Rabu, 03 Februari 2010

Remote Control dan Hiperealitas Komunikasi

Mochtar W. Oetomo

Membaca tulisan Riwi Sumantyo edisi 25 Pebruari 2002 layaknya membaca sebuah kegamangan. Dalam opininya yang berjudul “Stasiun TV Baru dan Komoditisasi Publik”, Riwi berusaha menanggapi merebaknya pelbagai stasiun TV baru di Solo dengan membeberkan senarai teori komunikasi massa, dari teori khalayak pasif hingga khalayak aktif, namun dalam analisis selanjutnya Riwi justru tidak berpijak pada satu pendekatan teoritispun. Riwi menggunakan terminologi “komoditisasi” yang jelas berbau kritis bahkan postmodernis, akan tetapi menutup tulisannya dengan opisisi biner khas positifis, yakni membuat pilihan hitam putih, baik dan buruk. Tulisan ini sesungguhnya tidak hendak mendebat berasaskan ancangan teoritis konseptual, melainkan hanya ingin mempertajam opini Riwi yang terkesan gamang dan kurang menukik.
Ini karena, membincang soal televisi bukanlah bincangan sederhana. Televisi dengan kedigjayaan ideasi dan mediasi teknologi serta sosialnya tak pelak lagi sekarang ini telah menjadi pusat atau bahkan nadi dari sistem perbincangan sosial. Persoalannya adalah, bahwa peradaban sebuah zaman amat ditentukan oleh watak sistem perbincangan publiknya. Ini karena, dalam sistem perbincangan itulah publik menukarkan pesan, untuk kemudian mengindentifikasikan dirinya. Apa yang berlaku kemudian adalah apa yang menjadi identifikasi sistem perbincangan publik (media, televisi) dari situ pula publik mengindentifikasikan dirinya.
Maka, ketika sekarang dunia publik kita, dunia sosial kita diramaikan oleh pelbagai tayangan dari berbagai stasiun televisi yang menghiasi orbit kehidupan kita, semestinya kita bertanya, di mana “diri kita”. Jika McLuhan sejak puluhan tahun lampau mensinyalir bahwa “the medium is the message”, bahwa media adalah pesan itu sendiri, maka tanpa kita sadari di manapun dan kapanpun bahkan sampai ke bilik kita yang paling pribadi, berbagai pesan dari berbagai penjuru, domain dan ideologi menyambangi imaji kita untuk memaknai realitas di sekitar. Maka ketika televisi telah menjadi teman bagi tidur dan cengkerama keluarga kita, pada saat bersamaan kita mempersilakan berjuta pesan mencampuri urusan pribadi, keluarga, belanja, cinta bahkan bagaimana baiknya mendidik anak atau selingkuh.
Simulasi, Kedigjayaan Remote Control
Persoalannya adalah, ketika satu benda televisi di hadapan kita ternyata menyimpan sepuluh atau bahkan lebih chanel, yang tiap-tiap chanel menawarkan program dan tayangan. Tanpa kita sadari ketika kita riang gembira memindah chanel dari satu stasiun ke stasiun lain dengan remote control, sesungguhnya diri kita pada saat yang bersamaan lenyap dalam mesin pengendali chanel tersebut. Imaji kita di bawa dari satu tayangan ke tayangan lain, dari satu dunia ke dunia lain, dari satu domain ideologi ke domain ideologi lain dengan demikian cepat, fragmentatif dan bahkan tak terbatas. Kita hadir dalam fragmen-fragmen kehidupan untuk kemudian menjadikan pemahaman kita akan dunia dan kehidupan juga terfragmentasi.
Apa yang disimpan oleh remote control sesungguhnya hanyalah satu, “kecepatan”. Inii menjadi sangat selaras dengan hukum komoditas seperti yang disinyalir Riwi. Komoditas dalam ciri kapitalisme lanjut seperti sekarang ini tidak lain adalah “kecepatan” itu sendiri. Yakni kecepatan produksi, reproduksi dan distribusi. Dalam konteks kompetisi antar stasiun televisi adalah produksi, reproduksi dan distribusi pesan. Jika demikian halnya pesan pada saat yang bersamaan telah menjadi komoditas, “the message is the comodity ”. Apa yang paling penting adalah bagaimana pesan segera dikonsumsi oleh khalayak agar segera bisa diproduksi pesan baru, demikian seterusnya.
Maka, ketika pesan telah hanyut dalah gelembung pacu “kecepatan”, tidak penting lagi pesan itu akan mengena atau tidak, bermanfaat atau tidak, mencerdaskan atau tidak, karena apa yang penting adalah pesan itu telah dikonsumsi apa belum. Dalam logika kecepatan dengan demikian pesan kehilangan watak “komunikatif”-nya. Apa yang muncul adalah watak “simulatif”-nya. Dalam bahasa Baudrillard, setiap “kecepatan” selalu membawa konsekuensi distorsi. Yakni, tidak menukik pada persoalan subtansial. Setiap “kecepatan” hanya akan berpacu dari satu permukaan ke permukaan lain, dari satu sisi parsial ke sisi lain yang lebih parsial. Dengan demikian “kecepatan” tidak menyajikan kedalaman, kontemplasi, yang berarti “nilai” (value) menjadi hanyut. Dalam logika produksi dan distribusi apa yang penting bukanlah substansi, akan tetapi packing, kemasan. Maka berbagai pesan yang dihamburkan oleh berbagai stasiun televisi sesungguhnya adalah pesan “packing”, pesan yang indah kemasannya (dengan berbagai program acara), namun tidak menyentuh subtansi. Publik sesungguhnya hanya berenang-renang dalam lautan simulasi. Di mana batas antara fakta dan fiksi, antara isu dan kenyataan, antara kebatilan dan kontemplasi telah tidak jelas lagi.
Realitas yang kita kunjungi melalui kuasa remote control sesungguhnya adalah realitas yang telah dicitrakan. Citra-citra mengunjungi kita. Hingga realitas sebuah pesan melampaui realitas itu sendiri, inilah hiperealitas pesan, hiperealitas komunikasi. Maka, ketika logika kecepatan kompetisi media yang melahirkan simulasi pesan bersenyawa dengan logika remote control, pada saat yang bersamaan kita sendiri tenggelam dalam kecepatan. Sebuah produk (pesan) hasil produksi dan reproduksi “kecepatan” kita konsumsi pula dengan “kecepatan”.
Kecerdasan Tipografi
Persoalannya kemudian tidak menjadi sesederhana seperti yang diungkap oleh Riwi. Ini tidak lagi menjadi persoalan hitam dan putih, baik dan buruk, hiburan atau pendidikan, barat atau timur. Karena dengan kekuatan mediasi citranya televisi dapat saja mensimulasi yang hitam atau yang putih menjadi abu-abu, yang barat nampak menjadi lebih timur dan yang timur nampak menjadi asing. Dengan kekuatan ideasinya televisi dapat saja mensimulasi tayangan pendidikan menjadi hiburan, dan hiburan seolah-olah adalah pendidikan. Persoalannya kita tidak tengah menghadapi sebuah “nilai” yang harus dinilai. Melainkan menghadapi sebuah “kecepatan” yang jika tidak segera disikapi akan melindas kita untuk hanyut dalam orbit ideasi dan mediasinya. Persoalannya kini bukan lagi kita yang menonton televisi, tapi “televisilah yang menonton kita”, menonton pakaian kita, menonton parfum kita, menonton cara pacaran kita, menonton cara beribadah kita, untuk kemudian kita merasa ditertawakan jika identifikasi sosial kita tidak seperti yang diidentifikasikan oleh televisi.
Kita telah sama-sama melakukan satu lompatan peradaban yang sungguh dahsyat. Di mana kematangan budaya tipografi (baca tulis) belum pernah kita capai, tapi kita keburu dihadapkan pada kenyataan harus bergumul di padang peradaban audio-visual, yang serba cepat dan parsial. Apa yang kita alami sekarang adalah sebuah kegagapan peradaban, hingga begitu terengah-engah kitika harus menerima berondongan pesan dan informasi dari berbagai ragam acara berbagai stasiun televisi. Sangat berbeda dengan Eropa dan Amerika misalnya, teknologi audio-visual ini hadir dalam peradaban mereka ketika budaya tipografi telah cukup dewasa. Hingga dalam beberapa aspek resiko-resiko peradaban audio-visual ini justru melahirkan progresifitas produktif. Peradaban audio-visual melanda kita manakala kita masih berkecimpung dalam peradaban oral (isu, cerita, mistis dll.), maka ketika kita harus beradu “kecepatan” dengan hukum “kecepatan” peradaban audio-visual, kita selalu kalah kalau tidak mau dikatakan punah.
Persoalannya “kecepatan” tidak bisa dilawan degan kebijakan (nilai, baik buruk dll), karena keduannya domain yang tidak nyambung. Sayangnya lagi, kita juga tidak mungkin melawan dengan kecepatan teknikal, karena sudah cukup jauh tertinggal. Dalam hikayat Nabi Idris, kecepatan hanya mungkin dilawan dengan kecerdasan. Karena dalam kecerdasan itu sendiri menyimpan kebijakan dan kecepatan. Dan kecerdasan tempatnya selalu ada di sebuah kedalaman bukan permukaan. Kedalaman selalu menyediakan percampuhan imaji secara sitemik. Dan huruf, huruf, kata-kata, bahasa dan kalimat tipografi menyediakan percampuhan imaji sistemik itu. (Solo Pos, 28 Februari 2005)

Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar Fak. Ilmu Komunikasi Univ. Dr. Soetomo Surabaya, Warga Sukoharjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar