Mochtar W Oetomo
Latar yang pantas untuk memulai andaian tentang regangan psikis pers barangkali adalah bahwa saat ini pers ada dalam kondisi antara. Setelah sekian lama seluruh teritorial dan identitasnya ditelikung dan dibekap kekuasaan represif Orde Baru, kini tiba-tiba dihadapkan pada padang luas tanpa batas yang memberikannya ruang lebar untuk mengekspresikan diri. Pers tengah berada di masa transisi, transisi demokrasi.
Bagi pers, apa yang terjadi sekarang ini adalah sebuah pentas politik dalam memperebutkan teritorial – sebuah geo-politics. Hal ini terjadi ketika batas-batas teritorial, batas-batas identitas, hak milik, kekuasaan didekonstruksi-sebuah politik deteritorialisasi. Pers, seperti akar rumput yang lain menjalar kesana kemari, mencari ruang-ruang teritorialnya yang selama ini di acak-acak dan diduduki oleh mesin-mesin teritorial Orde Baru.
Masalahnya adalah sejak mula akar rumput ini tidak punya teritorial. Pers tidak punya teritorial. Tapi diteritorialkan, diimajikan, dijadikan alat. Mereka tidak punya teritorial, karena tidak berani memikirkan teritorialnya akibat konsensus represif. Ini membuat mereka, pers menjadi tidak terbiasa memikirkan teritorialnya yang sesungguhnya. Dan kini tiba-tiba saja ruang memberikan pelbagai pilihan teritorial, seluas-luasnya, sebebas-bebasnya karena tidak ada lagi konsensus represif, tidak ada lagi penjara. Pilihan teritorial tiba-tiba saja telah tersedia, sementara mereka belum sempat memikirkan di mana, seperti apa dan bagaimana wajah teritorialnya. Apa yang terjadi kemudian adalah pentas perebutan teritorial. Semua tak ingin terlambat, tak ingin kehilangan lagi, apa yang penting memiliki teritorial terlebih dulu. Maka yang terjadi adalah saling lindas, over lap, tikam-menikam. DPR menjamah teritorial yudikatif. Eksekutif mengacak teritorial lembaga-lembaga moral. Dan pers menjulur kesana-kemari menyelusup di semua wilayah teritorial.
Semua julur-menjulur, mencari ruang, membangun identitas, mengukuhkan eksistensi. Pada saat bersamaan semua meluapkan libido, bahasa dan imaji yang selama ini terpenjara dan dikebiri. Semua, campuh dalam dramaturgi euphoria. Dengan dorongan libido masing-masing semua meluapkan imajinya, melalui bahasa, melalui tindakan, melalui konspirasi. Semua bersuara, melengking, sahut menyahut, apa saja dan di mana saja demi identitas dan teritorialnya diakui. Inilah letupan libido, bahasa dan imaji pers. Inilah pentas perebutan teritorial bagi pers. Semua wilayah diceburi, kriminal, politik, pornografi, hiburan sampai klenik. Semua wacana diacak-acak. Semua peristiwa, fenomena dikontruksi dan direkonstruksi, dicetak, diterbitkan, diedarkan. Semua diimajikan, dibahasakan, dibongkar, didekonstruksi. Inilah teritorial saya, kebebasan. Cepat, cepat, cepat dan cepat ! Esok dibaca dan ditonton orang ! Apa yang terjadi kemudian bukan sekedar semantic noise atau chanel noise, lebih dari itu news noise, informations noise, language noise, imagine noise, discourse noise yang menggiring kearah chaos. Chaos bahasa, chaos wacana, chaos imaji, chaos informasi.
Dalam bahasa psikoanalisis setiap tahap perkembangan kepribadian ditandai oleh tiga komponen pelepas kenikmatan, yakni oral, anal dan phalik. Ketika pelepasan oral mendapatkan represi, maka akan terjadi suatu proses pemindahan energi libido ini, salah satunya pemindahan ke arah sifat-sifat sarkastik dan suka berdebat. Dalam konteks pers proses pelepasan energi ini berlaku dengan berhamburnya bahasa-bahasa sarkastik dan provokatif, yang bahkan seringkali keluar dari logika-logika sebuah judul berita pers. Atau juga pers begitu suka dengan polemik yang tidak substansial. Repersi pada pelepasan energi anal, seringkali membawa akibat pada pelampiasan amarah, dan sifar destruktif serta keras kepala pers yang seringkali mau menangnya sendiri dan tidak pernah merasa salah, dengan alasan kemerdekaan pers.Sementara repersi pada komponen phalik membawa akibat sikap permusuhan atau bahkan agresif atau anarkis, ketika ia menjelma dalam fenomena Oidipus kompleks. Pers menjadi agresif terhadap pelabagai kasus dalm upaya menjatuhkan beebrapa pihak.
Bagai bayi yang menyalurkan libidonya Semua peristiwa dan wacana dikunyah untuk dihambur-hamburkan tanpa batas, bebas nilai. Seperti libido bayi (anal,vital, phalik) yang tersalurkan tidak memandang tempat, berita dan wacana pers seolah juga bebas dari batasan ruang dan waktu. Tak ada lagi ibu yang menjaga dan melarang, tak ada bapak yang memarahi. Bahasa pers menyeruak tanpa batas, dari bahasa eufimisme, bahasa konsensus, bahasa fungsionalis, kini menggelora dengan bahasa defemisme, provokatif, anarkis. Imajinya menggelora, penuh semangat mengais teritorial, imaji yang imajiner, analisis imajiner, berita imajiner, bukan imaji produktif atau reproduktif ala Kantian.
Di antara kekuatan subjektif dan objektif
Inilah sebuah geografi hijrah, hijrah teritorial. Sebuah perjalanan hijrah adalah sebuah perjalanan imaji. Gelendot imaji masa lalu, teritorial yang ditinggalkan dan kegenitan imaji masa depan, teritorial di hadapan. Imaji menjadi regang, ketika virus-virus teritorial lalu masih saja menyendawan, sementara teritorial masa depan belum terdefinisikan, kemana dan di mana. Jika pada masa Orba pers mengalami splitting, mengalami keterasingan psikis, maka sekarang ini pers mengalami “regangan psikis”. Dalam pemahaman psikoanalisis Freud, kondisi “regang” ini akibat adanya daya tarik menarik antara kekuatan dari dalam dan dari luar. Seperti halnya pemahaman Freud pers juga mengalami “regangan” akan kenyataan (kondisi chaos), “regangan” neurotis (phobia deteritorialisasi), dan “regangan” moral, tuntutan akan peran, fungsi, serta kondisi objektif dunia pers.
Disatu pihak secara subjektif pers dihadapkan pada rentannya sumber daya manusia yang masih jauh dari kecerdasan jurnalistik, paradigma jurnalisme yang tidak rasional, dan moral jurnalisme yang masih terjangkit virus Orba, belum bisa melepaskan diri dari budaya amplop dan buka serta tutup kasus. Sementara di satu pihak dihadapkan pada kondisi objektif sosial politik yang chaos dan tidak rasional serta cengkeraman monster kapitalisme yang menelikung dari segala titik lemah.
Ketika kondisi objektif telah menyediakan ruang teritorial yang seluas-luasnya untuk berpentas secara intersubjektif dalam medan demokratisasi, pers justru dihadapkan pada kualitas rasionalisme jurnalis akan pemahaman demokrasi dalam “membangsa” (kultural) dan “menegara” (struktural politik). Sementara juga pers masih saja tergurita oleh paradigma jurnalisme yang mengabdi pada hukum “kecepatan”, “konflik” dan “sensasi”, serta tabiat 5W + 1H, yang selalu mengabaikan atas jawaban-jawaban terhadap pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” secara substansial.
Sementara pada sisi lain, pers dihadapkan pada satu realitas pertarungan memperebutkan teritorial (deteritorialisasi), ketika komponen-komponen lain juga tengah sibuk mengais-ngais teritorialnya. Kondisi perebutan teritorial ini tidak hanya berlaku pada wilayah fisik, dalam konteks pers maka kemudian terjadi perebutan teritorial dalam wilayah simbol, perang simbol, perang wacana, perang imaji (kasus pendudukan Jawa Pos oleh Banser). Pers juga dihadapkan pada tarikan-tarikan chaos dan konflik sosial politik hingga dalam banyak hal membuatnya terjebak dalam pentas partisipan, konspirasi dan deal-deal politik tertentu.
Apa yang paling membuat pers “regang” adalah magnit kapitalisme lanjut, dengan prinsip utamanya “kecepatan”. Ketika pesan (informasi) pers sebagai hasil produksi dan reproduksi imaji pers tidak lagi sebatas sebagai sebuah informasi atau pengetahuan, melainkan lebih dari itu telah menjadi komoditi, maka tidak bisa tidak pers harus menuruti logika komoditi. Apa yang terpenting bagi sebuah komoditi, adalah bagaimana ia terjual, terdistribusi dan dikonsumsi oleh khalayak. Semakin cepat terjual maka semakin cepat pula mendatangkan keuntungan. Jika kecepatan penjualan telah menjadi hukum, maka kecepatan produksi menjadi semestinya. Jika kecepatan produksi telah menjadi hukum, maka simulasi, kemasan dan make up menjadi niscaya dalam seluruh rentak wajah berita. Verry hurry ! Ini berkait dengan kompetisi pers. Kompetisi merebut segmen, kompetisi menjual wacana, kompetisi merebut teritorial.
Dalam konteks “regangan” semacam ini, pers kemudian seakan kehilangan titik pijak, kehilangan konteks. Pers berintersubjektif tidak dalam sebuah konteks, bukan atas nama sebuah konteks dan tidak untuk sebuah konteks. Melainkan dalam sebuah teritorial (nya), atas nama teritorial dan untuk sebuah teritorial (ideologis, ekonomis). Dalam tragedi tarik menarik antara kekuatan subjektif dan objektif di luar pers ini, maka bahasa, libido dan imaji pers adalah bahasa, libido dan imaji yang berkeliar, acak, tanpa titik pijak.
Paradigma konvensional pers lebih membuat pers sibuk dengan peristiwa dan fenomena kasuistik dan isu, hinggap dan berlari dari satu permukaan ke permukaan lain tanpa menyisakan satu jawaban yang substansial tentang bagaimana berdemokrasi dalam upaya “membangsa” dan “menegara”. Konflik yang direkampun adalah sebuah redusir, sekedar konflik fisik dan kepentingan, bukan konflik rasionalisme, filsafat dan ideologi yang mencerdaskan subjek. Maka ketika dua kubu diperhadapkan oleh pers, apa yang nampak kemudian adalah satu pihak salah dan yang lain benar, satu pihak menang dan satu pihak dikalahkan. Pers telah menjadi panggung kisah tragedi drama, tapi tidak menyediakan bingkai yang menyebabkan cerita itu digelar. Sebuah bingkai bagaimana “membangsa” dan “menegara”. Pers sibuk mengurusi solusi teritorial bagi subjek-subjek politik, sementara hal yang paling utama, yakni teritorial bagi satu percampuhan politik (konstitusi) tidak terbincangkan. Maka jika republik ini tidak pernah “menegara” dengan sebuah konstitusi yang jelas, maka pers tidak lebih dari itu. Sementara dalam wilayah kultur pers, yang mestinya mampu menampung dan menghadirkan imaji-imaji tentang bagaimana “membangsa”, tidak menyediakan suatu medan perbincangan rasional dan kontemplatif, melainkan hanyalah sebuah tontonan perbincangan. Maka ketika “sistem perbincangan” (pers) sebagai tempat tumbuh kembangnya peradaban, hanya menyediakan logika tontonan, peradaban menggeliat di luar kendali subjek, karena bukan hasil intersubjektif. Peradaban bukan lagi hasil dari pergulatan imaji, akan tetapi peradaban yang diimajikan. Demokrasi yang diimajikan. Masa lalu dan masa depan yang diimajikan. Diimajikan oleh peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena parsial, diimajikan oleh elit-elit sumber berita. Kembali audience mengalami splitting.
Sementara ketika pers juga menceburi teritorial-teritorial subjek-subjek politik atau para pelaku pers itu sendiri adalah para subjek politik, maka pers cenderung terjebak dalam logika partisipan. Dengan latar paradigma jurnalisme konvensional jadinya pers bukan mempertarungkan logika dan rasionalisme ideologi dan identitas, melainkan sekedar mempertempurkan identitas(nya). Maka lahirlah pers-pers nasionalis, pers islam tengah, pers islam kiri, pers islam kanan, bukan pada isi namun pada wajah, melalui sumber-sumber berita dan angle-angle berita yang dipilih. Maka ketika audience berhadapan dengan pers, hanya ada dua pilihan pada dia, berhadapan dengan musuh (ideologi, identitas) atau dengan teman. Bukan berhadapan dengan subjek komunikasi yang lain secara intersubjektif.
Lebih dari itu hegemoni logika kapitalisme telah menjadikan pers sesak dengan talking news, berita kata-kata, kata-kata subjek politik, subjek politik yang dipilih. Pers bukan lagi menjadi tempat untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa dan fenomena subtansial, tapi untuk menonton orang berkata-kata. Sumber berita (informasi) dengan demikian tidak lagi menjadi subjek yang komunikatif, tapi lebih menjadi selebriti lalu lalang, keluar masuk pers. Berpolitik, berdemokrasi, berbangsa dan bernegara dengan demikian tidak lebih dari sekedar style, tidak lebih dari sekedar gaya, bukan sebuah pergulatan. Dengan begitu imaji pers adalah imaji tentang gaya sebuah demokrasi, gaya sebuah politik, bukan imaji demokrasi atau politik itu sendiri sebagai sebuah tambang bagi mengantar subjek berbangsa dan bernegara. Pers menjadi penuh dengan gaya, penuh dengan kostum, penuh dengan suara, penuh dengan make up, penuh dengan noise. Inilah medan chaos wacana. Inilah kondisi noise yang ditimbulkan oleh pers. Inilah turbulensi pers.
Di satu pihak melalui iklan-iklan layanan masyarakatnya, pers menyediakan imaji tentang kerukunan, kesatuan, tujuan, cita-cita dan Indonesia masa depan. Dilain pihak melalui berita-beritanya pers menyediakan imaji tentang kekerasan politik, anarkisme demokrasi, konflik, dan rujukan-rujukan identitas. Inilah turbulensi. Dilain pihak pers mengkritik over lap para elit politik, di lain pihak terus mengambil mereka sebagai sumber berita dan mengabaikan khalayak. Inilah turbulensi. Di lain pihak pers menghadirkan imaji tentang kesetaraan hukum, dan penegangan hukum, mengkritik KKN dan segala bentuk penindasan, di lain pihak, ia melakukan pelbagai prototipe penindasan kognitif khalayak, tanpa menganut asas praduga tak bersalah. Di satu pihak mengutuk segala tekanan dan teror kekuatan lain terhadap pers, dilain pihak terus melakukan teror pada pihak ideologis dan identitas lain dengan pelbagai berita kasus yang tak relevan dengan substansi politik dan demokrasi. Inilah turbulensi pers.
Mengais Kemungkinan
Sebuah regangan selalu membawa resiko eksplosi, ledakan. Dengan begitu pers tidak boleh berhenti menghubungkan rantai imaji, makna, ilmu pengetahuan dan kode-kode sosial eksistensial dengan teritorial lain, untuk menciptakan makna dan relasi-relasi sosial baru yang kreatif. Dalam konteks ini tidak boleh ada hentian posisi teritorial, dengan maksud tidak pernah ada makna henti sehingga tercipta kondisi yang empathy. Karena teritorial wilayah lain juga tidak dipahami sebagai sebuah teritorial yang mandeg. Dengan begitu harus ada redifinisi dan redifinisi tentang wilayah teritorial diri. Apa dan bagaimana menjadi pers. Mesti bebas dari apa saja dan untuk siapa saja ?! Persoalannya karena, sebagai representasi sistem konversasi publik, pers amat penting bagi medan pertempuran subjek-subjek imaji politik dan demokrasi. Dengan begitu pers mempunyai pengaruh besar dalam membingkai dan membangun imaji politik khalayak. Pada saat bersamaan pers sekaligus berperan sebagai subjek imaji politik, hingga ia mesti bisa melahirkan imaji-imaji yang konstruktif, yang bisa disinggungi, yang bisi diinteraksii, yang bisa didialogi, pers dengan begitu juga mesti mempunyai empathy dalam mewujudkan rasionalisme politik dan kondisi demokrasi. Seperti diungkap Sampson inti dari pemahaman empathy adalah bagaimana pers bisa memahami liyan (sang lain) sebagai sehabat pencari, sehingga ada kesepahaman untuk bersama-sama mencari. Bukan saling berebut, dan menindas. Ini karena liyan (sang lain) itu mempnyai peran sentral dalam membentuk “sang diri (self). Karena sang diri baru akan ada jika ada “sang lain’ dan atas pengakuan serta empathy “sang lain”. Inilah inti ajaran Mikhail Bakhtin tentang dialogisme.
Dan jika kita sepakat kondisi transisi dan krisis ini bukan sekedar fenomena sistem akan tetapi juga fenomena dunia kehidupan. Maka pers selayaknya untuk terus dan terus melakukan metamorfosa bagi upaya penambah daya kekuatan sel-sel pertahanan tubuh. Dengan begitu pers tidak cukup merasionalisasi “wilayah kerja”-nya, akan tetapi juga “wilayah komunikatifnya”. Pada wilayah kerja misalnya, persoalan SDM, telikungan kapitalisme dan ”paradigma jurnalisme” meski terus melakukan metamorfosa. Selama jurnalis masih mengganggap kerja jurnalisme sebatas kerja berorientasi produk (berita), dan tidak sekaligus menganggapnya sebagai sebuah kerja yang berorientasi proses, maka apa yang terpenting adalah bagaimana produk itu lahir, lahir dan lahir. Tak peduli itu hasil kutip dari pers lain, tak peduli pinjam dari teman yang mengikuti jumpa pers, tak peduli dari rumor, tak peduli rasional apa tidak, tak peduli berdampak negatif apa tidak. Kerja jurnalisme semestinya juga dipandang sebagai sebuah proses, proses pencerdasan diri, proses pencarian identitas, proses pemanusiaan, sehingga melahirkan produk (berita) yang manusiawi, membumi dan mehirkan proses bagi pembacanya, khalayaknya. Bagaimana isu demokratisasi yang ia tulis tidak sekedar menjadi produk yang dikonsumsi dan selesai, lebih dari itu bagaimana tulisan itu mampu membuat liyan berproses. (Surabaya Post, 9 Februari 2004)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar