Kamis, 04 Februari 2010

Opera Sabun Sri Mulyani


Mochtar W Oetomo

Akhir-akhir ini, kisah hidup Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani layaknya plot sebuah opera sabun. Penuh intrik, ketegangan (suspense), bahkan misteri. Badai skandal bail out Bank Century, bukan menjadikannya porak dan ambruk, justru kian membumbungkan popularitas di mata publik (baca: penonton). Hal ini tidak hanya bisa di lihat dari besarnya dukungan dari para tokoh politik, intelektual dan pelaku ekonomi perbankan, tapi juga terus mengalirnya dukungan publik melalui group facebook bertajuk, “Kami Percaya Integritas Sri Mulani Indrawati !”
Seperti banyak dikutip media, jika sebelum Sri Mulyani bersaksi di hadapan sidang Pansus Century, member group ini hanya berkisar 10.000 orang, maka selepas bersaksi dukungan publik naik tajam hingga 6 kali lipat, yakni 67.156 member. Dan dalam hitungan jam setelah isu pencopotan Sri Mulyani sebagi Menkeu dilansir media, member group ini melonjak lagi hingga 70.046. Saat tulisan ini di buat (Rabu, 3/2), saat isu Sri Mulyani hendak di KPK-kan oleh Golkar tengah menjadi perdebatan, member group tersebut telah mencapai 82.396.
Inilah fenomena “masyarakat opera sabun” kita. Sebuah masyarakat yang memandang setiap peristiwa yang dilansir oleh media sebagai sebuah kisah opera sabun. Dalam masyarakat yang demikian, setiap lakon politik di media dipahami sebagai sebuah “sinetron politik”. Sebuah informasi atau berita politik di media dengan demikian bukan lagi sekedar sekumpulan pesan dalam satu format dan konstruksi tertentu, tapi telah menjelma menjadi sebuah drama kemanusiaan. Membentuk lakon-lakon, melahirkan penokohan-penokahan, menyajikan setting dan plot-plot tertentu. Dalam konteks inilah, sebuah praktik politik bukan lagi hanya sekedar sebuah mekanisme yang mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output), melainkan telah menjadi kisah pertarungan manusia melawan kesusahan dan upaya manusia menaklukkan penderitaan.
Sri Mulyani-lah yang telah menjelma menjadi tokoh protagonis, yang tengah bertarung melawan kesusahan dan tengah berupaya menaklukkan penderitaan. Ketika Sri Mulyani dicecar habis-habisan oleh anggota Pansus Century, maka yang nampak dalam logika opera sabun masyarakat kita adalah Cinderella atau Bawang Putih yang tengah teraniaya. Seorang perempuan yang charming, mengamit serangkum kembang dan memutar tasbeh tengah di keroyok oleh sekumpulan laki-laki garang yang memiliki otoritas dan kekuatan. Ketenangan dan kesigapan Sri Mulyani dalam menjawab setiap pertanyaan, bak karakter tokoh protagonis yang serba baik, dan menjadi pujaan penonton. Maka wajar dukungan publik melonjak hingga 6 kali lipat, selepas Sri Mulyani bersaksi di depan Pansus.
Masyarakat opera sabun memahami sebuah penokohan semata-mata pada karakter oposisi biner, antara tokoh protagonis dan antagonis, antara si baik dan si jahat, antara si cantik dan si cerewet. Sebagaimana selalu kita saksikan dalam sinetron-sinetron di televisi kita. Maka ketika Sri Mulyani berhasil merebut penokohan itu, di mata penonton Pansus Century kini menjadi tokoh antagonis yang jahat, cerewet, tidak punya etika, dan karenanya kumudian muncul banyak wacana untuk menghentikan proses Pansus.
Demikian juga dalam memahami sebuah plot (alur cerita), masyarakat opera sabun hanya memahaminya sebagai sebuah puncak konflik yang pasti dan harus berakhir dengan happy ending. Sementara setting hanya dipahami dengan apa yang tampak secara visual dan langsung bisa dilihat dengan sedap. Logis atau tidak setting itu, menjadi urusan yang kesekian.
Maka ketika isu tentang pencopotan Sri Mulyani sebagai Menkeu dibantah oleh SBY, Menko Perekonomian, Menko Polkam dan bahkan oleh Aburizal Bakrie yang selama ini dianggap sebagai musuh Sri Mulyani, dukungan publik semakin melambung. Ini semua karena kesadaran emosional penonton telah menjelma menjadi sebuah simpati yang pada titik ekstrimnya menjadi sebuah dukungan fanatik pada sang tokoh protagonis.
Penonton opera sabun tidak mau capek-capek memahami setting politik apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua itu. Sebagaimana penonton tidak mau ambil pusing setting di balik setiap pertanyaan tajam dan kritis anggota Pansus. Bahkan juga telah menjadi hal yang tak penting lagi, kebijakan bail out yang mengunakan uang negara itu legal atau tidak berdasar setting ekonomi politik pada saat itu. Alur cerita Sri Mulyani kemudian jauh menjadi lebih menarik daripada aliran uang 6,7 triliun itu kemana saja.
Penampilan Sri Mulyani yang selalu charming, tenang namun sigap dan cerdas. Track record-nya selama ini yang dikenal sebagai menteri yang bersih, independen dan profesional, menjadikan Sri Mulyani tidak lagi sekedar menjadi tokoh protagonis, tapi juga meneguhkannya menjadi seorang protagonista, menjadi seorang pemenang.
Opera sabun Sri Mulyani, semakin membelah opini publik tentang eksistensi Pansus dan kebjikan bail out Bank Century. Dan upaya untuk membuka tabir besar yang merugikan negara lebih dari 5 triliun (versi BPK) itupun kian kabur dan terasa semakin berat. Maka, jika logika opera sabun semacam ini masih mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, selamanya kita akan selalu tersesat setiap akan mengurai dan menyelesaikan persoalan besar yang membelit bangsa. Berpuluh pengalaman telah mengajarkannya.

Mochtar W Oetomo
Warga Solo dan Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura






Tidak ada komentar:

Posting Komentar