Mochtar W. Oetomo
Sebuah kartun. Saddam Hussein dengan seragam militernya, nampak gagah dan kejam menggenggam pistol, dengan latar belakang api dan asap membumbung yang berasal dari ladang minyak Kuwait yang meledak. Di bawah bingkai kartun ada tulisan, “seorang yang tak waras, yang bahkan tak memahami isu pemanasan global”. Ini hanyalah satu dari ratusan bahkan ribuan penokohan terhadap Saddam Hussein dalam panggung teater Amerika. Kisah tentang Irak, tentang Saddam digelar, ditampilkan di media-media, kartun-kartun, televisi-televisi, di panggung Amerika. Penulis naskah Amerika, penata konstum Amerika, desain panggung Amerika dan tentu saja sutradaranya juga Amerika.Tokoh antagonis ini sangat perlu dibangun dan dimunculkan dalam senarai kisah teater, demi alasan yang sah dan dramaturgis untuk muncul dan hadirnya tokoh protagonis.
Maka merapatlah puluhan kapal perang induk Amerika ke teluk. Membawa ratusan pesawat pengebom, ratusan panser dengan segenap pasukan pembunuh elit sebagai senjata tokoh protagonis untuk menghancurkan dan membinasakan tokoh antagonis. Semua demi rampungnya panggung teater. Sebuah puncak kisah yang penuh suasana heroik dan happy ending untuk sang tokoh protagonis, Amerika. Melalui media internasional teater Irak di pentaskan di panggung Amerika.
Ini karena, dalam pentas komunikasi politik internasional, media tidak lagi semata-mata sebagai institusi informasi yang independen dan objektif. Bukan lagi semata-mata sebagai media untuk menyebarkan ragam fakta dan peristiwa, bukan lagi sebatas jendela dunia untuk saling mengintip apa yang terjadi di halaman rumah tetangga. Melainkan, meminjam istilah Althusser media telah menjadi apparatus bagi satu kekuatan ekonomi-politik.
Berbicara mengenai panggung teater media mau tidak mau akan membuat kita juga berbicara tentang ‘bahasa’ yang digunakan di dalamnya, ‘pengetahuan’ yang melandasinya dan relasi-relasi kuasa yang beroperasi di balik bahasa dan pengetahuan tersebut. Jika Heidegger mempunyai ujar”bahasa adalah rumah sang ada”, maka ketika seperangkat bahasa dan pengetahun mengalir di media, tentu tidak berlebihan jika kita mempunyai ujar “media adalah rumah sang ada”. Bagi Marx dan Engels persoalannya adalah, siapa yang menguasai rumah bahasa dan pengetahun itu. Karena bagi mereka bahasa dan pengetahuan di setiap zaman adalah bahasa dan pengetahuan kelas yang berkuasa.
Logika Oposisi Biner
Berdasarkan pandangan orientalisme Edward Said, fakta menunjukkan bahwa selama ini dengan kekuatan ekonomi-politiknya, pentas komunikasi politik internasional di kuasai dan di dominasi oleh negara-negara metropolis melalui agensi-agensi berita atau media-media utamanya, dari AP hingga Reuters, dari CNN hingga Wall Street Journal. Melalui media-media inilah negara-negara metropolis (terutama AS) memproduksi dan mereproduksi bahasa dan pengetahun untuk didistribusikan ke seluruh dunia.
Dalam konteks ini bahasa dan pengetahuan (atau selanjutnya kita sebut wacana) tentang Irak dan Saddam Hussein adalah hasil konstruksi dan rekonstruksi ‘elit informasi’ tersebut. Semenjak perang teluk 12 tahun silam, produksi dan reproduksi wacana Irak sebagi sarang teroris dan tempat untuk memproduksi senjata-senjata pembunuh massal dan wacana Saddam sang bapak terorisme, begitu mengemuka dalam eksposur media internasional. Berbagai proses simbolisasi, ideasi dan mediasi didistribusikan untuk mengambarkan wacana itu. Entah dengan ekspos besar-besaran wacana tim inspeksi PBB di Irak, penindasan terhadap suku Kurdi oleh saddam, simbolisasi muslim berjubah yang memegang senjata, atau bahkan sampai simbolisasi melalui tatapan mata yang tajam dan panjangnya jenggot. Kesemua wacana, ideasi, simbolisasi dan mediasi tentang Irak dan Saddam tersebut berkeliar di orbit komunikasi politik internasional hampir tanpa reserve sama sekali, hingga menjadi wacana (bahasa dan pengetahuan) tunggal yang membawa konsekuensi-konsekuensi politik internasional tertentu.
Melalui strategi “opisisi biner” media internasional terus mengasingkan mereka dari pentas komunikasi internasional. Dalam pemahaman Bourdieu strategi “oposisi biner” dalam pentas komunikasi politik internasional adalah sebuah strategi penyusunan kategori-kategori simbolik berdasarkan sistem pasangan yang berlawanan, dimana kelompok sosial tertentu mengidentifikasikan dirinya sebagai kelas pertama (Amerika yang unggul, tinggi, terpilih) dan kelompok lain pada posisi kelas dua (Irak yang lemah, salah, jahat). Dalam konteks ini media internasional telah mengasingkan mereka dari pentas komunikasi dengan selalu mengeksposur rujukan-rujukan yang berlawanan yang pada intinya semakin meminggirkan dan mengasingkan pihak Iarak dan membenarkan kelompok yang lain (Amerika dan sekutu). Kata-kata seperti anti teroris-teroris, Islam liberal (bagi yang mendukung serangan ke Irak)- Islam Radikal/Militan, teoris (bagi yang menolak) adalah kerja logika opisisi biner.
Banalitas
Demikianlah cerita teater bergulir dengan segala penokohan yang penuh dengan ‘kekerasan simbolik’ dan ‘kekerasan semiotik’, hingga menempatkan Irak beserta Saddam sebagai tokoh antagonis . Sehingga sang pemilik panggungpun merasa sudah waktunya, absah dan mutlak menurunkan tokoh protagonis (pasukan Amerika dan sekutu) untuk membinasakan tokoh protagonis demi berakhirnya sebuah kisah. Namun agaknya Amerika lupa bahwa ini bukanlah pangung teater sandiwara, akan tetapi panggung teater komunikasi politik Internasional.
Ada banyak penonton yang tidak lagi demen dengan penokohan hitam putih. Lebih banyak lagi yang jengah dengan akhir cerita happy ending yang penuh nuansa keheroikan. Inilah wajah burmuka dua media massa. Satu wajah bisa menjadi pemberi makna utama (definers) bagi upaya konstruksi imaji khalayak. Satu wajah justru melahirkan penonton-penonton yang penasaran, yang ingin lebih jauh memahami, menghayati simbol-simbol terdalam di balik lakon yang dipentaskan. Maka ketika sang sutradara terus saja egois dan dominatif menggelar lakon, penontonpun lama-lama akan jenuh dan jengah. Berguman, bersuit atau bahkan berteriak lantang, ‘turun-turun!’ pada sang tokoh protagonis. Aksi dukungan kepada Irak dan Saddam melalui berbagai demonstrasi massa di Pakistan, Sudan, Libya dan juga Korea Utara yang diperlakukan tidak adil adalah bentuk suitan-suitan jengah penonton.
Dan jika kisah panggung masih saja diteruskan, maka dua konsekuensi berikut akan menyusul. Pertama, munculnya sebuah repudiasi. Satu feed back komunikasi politik yang berupa penyangkalan terhadap pesan komunikasi yang disampaikan komunikator politik (Amerika). Repudiasi adalah penyangkalan demi penyangkalan itu sendiri. Lepas dari segala macam logika komunikasi yang rasional dan substansial. Repudiasi adalah sebuah strategi ‘pokokke!’. Pokoknya jelek, pokoknya kafir, maka satu-satu penontonpun ke luar panggung, meninggalkan pementasan. Dan berbicara pada semua orang, “lakon yang digelar sungguh mengecewakan!”.
Dan jika pementasan tetap saja dilanjutkan, maka tisu, kacang, botol-botol minuman, bahkan kursi-kursi akan segera terlempar ke atas panggung. Inilah konsekuensi ke dua, sebuah banalitas komunikasi politik. Berkomunikasi dengan meninggalkan pola-pola komunikasi itu sendiri. Feed back komunikasi bukan dalam bahasa yang verbal, namun dalam bahasa yang non verbal. Sebab aksi bunuh diri dan pengeboman jauh lebih banyak membawa pesan berbanding seribu kata-kata dan sejuta gambar. Maka, bukankah kiamat sudah semakin dekat?!*** (Jawa Pos, 2004)
Mochtar W. Oetomo
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo dan Direktur Surabaya Media School
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar