Mochtar W. Oetomo
Dalam senyawa kapitalisme lanjut dan peradaban audio-visual seperti konteks sekarang ini perempuan menghadapi ancaman baru yang lebih dahsyat. Tidak lagi sekedar kultur patriarkhi dengan segala dominasi laki-lakinya. Tidak juga modernisme dengan segala program pembangunan dan pertumbuhannya. Ancaman ini tidak datang dalam wujudnya yang verbal. Tidak dalam wajah mengerikan. Tidak dalam sistematika yang rigid. Ancaman ini juga tidak hadir dalam satu konstruksi baik struktur, maupun ilmu pengetahuan. Namun hadir dalam keseharian hidup, kapan saja, di mana saja, bahkan sampai ke tempat kita yang paling pribadi, kamar tidur.
Jika dominasi patriarkhi dan strukturalisme pembangunan dianggap sebagai bentuk kejahatan terhadap perempuan, maka ancaman baru ini adalah sebuah criminalis perfectus. Sebuah kejahatan sempurna terhadap perempuan.Sebuah criminalis perfectus adalah sebuah kejahatan yang bisa menyembunyikan segala bentuk kejahatannya dengan sempurna, sehingga kejahatan itu tidak nampak sebagai kejahatan. Criminalis perfectus adalah kejahatan yang datang dengan senyuman, dengan hiburan, dengan kesenangan. Orang di subordinasikan tapi justru merasa terpuja, didomestikan tapi merasa disanjung, dilecehkan tapi merasa dijadikan ratu. Ancaman baru itu adalah televisi.
Televisi datang sebagai teman ketika kita tengah kesepian. Ia hadir sebagai saudara saat kita dibekap kepedihan. Dari medan kesepian dan kepediahan inilah televisi mencerca dengan berbagai ideasi dan mediasi teknologi serta mediasi sosialnya. Ia tidak melakukan pelecehan seksual secara fisik seperti laki-laki, tapi melakukannya ke kognisi dan imaji. Tidak juga melakukan kekerasaan terhadap peran, kedudukan, fungsi perempuan secara ideologis, sistemik dan terencana tapi juga melakukan kekerasan kognisi dan imaji terhadap semua itu.
Machina Sexualis
Dalam pendekatan Foucalt, televisi melakukan semua itu melalui mesin-mesin kekerasan seksual-nya (machina sexsualis). Sinetron, iklan, acara-acara pesta adalah mesin-mesin kekerasan televisi yang bekerja dengan sangat lembut, efektif, penuh daya pikat. Hingga ia tidak menampakkan wajah kekerasan dan kejahatannya, sebaliknya nampak menghibur dan menyenangkan.
Inilah oleh apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dan kekerasaan semiotik. Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan melalui proses simbolisasi terhadap perempuan dengan cara-cara yang sangat wajar dan rujukan-rujukan yang absah hingga pada akhirnya simbol itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Gadis-gadis cantik dengan pakaian seronok yang berseliweran diberbagai sinetron kita. Yang keberadaannya di senetron tersebut bukan karena dibutuhkan oleh alur cerita, akan tetapi karena kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kenyataan simbolik ini menkonstruk kenyataan sinetron kita, bahwa aktris harus cantik, soal akting nomor sekian. Sebuah kebenaran simbolik yang telah dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak.
Sementara kekerasan semiotik adalah sebentuk kekerasan terhadap perempuan melalui ungkapan-ungkapan dan bahasa-bahasa yang memiliki rujukan struktur (kultural, religi) serta rujukan kontekstual, hingga bahasa itu nampak menjadi wajar dan absah. Ungkapan-ungkapan verbal dan menjurus dalam berbagai pentas lawak (terutama Srimulat) adalah bentuk kekerasan semiotik terhadap perempuan yang lebih banyak ditempatkan sebagai objek seksual (ingat tingkah Tessy pada bintang tamu yang cantik). Hebatnya kita menyaksikan itu semua penuh dengan kenikmatan dan canda tawa. Inilah kesempurnaan sebuah kejahatan. Criminalis Perfectus.
Dengan iklan yang tiap saat dan waktu mengunjungi detik-detik kita, perempuan terus mendapatkan berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik. Perempuan tidak saja semakin mendapat peneguhan domestifikasi melalui peran-peran ibu rumah tangga di senetron-sinetron kita serta iklan-iklan sabun cuci dan bumbu masak. Dengan simbolisasi dan semiotikasi sebagai ibu cerdas, baik dan pengertian. Mungkin juga perempuan diberi peran sebagai wanita karier dalam sinetron dan ilan kita, namun bukan untuk menggambarkan daya juang, kecerdasan dan kemandiriannya melainkan untuk menggambarkan kegagalan cinta dan merk bedak atau pengharum keringatnya.
Perempuan juga disimbolisasikan sebagai makhluk materialis dalam sinetron kita yang harus mendapat suami seorang profesional muda (direktur) serta pada iklan-iklan elektronik. Perempuan menjadi makhluk seksualis dalam iklan-iklan obat kuat, yang merasa cukup ketika telah mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya. Perempuan menjadi lemah dan pelengkap seperti dalam iklan-iklan minuman suplemen dan rokok.
Lebih dari itu simbolisasi iklan dan sinetron telah memenjara dan menambah demikian banyak beban hidup yang harus ditanggung oleh seorang perempuan. Bahwa perempuan harus tampil dengan ketiak menganga seperti mahasiswi-mahasiswi dalam sinetron kita. Perempuan tidak boleh gemuk, seperti dalam iklan-iklan produk kesehatan dan pelangsing tubuh. Tidak boleh memiliki bau badan. Harus berkulit lembut. Harus memiliki rambut lurus, hitam, berkilau dan tidak berketombe. Bahkan perempuan kemudian harus memenuhi ukuran-ukuran tertentu. Harus memiliki PH 3,5 dan kalau tidak ehm....!
Inilah pentas criminalis perfectus. Sebuah kejahatan sempurna terhadap perempuan. Karena kekuatan mediasi teknologisnya semua bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu datang dengan begitu menghibur, bahkan ngangeni ketika lama tidak muncul. Ia tidak hadir dalam bentuk kekerasan dan kejahatan verbal dan fisik seperti yang banyak dikritikkan oleh para feminis terhadap patriarkhi dengan prianya dan pembangunan dengan pertumbuhan dan eksploitasinya. Melainkan hadir dalam bentuk kekerasan imaji. Ketika berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu hadir dalam representasi yang terus menerus dengan melintasi ruang dan waktu. Dalan dalam wajahnya yang ramah dan penuh senyum, secara tidak sadar ia membentuk cara pandang, pola pikir dan pemahaman kita (perempuan) terhadap realitas.
Ketika berbagai tayangan televisi telah menjadi pesan itu sendiri (medium is the message) dan setiap pesan itu menghadirkan berbagai metafor (the medium is the metaphor) yang merujuk pada simbolisasi-simbolisasi yang merugikan dan memposisikan wanita di posisi subordinat, maka simbolisasi itulah yang cenderung semakin meneguhkan cara pandang patriarkhi yang sejak mula ada. Bukan perempuanlah sesungguhnya yang menonton televisi. Tapi televisilah yang menonton perempuan. Menonton pakainanya, aktivitasnya, berat badannya, bau badannya, rambutnya, kulkasnya, pembalutnya, kepuasan seksualnya untuk kemudian mentertawakan jika tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Disaat seluruh konsentrasi kesadaran feminin perempuan terarah ke kultur patriarkhi, problem agama dan pembangunan ekonomi dan coba melakukan perlawanan, pada saat bersamaan ia begitu dekat dan bersahabat dengan sumber idea kejahatan tersebut. Inilah yang oleh Foucault disebut sebagai mesin scienta sexsualis. Melalui rujukan-rujukan pengetahuan (iklan dengan berbagai bentuk pembuktian) dan rujukan perbandingan (iklan dengan berbagai contoh yang telah mengalami) simbolisasi perempuan dibangun. Setiap hari, begitu dekat, bahkan sangat akrab, bangun tidur dan berangkat tidur bersama-sama.
Kesadaran Simbolik
Persoalannya adalah, konstruksi kekuatan audio-visual itu tidak mungkin kita hindari. Kita memang hidup di jagad peradaban audio-visual dan kapitalisme lanjut, yang penuh dengan ekonomi bujuk rayu dan simbolisasi hasrat. Logika masyarakat kontemporer telah mengarah ke logika audio-visual yang packing, yang dipermukaan, tidak dialogis, fragmentatif namun penuh pesona dan hiburan. Dalam konteks yang demikian kehadiran yang terus menerus sebuah rujukan atau simbolisasi tentang perempuan cenderung tidak kentara dan perfek.
Oleh itu diperlukan adanya kesadaran simbolik dan kesadaran semiotik pada kaum perempuan ketika tengah berinteraksi dengan televisi. Karena dengan kesadaran inilah potensi-potensi interpretasi terhadap berbagai simbol dan pesan masih mungkin terjadi secara dialogis. Bukan sekedar kesadaran kultural terhadap patriarkhi yang dalam beberapa hal malah kontra produktif karana terlalu radikal. Bukan pula hanya kesadaran teologis yang dalam beberapa hal cenderung` menjadikan feminis rada nyinyir dengan agama. Atau juga tidak hanya kesadaran ekonomi yang harus mandiri, karema dalam beberapa hal seringkali membuat perempuan sama rakusnya dengan laki-laki terhadap uang dan kekuasaan.
Ketika peradaban audio-visual telah bersenyawa dengan peradaban kapitalisme lanjut dan menyeret kesadaran realitas ke arah kesadaran dan pemahaman citraan, simbol, dan tanda, maka kepekaan dan kesadaran terhadap citra dan simbol menjadi mutlak. Karena bentuk kejahatan terhadap perempuan kini tidak hanya berkerja di wilayah riel. Dengan mediasi teknologinya bahkan kejahatan itu telah menjadi hipreal, sebuah hiperkriminalitas. Kejahatan yang melampai realitasnya sendiri. Sehingga kejahatan itu menjadi nampak wajar dan absah.
Berbagai bentuk kesadaran tersebut hanya mungkin dicapai jika perempuan mengolah potensi tipografisnya yang runtut, logik dan konstruktif. Sehingga memiliki kesadaran pengetahuan. Lebih dari itu adalah kemampuan aliansi dan komunikasi bahwa tidak setiap lelaki adalah musuh seperti halnya tidak setiap perempuan adalah feminis.. Dekonstruksi terhadap simbol, bahasa dan tanda hanyalah jalan untuk menuju konstruksi simbolisasi, bahasa dan tanda baru untuk dapat melakukan counter wacana, tanda dan simbol yang memungkinkan rekonstruksi terhadap simbol, tanda dan wacana perempuan yang lebih manusia, dan tidak berpihak. Tidak kepada laki-laki. Tidak juga kepada perempuan. Tapi pada kemestian, kemaslahatan dan keseimbangan ruang publik. (Surabaya Post, 21 April 2004)
Mochtar W. Oetomo, MA
Staf pengajar Fak. Ilmu Komunikasi Univ. Dr. Soetomo Surabaya, Alumni Universiti Sains Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar