Oleh Mochtar W Oetomo
http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini
Sabtu, (12-03-'05)
Seperti dilansir oleh hampir semua media, semenjak Sofjan Djalil diangkat
menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), hampir dalam setiap
kesempatan ia melontarkan baku kritik kepada perkembangan tayangan televisi di
Tanah Air. Terutama berkaitan dengan tayangan kriminalitas dan misteri yang
makin marak. Menurut Menkominfo, berbagai tayangan kriminal dan misteri sudah
melampaui ambang etis, dan karenanya Pak Menteri minta pada Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) untuk bersikap tegas terhadap stasiun-stasiun televisi yang
telah melampaui ambang ini.
Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Menkominfo tersebut jauh hari telah
banyak dilontarkan oleh para kritikus dan pemirsa. Sejak lama berbagai tayangan
televisi telah menuai reaksi keras dari banyak kalangan, baik dari ormas Islam,
kalangan pendidik maupun kalangan masyarakat lainnya. Tayangan dengan berbagai
kemasan tersebut antara lain berupa tayangan-tayangan yang bernuansa mistik,
pornografi, kekerasan dan, tema remaja (terutama yang direpresentasikan dalam
dunia sekolah). Hal ini bisa dimaklumi karena tayangan-tayangan tersebut memang
sudah sangat mengkhawatirkan bahkan boleh dibilang keterlaluan.
Tayangan mistik, misalnya, betapa telah mendistorsi pola pikir masyarakat
tentang keberadaan dunia lain. Ihwal dunia gaib dieksploitasi sedemikian rupa
secara terus-menerus di semua stasiun televisi swasta. Sehingga istilah
penampakan sudah sedemikian familier di benak pemirsa. Keadaan ini sudah barang
tentu dikhawatirkan akan menyesatkan, bahkan lebih fatal lagi bisa mengarah
kepada kemusyrikan. Sangat ironis bahwa di tengah upaya mengejar berbagai
ketinggalan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, secara sistematis masyarakat kita
diracuni oleh hal-hal yang irasional, diajak melanglang ke batas antara ada dan
tiada. Keadaan ini dalam banyak hal jelas bisa mengakibatkan kontraproduktif.
Akan halnya tayangan yang mengandung unsur pornografi, sudah sejak lama
mengundang keresahan. Simaklah beberapa tayangan film/sinetron yang sering kali
mengeksploitasi unsur seksualitas. Atau, acara yang mengupas tentang dunia
malam dengan gambar dan bahasa yang sangat gamblang. Ada juga acara yang
menelusuri liku-liku wilayah seksualitas manusia yang dibahas tanpa tedeng
aling-aling, bahkan terkadang vulgar.
Simak juga acara-acara musik dangdut yang mengeksploitasi tubuh yang penyanyi
dengan goyangan-goyangannya yang aduhai. Bahkan ada stasiun televisi swasta
yang menayangkan pentas goyang tersebut pada pukul 19.00 WIB (waktu di mana
anak-anak pun pasti ikut menonton) dengan menampilkan penyanyi yang pakaian dan
goyangannya sangat seronok. Di setiap awal acara, tiga penyanyi yang sekaligus
bertindak sebagai pembawa acaranya senantiasa mengingatkan. "Bagi pemirsa yang
berpenyakit jantung jangan menonton acara ini, karena kami akan menggoyang
layar kaca Anda!" (Padahal pada saat yang sama kita pun sangat mafhum bahwa
peringatan tersebut tak lebih dari tantangan belaka). Dan benar, berlangsunglah
pesta goyang tersebut selama satu jam, menimbulkan perasaan dag dig dug di hati
pemirsa.
Lalu, alihkanlah perhatian kita pada tayangan yang lain. Film-film/sinetron
yang bertema kekerasan maupun acara yang mengemas fakta-fakta perilaku kriminal
yang merupakan hasil investigasi disajikan dengan detail dan sangat
"telanjang". Sering kali dalam mengilustrasikan kasus pembunuhan, misalnya, di
samping diperagakan juga senjata tajam yang berlumuran darah pun kerap
diperlihatkan dengan jelas. Atau, tubuh korban yang rusak dan berdarah-darah
disorot dengan sangat fokus, menimbulkan kengerian yang tak terkira. Demikian
pula ketika mengilustrasikan kasus perkosaan, perdagangan wanita dan
sebagainya. Bukankah untuk mengilustrasikan kasus-kasus serupa itu bisa
ditampilkan dengan bahasa gambar yang lebih santun, lebih filmis, dan mengarah
pada substansinya, bukan mengeksploitasi kekerasannya?
Kekerasan kita terasa makin sempurna ketika kemudian menonton sinetron tema
remaja dengan setting dunia sekolah. Betapa tidak! Perilaku murid-murid di
sekolah yang tergambar hanyalah konflik-konflik percintaan yang penuh intrik.
Tidak ada tampilan mereka yang tengah serius beraktivitas dan berkreativitas
dalam belajar, umpamanya.
Bahkan gambaran murid-murid SLTP sekali pun yang notabene baru menginjak remaja
awal, hanya dipenuhi dengan romantika dan konflik cinta yang kadang menggunakan
bahasa yang kasar. Belum lagi perilaku-perilaku lain yang terasa keterlaluan.
Contohnya, dalam sebuah episode sinetron remaja ada adegan seorang murid yang
meniup (maaf) kondom dalam kelas. Subhanallah. Atau digambarkan, beberapa murid
yang duduk-duduk santai di atas meja kelas dengan seenaknya sambil ngerumpi dan
cekikikan, menunggu sang guru datang.
Kemudian yang terasa lebih keterlaluan lagi adalah sering digambarkannya posisi
guru yang menjadi bulan-bulanan para murid. Guru menjadi bahan tertawaan karena
digambarkan berperilaku konyol, perilaku yang mengada-ada. Dalam adegan yang
lain sering pula digambarkan ada murid yang nyeletuk dengan sangat tidak sopan
kepada guru ketika pelajaran tengah berlangsung, lalu ditimpali dengan tawa
riuh-rendah teman-teman sekelasnya. Perilaku para murid tidak sedikit pun
mencerminkan perilaku yang terpelajar.
Akan halnya sang guru, menghadapi situasi seperti ini digambarkan hanya bengong
melompong atau kebingungan, mati kutu. Tak ada wibawa, tak ada kharisma, tak
ada nuansa penghormatan sebagaimana mestinya. Maka suasana pembelajaran pun tak
lebih dari suasana pasar yang kacau-balau. Tak lebih dari arena permainan.
Bukankah semua itu merupakan bentuk pelecehan profesi dan dunia pendidikan pada
umumnya? Dan, kita sebagai pemirsa, menyaksikan adegan-adegan seperti itu hanya
mampu mengurut dada, khawatir kalau-kalau perilaku buruk tersebut kemudian
ditiru bahkan menjadi trend di kalangan para murid.
Tayangan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah acara-cara
infotainment. Tayangan tersebut di samping menyampaikan informasi yang mungkin
kita perlukan, tetapi di sisi lain sering kali membesar-besarkan
konflik/persoalan hidup kalangan selebritis. Bahkan tak jarang kemudian hanya
menjadi arena pamer kemewahan para pesohor tersebut; mulai dari sepatu, baju,
perhiasan, rumah dan gaya hidup lainnya. Bayangkan, misalnya, bagaimana ketika
hampir semua infotainment menggambarkan seorang artis yang baru memasuki rumah
barunya yang sangat fantastis senilai Rp 7 miliar. Harga akuariumnya saja konon
mencapai Rp 100 juta. Bayangkan! Mungkin bagi pemirsa yang kebanyakan masih
direpotkan dengan urusan makan sehari-hari, untuk memiliki rumah seharga
akuariumnya saja sungguh merupakan sebuah mimpi. Apakah semua itu tidak akan
menyulut api kecemburuan dengan segala implikasinya?
Mungkin terlalu ekstrem apabila saya mengatakan bahwa dunia televisi kita
dengan berbagai tayangannya itu sedang berada dalam zaman kegelapan. Namun
sulit pula untuk dibantah bahwa nyatanya tayangan-tayangan seperti itu setiap
waktu terus mengepung kita. Maka tak mengherankan kalau berbagai pihak
menyatakan bahwa melalui tayangan-tayangan seperti itu telah terjadi proses
pembodohan bangsa. Padahal idealnya salah satu fungsi televisi adalah justru
sebaliknya, yakni ikut serta mencerdaskan bangsa.
Mengenai panjangnya waktu yang dilewatkan anak-anak untuk menonton televisi
rata-tara 4 jam sehari, 28 jam seminggu, 1.400 jam setahun, atau 18.000 jam
sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai
dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ia pun lalu berkesimpulan bahwa nyatanya
anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk
kegiatan apa pun, kecuali tidur. Oleh karena itu, menurutnya, tak banyak hal
lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan televisi yang luar
biasa untuk menyentuh anak-anak dan memengaruhi cara berpikir dan berperilaku
mereka.
Menyadari akan begitu besarnya pengaruh televisi, kalau orang dewasa saja masih
banyak yang terpengaruh oleh ekses negatif tayangannya (ingat kasus perkosaan
yang konon pelakunya habis nonton tayangan goyang dangdut), maka apa yang dapat
kita bayangkan ketika tanpa disadari anak-anak kita turut menonton
tayangan-tayangan yang sejatinya tak boleh mereka saksikan? Padahal mereka
relatif belum mampu memaknai sebuah tayangan dengan seutuhnya. Mereka masih
berada dalam tahap pencarian objek identifikasi dan belum mempunyai saringan
yang cukup kuat dalam jiwanya. Lalu, bagaimana kalau mereka salah memilih objek
identifikasinya dan kemudian mengikuti perilakunya?
Adalah sangat bijaksana apabila para orang tua dengan selektif membimbing serta
mewaspadai ketika anak-anak menonton televisi. Apabila kalau anak-anak mulai
menjadikan televisi sebagai teman mainnya, menjadikannya sebagai alat utama
hiburannya. Dan, ketika upaya untuk menjauhkan anak-anak dari televisi kini
sudah merupakan suatu kemustahilan, tak ada jalan lain kecuali dengan
mengarahkan mereka pada acara yang memang bermanfaat untuknya. Kebersihan jiwa
mereka harus tetap kita pelihara. Seperti kata Menkominfo, KPI juga sangat
berperan besar dalam hal ini. ***
(Penulis adalah staf pengajar Fikom Unitomodan Direktur Surabaya Media School).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar