Mochtar W. Oetomo
Tiba-tiba saja kita begitu akrab, begitu dekat dan begitu lekat dengan Inul Daratista. Begitu melek, bahkan dengan segala puspa ragam dan warna identitas biduan dangdut dari kampung Gempol Pasuruan ini. Menyambangi, menari-nari, meliuk-liuk, dan tertawa-tawa hingga ke tempat kita yang paling pribadi. Menyusup ke rumah kita, ke ruang keluarga kita bahkan ke kamar pribadi kita. Melalui kuasa mediasi media massa (terutama televisi dan VCD) goyangan “ngebor” Inul yang begitu panas dan sensual menggelitik mata kita untuk melirik, melihat dan memelototi.
Inilah buah titik pijak pemikiran McLuhan, medium is the message, media adalah pesan itu sendiri. Media yang ada di hadapan , di ruang keluarga, di kamar kita tanpa kita sadari adalah serangkaian senarai pesan yang setiap saat, setiap waktu memberondong imaji kita dengan berbagai nilai, budaya dan gaya hidup. Dalam konteks ini media dengan secara dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral, kultural dan spiritual. Maka tidak heran jika kemudian goyang Inul yang oleh beberapa kalangan dianggap tabu dan asusila justru mendapatkan ikon-nya di media. Goyang Inul bahkan menjadi kredo baru bagi universum dangdut. Dalam mediasi media, lenyap batas-batas antara keterkenalan dan ketercemaran. Lenyaplah batas antara yang tercela dan yang terpuji. Goyang Inul tinnggalah menjadi tanda-tanda kultural yang nikmat untuk diselami.
Seperti kata Martin-Barbero, media memproduksi dan mereproduksi tata bahasa kultural, untuk menjadikan sebuah gaya hidup (kultural) menjadi universal. Media seringkali mengintrepretasi dan mensintesiskan idea-idea sesuai dengan asumsi-asumsi hukum produksi dan reproduksi. Ketika idea-idea itu disimbolisasikan secara terus menerus atau bahkan fanatik, maka pada saat bersamaan sesungguhnya media telah mendefinisikan dan “menunjukkan” satu budaya, satu pola kultural. Maka ketika idea-idea kultural tentang Inul disimbolisasikan dengan kostum yang seksi dan goyangan yang sensual, simbol-simbol itulah yang membantu kita (khalayak) untuk memahami domain Inul. Inilah problem ideasi kultural media.
Maka ketika simbol kultural Inul yang fisikel itu berseliweran di medan perbincangan publik (media), jadilah ia perbincangan sosial, dengan begitu jadilah ia pelajaran sosial. Sedang menurut konsep habitus Bourdiu, ekspresi idea dan pengetahuan kultural khalayak cenderung dipelajari secara sosial. Inilah bagian dari kedahsyatan mediasi kultural media. Ini berlaku karena cara yang dipakai dalam sistem perbincangan sosial (media) akan sangat menentukan gagasan macam apa yang akan kita temukan. Kata “perbincangan” di sini bersifat metaforis, untuk tidak menunjukkan hanya pada percakapan namun juga pada segala bentuk teknik dan teknologi yang memungkinkan umat manusia dari satu peradaban tertentu untuk melakukan pertukaran pesan. Dalam pengertian ini semua pola kultural, nilai pandangan adalah suatu “perbincangan”.
Ketika satu pola kultural bersenyawa dengan kompetisi industri media dan satu pola perbincangan sosial yang diruhi oleh nadi produksi dan reproduksi komoditi, maka seperti kata Baudrilard yang kita saksikan tinggallah simulasi. Baterai simulasi adalah “kecepatan”, logika kecepatan adalah pergeseran dan pembenaman makna. Idea tentang Inul, tinggalah idea tentang goyangannya, idea tentang pakaiannya, idea tentang berahi.
Inilah wujud proses produksi dan distribusi patriarkhis. Ketika goyang Inul dikomodifikasikan, yakni diproduksi sebagai komoditas, maka lahirlah konsumsi terhadap goyang dan performen fisikel Inul. Dalam konteks ini sesungguhnya Inul mengamali keterceraiberaian identitas. Perjalanan panjang Inul dalam menggapai kesuksesan. Keringat dan air mata yang mengucur dalam seluruh rentang kariernya. Upaya-upaya produktif dan eksploratif yang ia tempuh punah dalam permainan tanda media, birahi dan kapitalisme lanjut yang patriarkhis. Segala latar belakang sosio-kultural dan humanis Inul yang barangkali mengandung banyak pelajaran musnah di telan mentah-mentah oleh komodifikasi goyangannya. Identitas Inul tinggalah pada goyangannya yang seksi, desahan dan senyuman yang sensual, serta kerling mata yang mengundang. Identitas Inul tinggalah identitas berahi. Inul menjadi komoditas patriarkhis, yang konsumen utamanya laki-laki. (Radar Surabaya)
Mochtar W Oetomo Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo dan Direktur Surabaya Media School
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar