Fondasi dari amalan tasawwuf adalah. memakan makanan yang halal dan mengikuti sunnah Rasulullah baik dalam akhlak, perbuatan, dan perintah-perintahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga Alquran dan tidak dapat menulis hadis, dia tidak akan bisa meng¬ikuti tasawwuf, karena ilmu kita berkaitan dengan Alquran dan As-sunnah. Mengikuti paham ini harus-lah dengan sikap wara' dan ketakwaan, karena hal ini bukan sekadar ajakan-ajakan.
Dalam tasawwuf, permulaannya adalah ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah mawhibah (anugerah). Dengan ilmu maksud yang dikandungnya akan tersingkap, sedangkan amal mewujudkan apa yang dicari, sementara mawhibah merupakan tercapainya maksud dan tujuan.
Ahli tasawwuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut murid talib. Yang kedua disebut mutawassit sair. Dan ketiga, wasil. Adapun murid, adalah seorang yang mampu memegang kendali waktunya, sedangkan mutawassit. yang mengamalkan perbuatan, sementara wasil, orang yang telah memiliki keteguhan keyakinan. Keutamaan bagi mereka adalah ketika melawan hawa nafsu.
Maqam seorang Murid adalah mujahadah (bergiat melawan hawa nafsu) dengan segala upaya, mukabadah (mengekang nafsu), menikmati kepahitan dan kesengsaraan hidup, menjauhi segala bagian-bagian nafsu, dan semua hal yang dapat menghantarkan pada nafsu duniawi.
Maqam mutawassit, adalah menaiki bahtera cobaan dan ujian untuk dapat mencapai apa yang dicari, dengan menjaga kejujuran, dan selalu beradab dalam setiap fase. Dia juga disebut dengan sahibut at-talwin, karena ia telah melakukan dakian dari satu fase ke fase selanjutnya, dari satu perilaku ke perilaku lain. Inilah yang disebut dengan pertambahan karunia (ziyadah). . ..
Dan maqamah wasil adalah kembali pada perasaan inderawi setelah lebur dalam kegaiban, dan mapan dengan aturan-aturan ibadah, dan menjawab panggilan dari Yang Maha-Haqq, karena ia telah berhasil melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Dia berada dalam posisi tetap yang tidak dipengaruhi oleh ujian dan cobaan, dan tidak pula dipengaruhi oleh keadaan apapun. Tidak ada lagi perbedaan, apakah ia dalam kondisi susah atau senang, dilarang atau diberikan, gagal ataupun berhasil. Kenyangnya sama seperti ke¬tika ia merasa lapar, tidurnya pun sama seperd ketika ia terjaga. Dimensi kedirian telah sirna. Dimensi lahirnya hadir bersama manusia, namun dimensi badaniahnya larut bersama Yang Haqq. Ini semua termasuk laku (hal) Nabi.
Seseorang yang telah mencapai tahap muntaha (final) diibaratkan seperti busur anak panah yang dilepaskan di atas puncak bukit yang dnggi mengenainya, dan angin kencang menerpanya, maka tak sedikit pun ia bergeming karenanya, meski sehelai rambut pun.
Ada yang mensinyalir bahwasanya orang-orang dinamakan sufi karena mereka menempad barisan utama dan pertama di sisi Rabb-nya lantaran hasrat mereka yang luhur, di samping kepasrahan mereka terhadap Allah Swt. atas segala rahasia-rahasia mereka.
Source : Mi'raj as-Salikin, Imam Al Gazali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar