Mochtar W. Oetomo
Setelah sinetron dan pers, kini giliran ilmuwan dan cerdik pandai mendapat kritikan dari presiden Megawati. Dalam pidato pembukaan ‘Temu Ilmiah Akbar dan Kursus Penyegar-Penambah Ilmu Kedokteran 2002’ di Jakarta Convention Center pertengahan April lalu, Mega mengkritik balik para ilmuwan dan cerdik pandai yang selama ini mengkritik dirinya sebagai tidak memperhitungkan dampak negatif dan kurang memiliki rasa tanggung jawab sosial. Menurut Mega para ilmuwan kita terlalu asyik dengan euphoria kebebasan dan cenderung mengesampingkan etika dan tatanan masyarakat. (dari berbagai media).
Kritik yang disampaikan Mega tersebut seolah menyentakkan kembali diskursus tentang tanggung jawab sosial ilmuwan. Hubungan ilmuwan dengan negara, kekuasaan dan dunia kehidupan sosial. Bagi Habermas salah satu unit analisis untuk memahami hubungan ilmuwan dengan dunia kehidupan (tanggung jawab) sosial adalah dengan cara memahami hubungan antara ilmuwan dengan kekuasaan.
Ini karena dalam memahami makna tanggung jawab sosial, kita akan selalu dihadapkan pada problem-problem interpretasi. Hingga dapat saja ‘tanggung jawab sosial’ bergeser atau bermakna ‘tanggung jawab partai’, ‘tanggung jawab negara’, ‘tanggung jawab kekuasaan’ atau bahkan ‘tanggung jawab individu’, yakni bergantung pada dunia kehidupan sosial ‘apa’ dan ‘siapa’.
Problem interpretasi demikian mengisyaratkan kemungkinan-kemungkinan dominasi dalam interpretasi dan makna-makna sosial yang disepakati bersama. Maka jika kita menginginkan sebuah desain politik yang ilmiah dan rasional tidak bisa tidak, setiap bentuk diskursus mesti dibawa ke wilayah publik, yakni ruang (komunikasi) publik (public sphere). Karena tidak ada satu politikpun yang rasional, jika proses konstruksi dan rekonstruksinya tidak melalui proses konversasi publik.
Dalam konteks konversasi publik ini sesungguhnya argumen dan kritik ilmuwan itu berdiri. Tapi ketika ia dimaknai dan diinterpretasikan sebagai sebuah ketidaketisan dan ketidakbertanggungjawaban, berarti telah terjadi dualisme pandangan. Satu pandangan adalah pada esensi konversasi publik itu sendiri sebagai syarat rasionalisme politik. Sementara satu pandangan tertuju bukan pada esensi konversasi tapi pada isi dan pesan (teks) dari konversasi. Pandangan ke dua ini (pandangan Mega) jelas akan banyak menyisakan problem-problem interpertasi teks, kaitan penanda dengan petanda, petanda satu dengan petanda lain, serta kaitan pembaca (reader) dengn teks dan pembuat teks (author). Sekali lagi, untuk menghindari problem interpretasi teks semacam ini kita harus kembalikan pada identitas ilmuwan dalam dunia kehidupan sosial, melalui pembacaan terhadap posisi politisnya.
Pandangan Desisionis
Dalam pandangan Habermas sinyalemen Mega terhadap ilmuwan yang semacam itu mencerminkan anggapan Mega terhadap posisi ilmuwan yang desisionis. Yakni, ungkapan Mega seakan mencerminkan kekuatan moral dan sosial politikus. Dimana ilmuwan cenderung menjadi subordinat, tergantung atau bahkan menjadi kerikil bagi peran-peran sosial politikus. Ini nampak dari ungkapan opisisi biner Mega, bahwa kritik ilmuwan cenderung tidak memandang etika dan norma masyarakat, serta cenderung tidak memandang tanggung jawab sosial. Dalam logika oposisi biner, ungkapan ini sekaligus berbicara bahwa politikuslah (Mega) yang memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Logika oposisi biner demikian amat mudah dibalik dengan strategi repudiasi (penyangkalan yang bersifat politis). Karena bukankah selama ini (konteks Indonesia) belum pernah terjadi pikiran dan tindakan seorag ilmuwan sampai mengucurkan darah rakyat, mengobarkan konflik atau menimbulkan efek-efek ekonomi politik. Sementara untuk mencari contoh dari pihak politikus, rasanya kita tidak akan pernah kehabisan contoh. Lantas siapa sebenarnya yang mengabaikan tanggung jawab sosial?
Pandangan desisionis demikian, jauh hari (1927) telah dikritik oleh Julien Benda sebagai bentuk ‘pengkhianatan kaum intelektual’. Jika hubungan antara ilmuwan dan politikus menempatkan ilmuwan dalam posisi subordinat, maka sesungguhnya ‘musnah’ juga tanggung jawbab sosial ilmuwan. Keputusan-keputusan politik yang selalu menyentuh dunia kehidupan sosial lebih banyak tidak atas dasar pertimbangan-pertimbangan ilmiah, melainkan lebih didasari keyakinan dan tatatanan nilai (yang selalu interpretatif). Maka ketika sebuah kebijakan politik tidak didasarkan secara rasional melalui konversasi publik, maka kebijakan itu tinggalah menjadi soal kehendak yang diputuskan begitu saja sesuai interpretasi politikus. Model demikian jelas menunjukkan sebuah irasionalitas politik.
Pandangan desisionis terhadap hubungan ilmuwan-politik seperti yang tercermin pada ungkapan Mega inipun hendaknya tidak mendapatkan baku kritik dari ilmuwan secara ektrim. Wilayah politik adalah sebuah wilayah yang ‘serba mungkin’. Dimana ketika ia bersentuhan dengan dunia kehidupan sosial yang mengandung banyak sistem nilai, sebuah kerja politik cenderung akan menjadi sebuah kerja ‘praktis’. Tawaran konsep dan teknis ilmiah menjadi tidak selalu ‘mungkin’. Pandangan teknokratis yang menempatkan ilmuwan sebagai daya penggerak (strange attractor) utama keputusan politik politikus pada gilirannhya juga akan menjadi desisionis, ketika menceburi dunia kehidupan sosial yang kompleks dan penuh kenyataan-kenyataan praktis dan spontan.
Pandangan Komunikatif
Jika rasionalisasi politik kita sepakati sebagai sesuatu yang mutlak, maka cara pandang oposisi biner, instrumental dan ekstrim seperti di atas mesti kita geser ke pandangan yang lebih komunikatif. Persoalan utama rasionalisasi politik adalah pada wilayah ‘serba mungkin’-nya. Maka tidak ada sebuah kemungkinan pastipun yang dapat membimbing proses rasionalisasi dan pengilmiahan politik. Tidak juga pandangan desisionis Mega yang menempatkan kritik ilmuwan sebagai kerikil politik. Tidak juga pandangan teknokratis yang menempatkan kritik dan spirit politik kebijakan Mega sebagai tidak ilmiah dan tidak cerdas.
Rasionalisasi politik hanya mungkin dicapai melalui interaksi dan komunikasi yang kompeten antara ilmuwan dan politikus, bukan malah menarik garis pemisah di antara keduannya. Dengan saling menganggap yang satu ‘tidak peka dengan kenyataan praktis’ (ilmuwan), sementara yang lain ‘bodoh’ (politikus). Menurut Habermas rasionalisasi politik yang komunikatif adalah ketika antara ilmuwan dan politikus bisa melakukan komunikasi intersubjektif, dengan saling memahami subjektifitas masing-masing subjek, politikus (praktis), ilmuwan (konsep ilmiah).
Dalam hubungan yang komunikatif memungkinkan antara ilmuwan dan politikus saling berbincang dan memberi masukan. Ilmuwan memberikan kemungkinan-kemungkinan ilmiah dalam setiap bentuk keputusan dan kebijakan politik, bukan malah mempolitisir keputusan dan kebijakan politik itu. Politikus memberikan masukan-masukan bagi kebutuhan-kebutuhan praktis dunia kehidupan sosial, bukan malah menganggap kritik dan argumen sebagai kerikil yang harus dibuang. Logika komunikatif semacam ini bisa menyusutkan logika oposisi biner (pinter-bodoh, praktis-utopis) dalam hubungan antara ilmuwan dan politikus seperti yang berkembang selama ini.
Kondisi komunikatif yang demikian bagaimanapun memerlukan satu medan konversasi publik, yakni raung publik yang bebas dominasi. Dan pesan yang dilontarkan di antara keduanya tersusun dalam bentuk kritik dan argumen. Maka semestinya model komunikatif ini tidak menempatkan legitimasi kekuasaan normatif dan ideologis sebagai dasar komunikasi dan pengambilan keputusan. Melainkan melalui diskusi informsi yang diskursif dan ilmiah. Sehingga kritik tidak harus dibalas dengan kecaman, melainkan dengan argumen. Dan pandangan argumentatif tidak harus disangkal dengan elakan normatif dan politis (seperti yang dilakukan Mega) akan tetapi mesti di balas dengan gelaran praktis (keputusan, kebijakan, planning) yang desaintatif. (SURYA, 2002)
Mochtar W. Oetomo
Staf Pengajar Fak. Ilmu Komunikasi Univ. Dr. Soetomo Surabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar