Rabu, 03 Februari 2010

Komodifikasi Pornografi: Kecabulan dari Kejelian

Mochtar W. Oetomo

Persoalan pornografi media massa kembali menyeruak. Apa lagi setelah pihak eksekutif melalui rakor Menko Kesra dan level normatif melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kampanye gugatan terhadap pornografi di media massa. Beberapa hari lalu bahkan Menko Kesra Jusuf Kalla dan sejumlah ketua MUI mencanangkan untuk membuat langkah-langkah strategis untuk memerangi pornografi media massa yang dianggap telah melampai batas dan mengancam moral serta akhlak bangsa. Pemerintah agaknya akan menggunakan pilihan hukum guna menindaklanjuti langkah strategis tersebut. Hal ini nampak baik dari ungkapan Jusuf Kalla ataupun Dien Syamsudien, tentang perlunya mass media menoleh kembali pada produk-produk hukum yang berkaitan dengan pornografi serta keseriusaan Departemen Agama untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang.
Kegagapan jajaran eksekutif dan normatif ini nampak menjadi paradok jika kita harus membincang soalan pornografi ini di tengah senyawa peradaban audio-visual dan kapitalisme lanjut seperti sekarang ini. Terlalu naif jika masalah pornografi semata-mata kita dakwakan pada geliat media massa. Karena ini menyangkut diskursus peradaban yang lebih luas. Pornografi kita masih menyimpan definisi yang terbatas. Sementara kecabulan mempunyai masa depan yang tidak terbatas.
Pornografi media massa bagi Baudrillard adalah quadraponics seks. Ia menambahkan jalur ketiga dan keempat pada tindakan seksual. Ia adalah sebuah halusinasi yang sangat detail dari sebuah desain kecabulan yang penuh kejelian, sebuah close up yang tak dapat diukur dengan berdasarkan permaianan penampakan, dan yang hanya dapat diungkap dengan alat-alat teknik canggih Pornografi mempunyai alasannya sendiri untuk berada pada sisinya sendiri. Dengan kekuatan simulasi media massa, kepuasan yang mendalam seringkali lebih bisa ditemukan dalam potongan-potongan visual dari rekah bibir dan kedip mata dalam film-film India. Kaki-kai mulus dan jenjang dalam iklan-iklan sabun. Tatapan mata yang berjarak satu senti dalam telenovela dan sinetron. Kelondot manja dalam iklan-iklan minuman suplemen. Atau bahkan tidur miring para biduan.
Detail kejelian visual telah hadir melebihi realitas seks yang sesungguhnya. Karena ia menjadi penuh dramatis dengan sinyal-sinyal naturalisasi hasrat dan kecabulan yang dibawanya. Bukankah di desa-desa kita sering melihat gadis-gadis mandi di pancuran, ibu-ibu yang meneteki anaknya dengan merdeka, mahasiswi yang berpakaitan ketat melebihi ketat kulit tubuhnya, dan sales promotin girl yang mengerling melebihi kerling artis film India. Seks dalam realitasnya, tidaklah menyisakan kecabulan atau bahkan berahi, karena ia memiliki wilayah-wilayah dan ruang waktu tersendiri. Namun ketika ia diseret masuk dalam figurasi visual ia menjadi memiliki subuah tanda ekstra, yang menyerap imaji khalayak dalam over-signifikasi yang tak berujung dari sebuah objek nyata yang tak lagi ada.

Estetika Pornografi
Ketika kapitalisme lanjut dengan karakter lintas batas citra telah mendesain universum peradaban ekonomi menjadi ekonomi libidinal, maka seks tak lagi dapat dipisahkan dari wilayah produksi dan reproduksi. Seks dengan demikian menjadi sebuah material yang diberi gaya dan kekuatan. Dalam peradaban libidinal pola diskursi telah bergeser ke arah pola figural. Penekanannya lebih pada proses primer (keinginan) dan bukan pada proses sekunder (ego), pada image dan bukan kata-kata, pada pembenaman khalayak dan penyimpanan keinginan akan apa yang disaksikan dan bukan pada penjagaan jarak.
Dalam ekonomi libidilal apa yang penting adalah bagaimana barang produksi, promosi produksi, packing produksi dapat membangunkan hasrat melalui desain image yang direpersentasikan secara terus menerus. Jika seks menjadi hasrat dasar manusia, maka bagaimana wilayah ini bisa menjadi jalur produksi dan distribusi barang melalui kekuatan image. Berahi, kecabulan dengan demikian telah bersenyawa dalam seluruh rentang proses produksi dan distribusi.
Dengan demikian, seks, kecabulan, pornografi bukankah telah menjadi tidak ada? Karena ia tenggelam dari karakter rielnya, watak kebenarannya. Dalam media massa yang merupakan agen utama dari seluruh produksi dan distribusi kapitalisme lanjut, seks tinggalah menjadi simulakra. Menimbulkan efek barangkali, akan tetapi efek kebenaran yang menyembunyikan non-eksistensi kebenaran itu sendiri. Seks dengan demikian bergeser watak materialnya, ke arah image, fantasi, absurd. Yang ketika ia menyerap kesadaran khalayak untuk tenggelam dan kehilangan penjagaan jarak, pada saat bersamaaan juga ia (seks) menjadi terpisah dengan budaya, moral, agama, atau hukum.
Karena dalam figurasi, dalam ketenggelaman yang ada tinggalah sebuah ekstasi, dalam hal ini ekstasi komunikasi. Khalayak mengalami ekstase ketika menerima representasi dan kehadiran yang terus menerus dari berbagai pesan yang didesain oleh satu kekuatan produksi. Orang mengalami ekstase ketika batas antara yang nyata dan yang imajiner telah tidak lagi jelas. Melainkan hanya terpenuhinya hasrat keinginan dalam pentas dan lokon pesan yang ia konsumsi.
Senyawa imaji seks dan produksi distribusi ala kapitalisme lanjut, menjadikan seks tinggalah menjadi sebuah permainan komodifikasi. Yakni sebuah permainan yang mempersatukan komoditas dengan tanda. Komoditas mempunyai cara yang sangat ampuh untuk berubah menjadi sebuah tanda, tergantung pada posisinya dalam serangkaian penanda yang bersifar self-referensial. Dengan kekuatan tanda dan citra sebuah komoditas tidak lagi sekedar kenyataan materiel, tetapi kenyataan yang memiliki estetika. Kenyataan yang diestetikasikan. Maka, ketika seks telah menjadi tanda dari komoditas, kenyataan pornografisnya akan bergeser ke arah kenyataan estetis. Sehingga batas antara yang nyata dan yang seni menjadi kabur. Seks dengan demikian, dalam keseharian proses produksi dan distribusi komoditas, menjadi estetika sehari-hari. Kecabulan dan berahi yang menjadi seni. Dan bukankah seni selalu nikmat diselami.
Dalam logika simulasi dan komodifikasi yang seperti ini pornografi menjadi kehilangan relevansinya. Karena estetika selalu berkaitan dengan gaya hidup. Maka penilaian terhadap pornografi akan dibenturkan oleh banyak pertanyaan. Karena dalam estetika gaya hidup peradaban audio-visual seperti sekarang ini, yang penting bukanlah representasi, bukan pula penampakan. Akan tetapi bagaimana cara atau gaya ia terepresentasi, bagaimana pula gaya dan cara ia nampak. Bukan pada representasi atau kenampakan rekahan bibir, kerlingan mata, kevulgaran pusar, kemulusan paha, kehausan tatapan mata atau kemontokan buah dada, tapi pada bagaimana gaya dan cara semua representasi dan kenampakan (yang pornografis itu) divisualisasikan. Karena dengan desain dan close up yang jeli, kenyataan pornografis akan menjadi kenyataan estetis. Dan dalam desain sosio-psikogarfik yang tepat, kenyataan pornografis itupun akan menjadi kenyataan yang gaul, funky dan cool, yang bahkan menjadi justifikasi gaya hidup khalayak. Dan sistem produksi dan distribusi kapitalisme lanjut amat mengerti dengan kekuatan dua hal ini.

Paradok Aksi Material
Di sinilah problem paradoknya. Di satu sisi pornografi telah menjadi sebuah representasi, sebuah kehadiran terus menerus yang figural. Sementara langkah-langkah hukum yang hendak diambil oleh pemerintah dan lembaga normatif ada pada wilayah sekunder, wilayah ego yang memiliki karakter penjagaan jarak dan terhindar dari ketertenggelaman. Sesuatu yang tidak nyambung. Wialayah imaji, wilayah non-materiel diobok-obok dengan langkah-langkah materiel (hukum, UU).
Lebih-lebih lagi aksi pada level diskursif seperti yang ditempuh oleh pemerintah memerlukan prasyarat-prasyarat rasional dari satu pola diskursi. Pertama, adalah prasyarat keruntutan logik. Dan sebatas logika yang dikembangkan oleh pihak pemerintah dan lembaga normatif, yakni atas argumen moral, akhlak dan UU sama sekali tidak mencerminkan keruntutan logika. Bukankah selama ini desain peradaban, pembangunan dan UU justru mengarah pada kontra moral dan akhlak. Konsentrasi pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan fisik material, penanganan berbagai problem dengan dominasi fisik yang represif. Desain wacana “menjadi Indonesia” pun lebih mengarah pada “menjadi Indonesia” yang materialistik, dan bukan moralistik. UU mengenai laku mediapun luput dari keruntutan logik, manakala interpretasi terhadap larangan pemuatan pornogarfi hampir tidak pernah membawa korban. Sementara interpretasi terhadap larangan SARA, kritik terhadap istana, militer dan pembangunan telah begitu banyak membawa korban pembredelan pada media massa. Jika kemudian logika moral dan akhlak tiba-tiba mengemuka, ia sama-sekali tidak memiliki keruntutan sejarah dan logika yang harus diyakini secara rasional dan diskursif oleh khalayak dan industrialis media.
Kelemahan pada prasyarat keruntutan logik ini membawa konsekuensi pada prasyarat kedua. Yakni, prasyarat legitimasi. Bukankah saat ini pemerintah dan lembaga normatif di negara kita tengah mengalami krisis legitimasi total? Krisis multidimensional yang tak segera menyisakan titik terang (kalau tidak dapat dikatakan semakin parah), dalam banyak hal justru kedua lembaga tersebut yang menjadi pemicu persolan atau kendala penyelesai. Argumen moral dan akhlak tinggal menjadi parodi manakala kehancuran bangsa ini justru lebih banyak disebabkan oleh moral dan akhlak oknum-oknum pemerintah dan oknum-oknum penjaga moral. Korupsi, kolusi, konflik di berbagai wilayah, atau dalam konteks tertentu kasus seksual orang besar yang menjadi rahasia umum telah mendeligitimasi argumen moral dan akhlak di atas. Dimana karena faktor delegitimasi tersebut media massa dan khalayak telah banyak menuai kepedihan, untuk tiba-tiba kini harus menjadi pihak yang mesti diluruskan akhlak dan moralnya.
Seluruh paradok yang dipaparkan ini bukan berarti diperuntukkan untuk mementahkan segala bentuk langkah penanggulangan terhadap pornografi. Dan bukan berarti pula untuk menjustifikasi pornografi media massa. Saat ini yang kita perlukan adalah langkah yang “nyambung” dengan kenyataan dan logika peradaban. Ini adalah persoalan desain peradaban. Jika sekarang ini ada homogenitas desain, maka yang perlu kita lakukan adalah counter desain. Dan jika langkah diskursi yang dipilih, ia memerlukan dialektika seluruh domain secara rasional dan komunikatif. Bukan intrumental dan temporal seperti yang selalu kita lakukan. Yang perlu kita fikirkan bersama adalah, dari mana kita mulai counter dan dari mana kita mulai mendesain?*** (Sinar Harapan, 22 April 2005)

Mochtar W. Oetomo
Staf pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, Alumni Universiti Sains Malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar