Rabu, 03 Februari 2010

TV dan Koruptor

Mochtar W Oetomo

Televisi sebagai medium resenonansi, seperti ujar Neil Postman, memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mendistribusikan segela bentuk citraan. Maka, dalam perkembangnnya, dalam kontelasi politik apapun (regional, nasional, internasional), televise memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mendistribusikan bebgai gambaran ideologis, baik bagi si penguasa maupun oposan. Kini kedahsyatan media audio-visual tersebut mulai dipertimbangkan peran strategisnya dalam dunia hokum.
Beberapa tahun lalu sejumlah wajah sejumlah koruptor di Indonesia sudah pernah ditayangkan di media televisi, muncul pro dan kontra di masyarakat. Hal itu biasa, asal untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Namun begitu, kasus korupsi bukannya semakin mengecil, tetapi sebaliknya semakin membesar. Peringkat Indonesia tidak turun-turun, tetap di papan atas. Mengapa hal itu terjadi? Tidak lain karena upaya penegakan hukumnya lemah. Keinginan saja besar, namun untuk menjalankannya oleh aparat penegak hukum terasa sangat lemah.
Kalau sekarang muncul rencana kejaksaan untuk kembali menayangkan gambar wajah dan data para koruptor yang dinyatakan buron di televisi (TV) hal itu patut disambut baik. Semua kasus korupsi harus dibongkar, terutama yang besar-besar, menyusul kelas menengah, baru yang kecil. Semuanya harus diberi sanksi hukum tegas karena sangat banyak merugikan keuangan negara dan rakyat.
Segala upaya pemberantasan korupsi harus didukung, namun hendaknya sejalan dengan "political will" pemerintah. Kalau elite pemerintah khususnya Kejaksaan Agung tidak serius, maka upaya apa pun yang dilakukan masyarakat sulit mencapai hasil maksimal. Ada-ada saja upaya dari koruptor untuk menghindari sanksi hukum. Dari mulai pura-pura sakit, menyewa pengacara terkenal, sampai mempengaruhi pihak-pihak terkait. Kalau tidak, mereka "ngacir" ke luar negeri dan mencari negara yang tidak punya kerjasama ekstradisi. Wajar saja kalau banyak kasus korupsi yang tidak terbongkar, kasusnya dipetieskan, atau kalaupun sampai di sidang pengadilan akhirnya dibebaskan karena kurang bukti dan saksi-saksi. Hanya sejumlah kecil saja kasus korupsi yang dapat diselesaikan, seperti kasus Gubernur Aceh Abdullah Puteh, kasus mantan Menteri Agama Said Agil Al-Munawar dll.
Menayangkan wajah tersangka kasus korupsi di TV memang dapat membuat pejabat lainnya takut. Oleh karena itu seharusnya dilakukan secara kontinu. Jangan hanya sporadis dan jangan takut dihujat oleh pengacara sang koruptor dengan alasan hukum kita menganut asas praduga tak bersalah, melakukan "character asasination" dll.
Selama ini, pemberantasan korupsi terlalu lemah. Artinya, yang sudah nyata melakukan megakorupsi tidak juga diseret ke pengadilan. Bahkan, pengemplang dana BLBI sampai bisa dibawa ke Istana Negara. Ini sangat merusak citra hukum dan aparat kita, kalau pengusaha nakal sampai diberi penghargaan dengan sambutan karpet merah bak orang penting yang sudah berjasa besar bagi negara.
Kita setuju wajah para koruptor dipublikasikan seluas-luasnya. Tidak hanya lewat TV, tetapi juga lewat media lainnya, asalkan tujuannya untuk kebaikan, bukan sekadar sensasi belaka. Dengan diberitakan atau wajahnya dipampangkan di media massa diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku lainnya, dan yang sangat penting hal itu bisa membuat takut bagi pejabat-pejabat lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Selain memberikan shock therapy, memuat gambar para koruptor perlu juga diperkuat dengan kesungguhan aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung. Selama ini, Kejaksaan Agung maupun Kejati daerah dinilai kurang proaktif sehingga kasus-kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan baru sedikit.
Harapan kita, upaya pemberantasan korupsi dapat digencarkan, mulai dari tingkatan bawah sampai tingkatan atas. Masalahnya, hancurnya perekonomian Indonesia, meningkatnya jumlah pengangguran, sulitnya lapangan kerja banyak disebabkan maraknya kasus korupsi, sehingga semua pihak harus serius mengupayakan pemberantasan korupsi ini jika ingin melihat bangsa Indonesia maju dan berkembang sejajar dengan negara-negara lain, seperti Malaysia.
Satu hal yang perlu menjadi fokus dalam pemberantasan korupsi ke depannya adalah lembaga pemberantasan korupsi harusnya sudah lebih dulu bebas dari korupsi. Jangan sampai, oknumnya pula terlibat dalam kasus korupsi. Sering kita temukan kasus korupsi menjadi sulit diungkap karena keterlibatan orang dalam sehingga kasusnya berlarut-larut, atau hukumannya rendah. Ada-ada saja alasannya untuk tidak menindaklanjuti kasus korupsi, sampai masyarakat muak. Apalagi pelaku korupsi biasanya sangat royal dalam memberikan uang sogokan jika masalahnya sudah terungkap ke publik.
Tak pelak lagi, aparat kejaksaan harus berani dan mampu, begitu juga para hakim harus tega menjatuhkan hukuman berat sehingga proses hukum dapat dipercepat. Hanya dengan menghukum berat koruptor kita bisa menekan kasus korupsi.Kita tunggu saja bagaimana kedahsyatan medium televisi bermain. (Sinar Harapan, 2005)

Mochtar W Oetomo
Dosen Jurusan Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar