Segala berita dan wacana seputar Akbar Tanjung dan kasus Bulogate II kian menyesakkan ruang komunikasi publik. Apalagi ketika Megawati mengeluarkan sinyalemen dan pernyataan yang kontradiktif tentang penolakannya terhadap upaya pembentukan pansus Bulogate II oleh sebagaian besar anggota DPR dari Fraksi PDI-P. Serunya setelah pernyataan presiden keluar, bukan hanya angota DPR dari Fraksi PDI-P yang kendor niatannya, banyak anggota fraksi lainpun mulai berfikir untuk menunda pembentukkan pansus dengan berbagai dalih dan argumen. Rajutan wacana dalam representasi dan kehadiran yang terus menerus, yang tidak menyisakan kerterpautan dan koherensi antara satu pernyataan dengan pernyataan lain membuat laku politik para elit legeslatif kita dalam menanggapi fenomena pansus ini tinggal menjadi sebuah Camp.
Camp adalah sebuah ideom estetik dalam jagad wacana postmodernisme. Menurut Susan Sontag, Camp adalah sebuah model estetik, suatu cara melihat dunia sebagai satu fenomeana estetik, estetik bukan dalam pengertian keindahan, kedalaman atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian keartifisialan, komoditas dan penggayaan. Politik dalam senyawa peradaban audio-visual dan kapitalisme lanjut, adalah sebuah fragmentasi kehadiran yang terus menerus, di mana kenampakannya tidak terlepas dari hukum pertautan komoditas dan sinyal-sinyal.
Lantas bagaimana sebuah kenyataan politis dapat dipandang sebagai kenyataan estetis. Ketika kapitalisme lanjut dengan karakter lintas batas citra telah mendesain universum peradaban ekonomi menjadi ekonomi citraan, maka politik tak lagi dapat dipisahkan dari wilayah produksi dan reproduksi. Politik dengan demikian menjadi sebuah material yang diberi gaya dan kekuatan. Dalam peradaban citraan pola diskursi telah bergeser ke arah pola figural. Penekanannya lebih pada proses primer (keinginan) dan bukan pada proses sekunder (ego), pada image dan bukan kata-kata, pada pembenaman khalayak dan penyimpanan keinginan akan apa yang disaksikan dan bukan pada penjagaan jarak.
Dalam media massa yang merupakan agen utama dari seluruh produksi dan distribusi kapitalisme lanjut, politik tinggalah menjadi simulakra. Menimbulkan efek barangkali, akan tetapi efek kebenaran yang menyembunyikan non-eksistensi kebenaran itu sendiri. Politik dengan demikian bergeser watak materialnya, ke arah image, fantasi, absurd. Yang ketika ia menyerap kesadaran khalayak untuk tenggelam dan kehilangan penjagaan jarak, pada saat bersamaaan juga ia (politik) menjadi terpisah dengan budaya, moral, agama, atau hukum.
Karena dalam figurasi, dalam ketenggelaman yang ada tinggalah sebuah ekstasi, dalam hal ini ekstasi komunikasi. Khalayak mengalami ekstase ketika menerima representasi dan kehadiran yang terus menerus dari berbagai pesan yang didesain oleh satu kekuatan produksi. Orang mengalami ekstase ketika batas antara yang nyata dan yang imajiner telah tidak lagi jelas. Melainkan hanya terpenuhinya hasrat keinginan dalam pentas dan lokon pesan yang ia konsumsi.
Senyawa imaji politik dan produksi distribusi ala kapitalisme lanjut, menjadikan politik tinggalah menjadi sebuah permainan komodifikasi. Yakni sebuah permainan yang mempersatukan komoditas dengan tanda. Komoditas mempunyai cara yang sangat ampuh untuk berubah menjadi sebuah tanda, tergantung pada posisinya dalam serangkaian penanda yang bersifar self-referensial. Dengan kekuatan tanda dan citra sebuah komoditas tidak lagi sekedar kenyataan materiel, tetapi kenyataan yang memiliki estetika. Kenyataan yang diestetikasikan. Maka, ketika politik telah menjadi tanda dari komoditas, kenyataan politisnya akan bergeser ke arah kenyataan estetis. Sehingga batas antara yang nyata dan yang seni menjadi kabur. Politik dengan demikian, dalam keseharian proses produksi dan distribusi komoditas, menjadi estetika sehari-hari. Politik dengan segala peraihan legitimasi dan kekuasaan tinggalah menjadi seni. Dan bukankah seni selalu nikmat diselami.
Pansus sebagai Gaya
Estetisme seperti yang diilustrasikan di atas dapat dipandang positif dalam hal perannya mengembangkan ‘gaya’. Karena camp adalah semacam pemberontakan terhadap gaya elit kebudayaan tinggi. Yakni, bagaimana menggeser kerja politik yang selama ini bernuansa serius, penuh kedalaman, rasional dalam mempertaruhkan legitimasi ke arah sebuah kerja politik yang dapat dibawa ke massa, dinikmati bersama, diharubirui bersama dalam sebuah pentas pertunjukkan.
Camp tidak begitu peduli dengan sebuah kerja politik yang orisinil, otentik, dan bermakna universal. Sebaliknya ia lebih tertarik pada duplikasi dari apa-apa yang telah ada sebelumnya untuk tujuan dan kepentingan sendiri. Nama kasus yang sama, Bulogate. Upaya penyelesaian yang sama dengan mekanisme pansus adalah ciri kerja sebuah camp. Karena masa lalu adalah inspirasi utama dari camp. Hubungan camp dengan masa lalu bersifat nostalgik dan sentimentil. Namun apa yang direproduksi dari masa lalu bukanlah makna-makna ideologis, ritual dan spiritualnya, melainkan sifat keartifisialan dan kemegahannya.
Kemegahan dan keberhasilan pansus Bulogate I dalam melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan adalah inspirasi utama bagi upaya pembentukan pansus Bulogate II. Dengan kekuatan nostalgia dan sentimentil dari kemegahan Buloagte I, diharapkan kemegahan dan legitimasi yang sama akan diperoleh, karena imaji khalayak akan lebih mudah dan cepat digerakkan ke arah label yang nostalgik tersebut. Demikian juga konsekuensi-konsekuensi politis yang lain (eksekutif dan yudikatif), dengan sendirinya akan terbingkai dalam figurasi kemegahan masa lalu ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting.
Namun, sekali lagi yang diproduksi dari masa lalu bukanlah makna-makna ideologis dan spiritnya. Apa yang diproduksi oleh sebuah politik camp hanyalah citra masa lalu. Maka dengan segala fakta hukum (40 milyar yang nyangkut) dan kenyataan politik yang jelas vulgar (kebohonngan publik yang dilakukan semua saksi), itu tidak cukup melahirkan spirit dan sikap ideologis seperti ketika mereka memperjuangkan pansus Bulogate I. Fenomena pansus Bulogate II tinggal menjadi sebuah figurasi yang kehilangan watak diskursifnya. Apa yang dihasilkan dari figurasi politik adalah citra, dandyisme, sebuah kerja politik yang mendapat sorotan dan perhatian publik.
Camp berusaha menyeret wilayah diskursus politik yang ada di menara gading ke hadapan massa. Namun bukan membawa isinya melainkan hanya tekstur, dekorasi dan gaya dari persolan. Dalam sebuah desain politik legeslatif, sidang paripurna, pandangan umum, votting, interupsi, perdebatan lewat talk show adalah beberapa bentuk dekorasi, tekstur dan gaya dari arsitektur sebuah kerja politik (legeslatif). Persoalan utama bukan pada isi, bukan pada nilai filosofis, sosial dan normatif arsitektur akan tetapi pada gebyar dan gaya arsitekturnya, yakni bagaimana membuat publik menoleh, dan imajinya mengkonsumsi.
Maka sesungguhnya persoalannya bukan pada apakah benar atau tidak Akbar Tanjung, Rahardi Ramelan, Taufiek Kiemas, Mathori terlibat. Yang lebih penting adalah bagaimana desain figural dari semua wacana itu telah menunjukkan kerja, identitas dan memberi keuntungan sesuai kepentingan. Apa yang penting bukan pada apa konsekuensi filosofis, sosial dan normatif sebuah KKN yang dilakukan oleh seorang elit politik. Akan tetapi apa konsekuensi bagi desain arsitektur politik, dekorasi kepentingan, dan tekstur aliansi politik. Dan apa yang penting bukan pada substansi supremasi hukum dan moralitas kepemimpinan, tetapi bagaimana wacana tentang supremasi hukum dan moraliats kepemimpinan yang terkait dengan Bulogate II, memperindah dan makin membuat elok domain politik sebagai wilayah kerja mereka dan universum kepentingan sebagai tujuan hidup mereka. Maka, ketika Megawati mengeluarkan sinyalemen menolak pembentukan pansus, dan itu dianggap akan membuat ruwet keindahan figurasi wacana bulogate II yang telah terbangun, maka mengendorkan upaya bagi sebagian besar anggota legeslatif kita bukan menjadi persoalan besar, jika itu akan memperelok arsitektur politik dikemudian hari.
Apa yang penting bukanlah akhir atau penyelesaian pansus, akan tetpai wacana pansus itu sendiri telah memberi tekstur, dekorasi dan sekaligus gaya bagi kinerja politis DPR. Seperti perilaku mereka ketika sidang paripurna, ketika votting, ketika menggebrak meja, ketika talk show, semua itu adalah camp. Isi, akhir dan kesudahan dari kesemua perilaku tersebut tidak harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, selama ia telah mampu memberi tekstur, dan figurasi yang gaya, gaya politik legeslatif.
Androgyne pansus
Camp dalam politik bisa bermakna juga sebagai sebuah teriakan terhadap kebosanan, sekaligus sebuah reaksi terhadap kedalaman dan keseriusan politik yang meletihkan. Camp dalam politik justru cenderung anti realitas. Objek-objek riel dalam wacana Bulogate II, seperti keterlibatan riel Akbar Tanjung, uang riel pada Winfried, akan dideformasi secara ekstrim untuk melahirkan estetika wacana politik. Entah dengan jalan dirampingkan atau digendutkan persolannya. Digendutkan ke konsekuensi dukungan politik Golkar ke kepemimpinan Megawati, dirampingkan dengan upaya dan persoalan ‘balas dendam’. Sebagai wacana upaya deformasi ini menjadikan wacana Bulogate menjadi lebih estetis dan menarik. Untuk meninggalkan substansi, penegakan hukum dan pelaksanaan clean governance.
Dalam wacana media deformasi kenyataan kasus ini menjadi sebuah pola Androgyne. Sebuah bentuk penolakan perbedaan seksual. Apa yang menjadi ciri dari androgyne dalam camp adalah, berusaha mengelabuhi kenyataan seksual, atau kenyataan perkara demi keindahan sensual perkara itu sendiri. Semua itu ditempuh dengan cara menciptakan daya-daya pikat tertentu terhadap wacana. Apa yang paling indah dari seorang pria adalah karakter femininnya dan sebaliknya yang menjadi daya pikat utama perempuan adalah karakter maskulinnya. Apa yang menjadi daya pikat utama sebuah peristiwa adalah orangnya, yakni Akbar Tanjung, dan bukan substansi peristiwa itu sendiri. Sedang apa yang menjadi daya pikat orang adalah posisinya dan bukan perbuatannya, posisinya sebagai Ketua DPR, Ketua Golkar dan bukan perbuatan sesuai kasus. Dan untuk melihat semua itu agar tampak figuratif, adalah dengan cara memajangnya layaknya sebuah pajangan di medan pameran. Maka kita saksikan bersama mozaik-mozaik pelaku, perbuatan, jaringan, saksi, bukti, namun tidak satupun di antaranya memiliki keterkaitan diskursus yang membawa pada satu konstruk kepastian dan jawaban. Semua wacana tentang kasus dan pansus Bulogate II, tinggalah semacam pigura-pigura yang tergantung di sebuah ruang pameran, yang hanya bisa kita lihat namun tidak bisa kita miliki.
Sebuah kenyataan camp politik, selalu berusaha menyembunyikan konflik yang ada pada dirinya. Seperti halnya PDI-P yang semula mendukung pembentukan pansus dan tiba-tiba harus sepakat untuk menolak dengan argumen keputusan ketua partai yang bijak dan taat hukum. Camp politik amat menikmati ketika orang lain melihat kenyataan politik justru membuat orang lain yang menyaksikan dalam kondisi ketidakpastian. Ini karena, membuat orang akan terus memperhatikan dirinya, sementara dia akan terus coba menyembunyikan dirinya yang sebenarnya, agar perhatian itu kian lekat. Dan ketika publik mulai menoleh dari figurasi wacana, maka ia kan membuat gaya lain yang lebih figuratif, lebih dekoratif, lebih tekstural, dan tentu saja lebih dari pansus.
Apa yang dilupa oleh para anggota legeslatif dan elit politik kita barangkali adalah, sebuah gaya hidup dalam ruang dan waktu. Ia dibatasi jaman dan waktu. Ia masuk dalam lingkaran mode. Sementara perjalan dari mode satu ke mode berikutnya selalu memerlukan jeda waktu. Mode mengenal hukum out of date. Pada masa inilah publik seringkali melihat pentingnya isi dan kedalaman sebelum menemukan gaya dan mode baru. Dan jeda waktu seringkali melahirkan ekplosi, ledakan, tukikan, dan revolusi. Dan keartifisialan, penyembunyian membuat sebuah eksplosi dan ledakan jauh lebih dahsyat, dan berdiameter luas. Perampingan dan pembesaran persolan menjadikan tukikan lebih tajam, dan revolusi lebih dahsyat. Bukankah banyak sejarah telah membuktikan? (Sinar Harapan, 2002)
Mochtar W. Oetomo
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Alumni Universiti Sains Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar