By Mochtar W. Oetomo
Andaian dari esai ini adalah, bahwa telah terjadi pergeseran yang cukup menukik jika kita harus membincang lintang pukang dan lalu lalang wacana politik dalam orbit media pasca reformasi. Jika pada masa Orde Baru analisis-analisis ekonomi politik dan fungsionalisme konformatif mendominasi bincangan media politik dan politik media, tentu dalam jagad sosial-politik dan komunikasi yang cenderung chaos dan turbulen seperti sekarang ini analisis-analisis material dan struktural semacam itu tak lagi nyana.
Seiring tercerabutnya akar tunggang pohon beringin dan berdebumnya pohon sentralisme Orba, maka sesungguhnya seperti sinyalir Foucault, berpendar pula ‘universum kuasa’. Energi libido itu kini tidak hanya berpusat pada satu akar tunggang tapi telah menyebar pada seluruh akar pohon, rerumputan dan bebungaan. Maka tak nyana lagi asumsi-asumsi yang meyakini bahwa media hanyalah alat dari satu ‘universum kuasa’ ekonomi-politik. Dus, tak nyana lagi media hanya menjadi instrumen representasi konsensus dari ideologi dominan. Karena bahkan, media sendiri sebagai bagian dari akar pepohonan yang menggeliat, juga telah menyimpan potensi kuasa dan ideologinya sendiri yang ia pertarungkan di kancah perbincangan publik.
Maka, dalam kancah komunikasi politik, media tak semata-mata lagi sebagai mesin kekerasan simbolik dan semiotik bagi sebuah ‘universum kuasa’ yang mendominasi ruang publik. Berita-berita, opini-opini dan pelaporan-pelaporan media kini tidak lagi dalam hegemoni homogenitas ala Orba. Melainkan cenderung campuh, atau menjadi medan campuh dari pelbagai kekuatan kuasa, pelbagai peta teritorial, dan pelbagai domain ideologi. Sebuah pergeseran dramatik dari peran media konsensus ke konflik.
Akan tetapi ibarat sebuah perang, pergeseran kearah konflik ini tidak dibingkai oleh sebuah rata peperangan. Tidak ada medan kurusetra. Tidak ada Pandawa dan Kurawa. Tidak ada wejangan Baghawad Gita dari Sri Kresna ke Arjuna. Tidak ada kepahlawanan Bisma. Tidak ada pencarian Arjuna. Tidak pula ada pengorbanan Abimanyu. Dalam terminologi peperangan yang ada hanya ampyak awur-awur, konflik tanpa batas, tanpa visi, tanpa aturan, semata-mata demi sebuah kemenangan bagi terbangunnya satu ‘universum kuasa’ baru.
Paling tidak ada tiga pergeseran dalam campuh wacana politik di media pasca reformasi ini. Pertama, pergeseran modal universum wacana politik. Pada masa Orba universum wacana politik di media adalah sebuah universum yang memusat, satu akar dan kemudian baru disebarkan melalui jaringan hegemoni yang waras sehingga nampak absah dan logik. Sehingga wacana politik di media secara konstruktif membangun ketakhlidan ke arah status quo. Entah itu melalui wacana pertumbuhan dan pembangunan, wacana ketertiban, keamanan dan kestabilan, atau wacana pelaksanaan UUD,45 secara murni dan konsekuen. Sekarang ini universum wacana politik tidak lagi memusat pada satu akar dan tertancap kukuh dalam rahim pertiwi dengan keliatan tanah konstutusi dan pupuk ideologi ekonomi. Akan tetapi universum wacana politik telah ada di semua wilayah, begitu cepat berpindah dari satu domain ke domain lain, menumpuk untuk kemudia berpindah lagi, tidak ada satu universum wacana politik yang terakumulasi cukup lama secara konstruktif. Melainkan akan terus bergeser dari satu wilayah, satu akar ke wilayah dan akar lain. Konsekuensinya universum wacana politik ibarat seprti modal yang lari dari satu negara ke negara lain dengan cepat, tanpa menyisakan satu kepastian, hanya dipermukaan dan tak pernah tuntas.
Kedua, pergeseran rambatan wacana politik. Rambatan atau sebaran wacana politik di media pada masa Orba ibarat gelang karet, bisa ditarik dan diulur bergantung watak dan efek rambatannya, karena ada kuasa dominan yang melalui allocative dan operational controlnya membingkai rambatan wacana tersebut demi kekukuhan ststus quo. Akan tetapi wacana politik di media sekarang ini ibarat virus yang begitu diinjeksikan, maka ia akan menyebar dengan cepat ke seluruh pembuluh darah. Begitu cepatnya hingga kerapkali tidak terkontrol, hingga virus itu begitu cepat pula memecah-mecah dirinya menjadi berbagai jenis virus yang menyerang seluruh jaringan tubuh, hingga tidak bisa dikoordinasikan lagi. Begitu satu wacan dipetik oleh media maka ia kan merambat dengan cepat, menjadi adonan bagi seluruh media, berkembang, memecah-mecah diri, hingga substansi wacana menjadi kabur, tidak jelas. Apa yang terjadi kemudia, khalayak terjangkiti oleh virus, yang tak pernah ia tahu asal-usulnya, pa jenisnya, dan bagaimana mengobatinya.
Ketiga, pergeseran watak wacana politik. Watak wacana politik di media pada masa Orba adalah riel, tersentuh dan nyata membawa konsekuensi-konsukensi bagi khalayaknya. Dengan adanya kuasa sentralisme dan top down di sebalik setiap wacana politik, maka setiap wacana yang berkembang (OTB misalnya) secara riel ada dihadapan dan tersentuh serta berkonsekuensi bagi khalayak. Saat ini wacana politik di media ibarat ozon yang berputar-putar di orbitnya. Tidak nyata, tidak tersentuh, tapi ada. Begitu berjubel wacana politik bersilang sengkarut di orbit media tapi tidak secara signifikan hadir di hadapan pembaca. Seperti uang trilyunan yang dikuasai oleh konglomerat, pergi ke sana-kemari, dari satu bank ke bank lain, dari satu wilayah investasi ke wilayah lain, tapi tidak pernah mampir di kantong. Seperti sebuah orbit, wacana politik di media memutar khalayak untuk melihat siang dan malam, tapi semua itu tak berarti apa-apa selain kegagapan-kegagapan untuk mempersiapkan diri menghadapi konsekuensi malam yang keburu menjadi siang dan seterusnya.
Sesungguhnya wacana politik di media hanya pergi dari satu titik ekstrim (sentralisme Orba) ke titik ekstrim yang lain (orbitasi pasca reformasi). Maka berita-berita dan wacana-wacana politik di media, melalui straight news, talking news, talk show dan seabrek format layananya, tak lebih hanya menjadi medan campuh wacana yang tidak berbingkai, hanya menjadi panggung bagi segenap peragawan dan peragawati politik untuk bergaya. Politik dengan demikian, tidak lagi secara substansial berarti politik, tempat di mana satu subjek politik secara rasional berusaha melegitimasikan diri di mata publik. Politik tidak lagi menjadi tempat, bercampuhnya rasionalisme secara komunikatif, ala Habermas. Di media, politik tinggalah menjadi gaya, life style, gaya hidup. Bukan untuk memayu hayuning bawana (ikut mempercantik kehidupan), melainkan sekedar untuk hidup, di lihat hidup, dan untuk penghidupan. Wallahu’alam. (Jurnal LKM Surabaya)
Mochtar W. Oetomo, MA. Staf Pengajar Fak. Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar