Rabu, 03 Februari 2010

Kekerasan Terhadap Media

Kasus tempo versus Tomy Winata bukan satu-satunya perkara hukum yang dialami pers akhir-akhir ini.

Contoh lain adalah Rakyat Merdeka versus (vs) Akbar Tandjung, Kompas vs Texmaco, Jawa Pos vs Kedaulatan Rakyat, dan Surya vs Tarmidzi Taher.

Padahal saat Jawa Pos "diserbu" Banser Jatim (2001), banyak pihak menyerukan masyarakat atau publik untuk menempuh jalur hukum jika bermasalah dengan pers.

Namun, saat Tempo berperkara dengan Tomy Winata di PN Jakarta Timur yang berujung rencana sita jaminan pada 29 September lalu, kalangan pers justru resah.

Pelarangan terbit dan penyerbuan kantor agaknya tidak lebih mengerikan dari ketidakadilan di pengadilan, kendati jalur hukum sebelumnya menjadi harapan.

Barangkali, hal itulah yang membuat direktur LBH Surabaya Deddy Prihambudi mempunyai saran agar pers melawan pemberangusan bukan lewat pengadilan.

"Pers jangan mau melayani kasus ke pengadilan, karena pengadilan juga bukan dewa yang suci," katanya dalam seminar 'Lawan Pemberangusan Pers' yang digelar AJI Surabaya dan Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya (7/10).

Bahkan, katanya, majalah LEGAL menyebut perkara di pengadilan memiliki tarif berkisar Rp25 juta hingga Rp1 miliar.

"Kalau cuma segitu, tarif itu amat murah bagi seorang Tomy Winata. Jadi, perlawanan pers jangan dibawa ke pengadilan, tapi bawa saja ke jalanan untuk mempengaruhi opini secara cerdas," katanya.

Ketua AJI Jakarta Rommy Fibri selaku pembicara pun berpendapat serupa. "Kesalahan pers mirip kesalahan dokter yang tak ada ceritanya dokter ditahan karena salah, tapi dibawa ke Majelis Etik Kedokteran," katanya.

Menurut wartawan Tempo itu, kesalahan pers adalah kesalahan prosedur, misalnya akurasi, keseimbangan (cover bothside), dan azas praduga tak bersalah, karena itu peradilannya harus dilakukan atas prosedur itu.

"Hal itu sama dengan jika ada polisi menembak, maka yang dihakimi bukan polisi sebagai institusi, namun apakah penembakan itu dilakukan sesuai prosedur atau tidak. Kalau tak sesuai prosedur ya diberi sanksi," katanya.


Khittah jurnalis

Namun, pengamat pers Mochtar W Oetomo yang juga pembicara seminar itu mempunyai pendapat berbeda.

"Pers itu tak dapat disamakan dengan profesi dokter, karena kesalahan yang dilakukan pers membuat seseorang mengalami kerugian besar akibat penyebaran informasi," katanya.

Menurut dosen Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya itu, pers bukan seperti dokter yang jika berbuat salah akan mengorbankan 1-2 orang, tapi pers akan merusak nama seseorang akibat dicemarkan secara meluas kepada jutaan orang.

"Tapi, saya juga tak sependapat jika pers dibawa ke pengadilan, karena hal itu juga akan merugikan publik itu sendiri, sebab jika pers mati maka publik tidak akan dapat menyuarakan aspirasi," katanya.

Oleh karena itu, katanya, pengadilan terhadap pers yang berbuat salah sebaiknya dilakukan dalam tiga cara, yakni melalui Dewan Pers sebagai lembaga abitrase dan komisi Ombudsmen sebagai alat kontrol internal pers untuk mencegah kesalahan.

"Cara lain yang tak kalah pentingnya adalah profesionalisme melalui berbagai proses pelatihan dan kritik dari masyarakat," katanya.

Tapi, katanya, ketiga cara itu patut dipertanyakan kepada pers sendiri, apakah hal itu sudah dilakukan, mengingat pers sudah lama meninggalkan "self control" seperti itu, bahkan Dewan Pers pun diabaikan.

Oleh karena itu, pers sebaiknya melakukan koreksi diri atas berbagai kasus yang dialami akhir-akhir ini untuk kembali kepada "khittah jurnalis" yang mengemban profesionalisme mulia.

"Pers harus kembali menengok tentang akurasi pemberitaan, keseimbangan (cover bothside), as as praduga tak bersalah, dan pelajaran tentang khittah jurnalis lainnya," katanya.

Bahkan, pers juga harus membangun persahabatan dengan sesama kalangan pers lainnya, sehingga jika ada masalah yang dihadapi TEMPO tentu akan dibantu oleh media massa lain.

"Jangan seperti sekarang, pers hanya membantu TEMPO dan Goenawan Muhammad, tapi coba pers yang berskala kecil atau pemimpin pers beroplah sedikit, apakah komunitas pers tidak akan membantu dan membiarkannya mati. AJI juga perlu bersilaturrahmi dengan PWI," katanya.

Di balik kasus TEMPO versus Tomy Winata agaknya menyiratkan pelajaran berharga bahwa pers harus kembali kepada perangkat hukum pers sendiri (Dewan Pers, Ombudsmen), kembali kepada ajaran jurnalistik sejati melalui pelatihan profesionalisme, dan membangun silaturrahmi sesama komunitas pers. (ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar