Dalam pluralisme hukum, fenomena POLITK HIJAU dunia menarik untuk dilihat. Dapat diamati melalui pengelolaan hutan misalnya, tampak jelas betapa hutan Indonesia harus menjadi keselamatan global Artinya, hutan di Indonesia tidak hanya berfungsi bagi masyarakat Indonesia (baik secara ekonomis, ekologis, dan sosial-budaya), namun juga berfungsi terhadap masyarakat lain di dunia.
Kehancuran hutan di Indonesia, menjadi contoh amat menarik betapa ‘ruang keselamatan’ dari hutan Indonesia sudah menjadi sangat krusial, strategis, bahkan tidak bisa tidak bisa untuk diselamatkanKontribusi Indonesia dalam menjaga hutan, kemudian turut dipertanyakan seiring dengan tidak berhentinya ‘penghancuran’ hutan yang terus terjadi tersebut. Fenomena ini, menggambarkan betapa lokal, nasional, dan global, dalam konteks keberadaan hutan, sepertinya tidak bisa lagi dibatasi secara tegas. Kerusakan hutan di tingkat lokal misalnya, dengan bentuk dan alat ukur tertentu, diyakini akan berpengaruh dalam kehidupan secara Global.
Begitu juga dengan kerusakan hutan nasional yang bisa jadi menimbulkan kecaman dari berbagai pihak secara global, karena dianggap dapat menghancurkan ‘keamanan’ global. Melalui fenomena demikianlah, bagi saya sudah menampakkan pluralisme hukum yang terus berkembang.
Dalam hal pengelolaan hutan, menampakkan betapa konsep pluralisme hukum sedang terus bergerak. Dalam konteks pluralisme hukum dalam definisi mutakhir, menampakkan konsep global dan lokal saling bersanding untuk bisa menyelamatkan hutan –terlepas di dalamnya juga menampakkan kontradiksi-kontradiksi. Konsep pluralisme hukum yang dimaksud, menyangkut mobilitas individu dan masyarakat.
Hukum dari berbagai level dan penjuru dunia bergerak memasuki wilayah-wilayah yang tanpa batas, dan terjadi persentuhan, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi di antara hukum internasional. Terciptalah hukum transnasional –akibat penyesuaian dan persentuhan, pemenuhan kepentingan antar kerjasama antar bangsa.
Tidak mungkin lagi dibuat pemetaan-pemetaan seolah-olah hukum tertentu (internasional, nasional, lokal) merupakan entitas yang jelas dengan garis-garis batas yang tegas dan terpisah satu sama lain (Woodman, 2004). Pluralisme masa kini, terutama sangat terkait dengan hukum yang bergerak dalam ranah globalisasi. Adanya fenomena global, salah satunya melalui ekspansi yang hegemonik (Irianto, 2007).
Fenomena global menampakkan salah satu wajahnya dalam hal eksistensi hutan di Indonesia. Seperti yang telah disebutkan, hutan di Indonesia yang masih tersisa, kita dipertaruhkan menyangkut dengan kepercayaan global di bidang ‘pembangunan hijau Dengan demikian, keberadaan hutan sudah melintasi bidang ekologis semata, namun jauh lebih dari ituBahkan sudah masuk ke relung politik (global). Seiring dengan perjalanan waktu, hutan Indonesia terus mengalami kerusakan. Menurut satu laporan lembaga PBB bidang pangan (FAO), kerusakan dapat dilihat lewat tiga kurun waktu, yakni:
1. dekade 1970-an. Pada dekade ini, kerusakan hutan Indonesia mencapai 300.000 hektare pertahun;
2. dekade 1980-an, kerusakan hutan Indonesia meningkat mencapai 100 persen, yakni pada dekade sebelumnya 300.000 hektare, menjadi 600.000 hektare pertahun;
3. dekade 1990-an, laju kerusakan seperti tak bisa dibendung, meningkat tajam dari 600.000 hektare hingga mencapai 1,3 juta hektare pertahun. Laporan Menteri LH tahun 1990, tingkat kerusakan hutan mencapai 1,2 juta hektare pertahun (Saman dkk, 1993, 1-10).
Sementara itu, laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan sekarang ini mencapai angka 2,72 hektare pertahun (Serambi Indonesia, 28 April 2007). Data terakhir menyebutkan, dari 120 juta hektare luasan hutan Indonesia, lebih dari 101 juta hektare sudah berada dalam tahap kritis. Saat ini, hanya sekitar 19 juta hektare hutan yang masih virgin (Serambi Indonesia, 9 Juni 2007). Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi bidang pangan dunia (UN FAO) memperkirakan, Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya.
Angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektare pertahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan Departemen Kehutanan yang mencapai 2,8 juta hektare pertahun (Togu Simurangkir, Kompas, 22 Mei 2007). Kerusakan hutan secara jelas diakui dalam PP Nomor 6 Tahun 2007.
Kondisi hutan belakangan ini sangat memprihatinkan yang ditandai dengan meningkatnya laju degradasi hutan, kurang berkembangnya investasi di bidang kehutanan, rendahnya kemajuan pembangunan hutan tanaman, kurang terkendalinya illegal logging dan illegal trade, merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola secara baik sehingga perlu dilakukan upaya-upaya strategis dalam bentuk deregulasi dan debiokratisasi.” Atas dasar kerusakan tersebut, beberapa Pemerintah Daerah kemudian berinisiatif membuat langkah nyata dalam pengelolaan hutan.
Mereka sangat menyadari pentingnya peranan Indonesia dalam hal emisi karbon dunia yang sebagian besar disebabkan oleh penghancuran hutan dan pengrusakan lahan. Gubernur Aceh sendiri menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program pengurangan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan mengembangkan ekonomi kehutanan yang berkesinambungan dengan memanfaatkan pasar karbon.
Kerusakan hutan di Indonesia, dengan beberapa langkah nyata yang dilakukan Pemerintah Daerah, ternyata tidak berjalan lurus dengan kebijakan pada tingkat global. Kerusakan hutan, mengakibatkan pola penanganan yang tidak seimbang. Indonesia harus menjaga mati-matian hutannya yang akan bermanfaat bagi global, namun beberapa negara besar malah tidak mau mengikuti pola permainan global.
Penolakan Amerika Serikat dan Australia dalam usaha nyata mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga kesepakatan pasca-Protokol Kyoto tahun 2009, yang diperkirakan hingga 50 persen pada 2050. Amerika masih bertahan dengan pendapatnya bahwa penghasil polusi terbesar adalah berkembang (Kompas, 8 Juni 2007).
Alasan Amerika Serikat, karena “terlalu tinggi biaya yang harus dikeluarkan Pemerintahnya yang dianggap akan merugikan ekonomi. Bush selalu mengatakan AS menjadi pemimpin terdepan dalam menghadapi pemanasan global. Namun tidak ada langkah konkret untuk merealisasikan pernyataan itu. AS berpredikat sebagai negara penyumbang emisi gas terbesar didunia.
AS juga satu-satunya negara anggota G-8 yang belum meratifikasi Protokol Kyoto tahun 1997 karena negara-negara sedang berkembang, termasuk rival di bidang ekonomi, yaitu China, tidak tercantum di dalamnya” (Kompas, 14 Juni 2007). Badan Penelaah Lingkungan Hidup Belanda menyatakan China untuk pertama tampil sebagai negara yang menyebabkan polusi terbesar pada tahun 2006 dan melampaui Amerika Serikat.
China menyalip posisi Amerika Serikat sebagai penghasil polusi terbesar dengan emisi gas buang 7,5 persen dari total emisi global (Kompas, 24 Juni 2007). Namun Wakil Menteri Keuangan Malaysia, Nor Mohamed Yakcob, menyatakan “perusahaan-perusahaan perusak lingkungan hidup di China adalah milik Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang” (Kompas, 8 Juni 2007). Kenyataan itulah menimbulkan kegelisahan di banyak pihak, terutama aktivis lingkungan yang memikirkan bahwa perlunya alam diselamatkan. Kenyataan ini pula, di satu pihak, menyiratkan bahwa betapa tantangan besar secara eksternal menghadang dalam usaha mencapai tujuan di tingkat global.
Di pihak lain, kebijakan apapun yang dilahirkan ternyata tidak bisa dipisahkan dari kebijakan global. Fenomena yang disebutkan di atas, melahirkan sebuah masalah penting, tentang sejauhmana efektivitas penanganan laju kerusakan hutan di suatu negara, bila ada negara lain yang membutuhkan fungsi hutan namun tidak mau terlibat dalam langkah nyata.
Dengan demikian, sudah dua hal yang telah nyata sebagai penyebab laju kerusakan hutan di Indonesia, yakni Pertama, pihak yang memiliki hutan yang tidak mampu menjaga kerusakan, baik secara langsung maupun melalui kebijakannya. Kedua, negara-negara yang aka menggunakan fungsi hutan namun tidak mau mengambil kebijakan yang berpihak kepada usaha yang menyelamatkan hutan.
Ada hal ketiga yang juga menarik untuk dilihat, yakni menyangkut dengan pola konsumsi hutan di dunia. Carut-marut sektor kehutanan, tak bisa dipungkiri, salah satunya adalah akibat kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan. Indonesia tiap tahun, industri kayu memerlukan 100 juta meter kubik per tahun, dengan sebesar 51,1 juta meter kubik untuk konsumsi domestik, dan 48,9 juta meter kubik lainnya untuk keperluan ekspor.
Dengan mengimpor sejumlah 21,9 juta meter kubik, maka 78,1 juta meter kubik kayu ditebang dari hutan Indonesia setiap tahunnya (Serambi Indonesia, 9 Juni 2007). Secara global, konsumsi hasil hutan (kayu) ditentukan lewat sebuah legalisasi yang namanya ekolabel. Dalam kenyataannya, Negara-negara maju menjadi importir besar-besaran kayu untuk kebutuhan negaranya. Aktivis Walhi Aceh, Dewa Gumay (Serambi Indonesia, 14 Mei 2007), menyebutkan kecenderungan konsumsi dari negara-negara di dunia pada tahun 1999:
1. Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu (hampir separuhnya berasal dari Indonesia, Brasil, Kambun).
2. Inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu yang 92 persennya berasal dari Indonesia, Malaysia dan Brasil (60 persen kayu kayu liar).
3. Perancis, setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul Belgia, Jerman dan Belanda.
Ada hal penting yang dapat dipahami dari keterangan di atas, bahwa perilaku konsumsi Uni Eropa yang tidak mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia.
Konsumsi kayu tropis mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 hektar pertahunnya.Artinya, kampanye penyelamatan hutan dilakukan yang disertai dengan kucuran bantuan beraneka-ragam untuk Negara berkembang yang memiliki areal hutan, namun ketidakadilan global juga tampak saat berhadapan dengan kebutuhan pasar dan industrialisasi yang terkesan semakin simpang dimasa depan.
Dengan sendirinya penjelasan di atas juga akan membantu dalam melihat bagaimana konsep pluralisme dalam hukum telah bergeser dari dekade sebelumnya. Ke depan, kepentingan dan saling ketergantungan menjadi alasan utama bahwa persentuhan, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi kian gencar terjadi.Semua kebijakan lintas negara telah menjadikan abad ini, menjadi sangat penting bagi bangsa-bangsa dan kehidupan umat manusia.
Ada wanti-wanti berkaitan dengan kerusakan hutan dan implikasinya secara global: Pertama, pemanasan bumi meningkat. Laut meninggi karena es kutub mencair karena pemanasan. Diperkirakan pada 2070, sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18.000 pulau di Indonesia akan tenggelam (Serambi Indonesia, 1 Juli 2007). Kedua, bencana alam terjadi di mana-mana. Longsor, banjir, kebakaran, daya serap air sudah rendah di banyak tempat dan daerah. Kerusakan hutan terus bermasalah dan bertambah. Saham perusahaan besar ada di mana-mana, dan terus berlangsung dengan berbagai kepentingan. Sungguh, wajah ganda yang sangat nyata.
Berbagai kebijakan yang akan dirumuskan untuk masa depan, tentu Indonesia sendiri harus mengkritisinya dengan harapan mendapat perlakuan yang adil. Namun demikian, penghentian laju kerusakan hutan di Indonesia harus terus dilakukan.
Secara global, terutama lewat Protokol Kyoto (84 negara), harus dikritisi agar negara-negara perindustrian benar-benar akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 persen, yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Ada tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto (Penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2004:
1. joint implementation (kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka);
2. clean development mechanisme (win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dengan imbalan Certified Emission Reduction (CER) bagi negara maju tersebut;
3. emission trading (perdagangan emisi antar negara maju).
Indonesia sendiri sudah meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU Nomor 17 Tahun 2004. Dalam Penjelasan Umumnya disebutkan, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga dapat mempertagas komitmen dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak. Sehingga tidak membahayakan Jauh sebelumnya, dalam konsiderans huruf (d), UU Nomor 23 Tahun 1997 sudah tegas menyebutkan: “penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan linkungan hidup. (Hombar Pakpahan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar