai posisi tawar tertentu. Hal semacam ini tentunya sangat layak di tampilkan dalam rangka peneguhan aktualisasi diri media di tengah masyarakat.
Dalam keadaan pasca-bencana yang disebut juga sebagai periode recovery dan rehabilitasi, kegiatan-kegiatan media dapat difokuskan dalam bentuk laporan-laporan secara luas dan mendalam, tentang konsep dan strategi pembangunan kembali infrastruktur, terutama fasilitas sosial dan fasilitas umum yang hancur/rusak akibat bencana, antara lain : (1) pembangunan kembali jalan, sekolah, rumah ibadah, saluran irigasi, dsb; (2) pembangunan sarana kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan; (3) pemberdayaan korban bencana; (4) bantuan pelayanan rehabilitasi mental dan cacat; (5) fasilitator proses repatriasi serta relokasi dan pemulangan kembali para korban, (6) pemberdayaan ekonomi dan sosial kebudayaan korban dll.
Di samping itu, kehadiran wartawan di lokasi dapat menyimak langsung seluruh kegiatan di atas seraya memainkan perannya selaku pemantau dan pengawas independen berbagai proyek bantuan dalam rangka mempercepat proses rehabilitasi dan penataan kembali tataruang yang telah porak poranda.
Untuk menghasilkan reportase dengan muatan pesan humanistik dan aktualisasi peran media pada saat pasca bencana, memerlukan keuletan daya dan nalar investigatif untuk memotret setiap detil dari fenomena yang ada, baik peristiwanya sendiri maupun suasana hati manusia yang terlibat di dalamnya, termasuk materi-materi dan kapital lain yang terkait. Oleh karena itu seorang jurnalis tidak cukup hanya bermodalkan sebuah tape recorder saja, namun dia juga harus mampu dalam menganalisa data kepustakaan lewat riset serta memilih nara sumber kunci dari segala lapisan yang relevan dengan konteksnya. Utopis mungkin, tapi jika tidak segera dimulai, kapan lagi?!***

Mochtar W Oetomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar