Mochtar W Oetomo
KETIKA Raja Dangdut Haji Rhoma Irama dan rekan-rekannya, penyanyi dan musisi dangdut di bawah payung paguyuban Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) menyerukan boikot pentas Inul dan melarang lagu-lagu ciptaan mereka dinyanyikan oleh Inul serta mengharamkan untuk berada satu panggung dengannya, maka dengan sendirinya Bang Haji telah melukis satu teks oposisi biner.
Karena ketika teks Inul ditafsirkan sebagai "haram", "comberan", "syahwat", dan "kampungan", maka dengan sendirinya Bang Haji hendak menarik logika bahwa dirinya (dan juga rekan-rekannya) adalah "bersih", "bermoral", "bermutu", dan "beriman".
Ah, mungkin saja Bang Haji lupa, ketika beliau pentas sering kali juga diiringi oleh penari-penari latar dengan pakaian, goyangan, dan desahan yang seronok.
Tapi, sudahlah. Bukankah semenjak Inul sepakat untuk menceburi jagat audio-visual dan jagat kapitalisme lanjut industri musik dan hiburan berarti ia telah siap untuk menjadi "sebuah teks"?
Dan, bukankah dalam ruang publik yang bebas dominasi setiap orang bebas untuk menafsirkannya? Hanya apa yang harus diingat adalah, tidak boleh ada upaya konstruktif untuk melahirkan tafsir dominan. Inilah apa yang disebut sebagai tafsir yang komunikatif.
DALAM konteks inilah sesungguhnya membicarakan bagaimana masyarakat menafsirkan teks Inul jauh lebih menarik dan steril dari segala bentuk tendensi berbanding membicarakan eksistensi Inul itu sendiri. Gus Mus barangkali adalah satu dari sekian banyak orang yang menafsirkan "teks" itu secara bijak, khas seorang kiai, yang juga sama bijaknya dengan jawaban Inul ketika merespons pertanyaan wartawan.
Seperti komunikatifnya Inul ketika menemui Bang Haji dan teman-temannya. Seperti kompetennya Inul ketika lebih suka mengungkapkan kata "maaf" berbanding berteriak lantang seperti yang dilakukan Anissa Bahar. Gus Mus berpendapat, reaksi yang berlebihan terhadap Inul menunjukkan masyarakat kita masih kedagingan sehingga menilai Inul di luar ukuran.
Lihatlah kecaman Bang Haji, sang pendekar dangdut, ini, "Lagu dangdut diperjuangkan sampai ke atas. Setelah di atas dilemparkan ke bawah." Sebagai sebuah teks, pesan ini amat mudah didesonansi dengan umpan-umpan balik yang menjadikan polemik tentang "teks Inul" semakin tidak komunikatif.
Kembali logika oposisi biner dituangkan dalam pesan ini. Jika yang melemparkan musik dangdut ke bawah adalah Inul, Anissa, dan Uut, maka dengan sendirinya logika yang ingin dibangun Bang Haji yang menaikkan musik dangdut ke atas adalah dirinya.
Wah, wah, wah…! Ada desonansi komunikasi (penyesuaian pesan yang sesungguhnya adalah bentuk penolakan) begini: Siapa sebenarnya yang membawa ke atas dan siapa yang melemparkan ke bawah, sama sekali tidak jelas. Sebagai sebuah komoditas, dangdut tidak diperjuangkan penyanyi dan musisi dangdut sendirian, apalagi oleh PAMMI.
Sama sekali tidak. Sebagai sebuah teks, dangdut ada dalam sebuah konstruksi yang tidak terpisahkan, antara author, reader, dan relasi-relasi kuasa serta wacana yang ada di sekitar author, reader dan text, yakni tidak terlepas dari pemilik modal, kekuasaan, dan massa.
DANGDUT akan tetap menjadi "lagu pinggiran" apabila tidak menjadi reifikasi industri musik. Dangdut juga masih harus menunggu untuk menjadi bagian dari musik yang sudah lama diterima oleh masyarakat di layar kaca, seperti keroncong, pop, dan jazz apabila tidak ada pemilik modal yang menginvestasikan uangnya di dunia pertelevisian. Dangdut bukan apa-apa tanpa kapitalisme, hegemoni kekuasaan masa lalu, dan massa yang meresepsinya. Sekarang, Inul hadir dengan ngebor-nya, dan menjadi ikon seks. Apa yang melekat pada Inul bukanlah kemauannya sendiri, tapi hasil dari konstruksi berbagai relasi kuasa dan wacana di seputar Inul, di sekeliling dangdut, dan di persekitaran industri musik dan hiburan. Dalam konteks inilah muncul berbagai macam penafsiran, ketika massa meresepsinya, termasuk istilah ngebor. Ada sementara penafsir yang menafsirkan ngebor Inul sebagai goyangan ngeseks, merusak moral, menjijikkan, seperti yang dilansir oleh Haji Rhoma Irama cs. Namun, tidak kurang juga pembaca yang menafsirkan ngebor Inul sebagai sebuah pipe dream yang menghubungkannya dengan kehidupan, meskipun tidak dengan realitas.
Ini terlihat pada masyarakat yang selalu tumpah ruah di setiap pementasan Inul. Bisa jadi goyang Inul telah menjadi media katarsis massa untuk mengempaskan kesumpekan hidup yang selama ini mengimpit mereka. Dan, ketika goyang Inul dipakai untuk mengukur kecerdasan penafsiran masyarakat, maka pernyataan Gus Mus bisa kita jadikan lilin diskusi. Massa mempunyai hak, dengan latar belakang sosio-kultural, ekonomi, dan pendidikan yang mereka miliki, menafsirkan goyangan Inul. Meskipun demikian, upaya sistematis untuk melarang ngebor dan mencekal Inul di layar kaca bukan lagi sebuah penafsiran, melainkan tindakan represif, dan tentunya absurd. Inul akan berhenti ngebor apabila massa sudah mempunyai saluran lain untuk melupakan kesumpekan hidup. Inul bukan siapa-siapa tanpa massa yang meresepsinya. Goyang Inul akan "mati" dengan sendirinya tanpa perlu tindakan represif pada saat masyarakat sudah cerdas dalam menafsirkan sebuah "teks sosial".
Di sinilah persoalan substansialnya, yakni bagaimana membangun sebuah konstruksi yang memungkinkan massa mempunyai kecerdasan tekstual sebagai seorang reader.
MOCHTAR W OETOMO Staf pengajar Fikom Unitomo dan Direktur Surabaya Media School
Kompas Jumat, 02 Mei 2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar