Oleh Mochtar W Oetomo
Udara yang bagaimana yang kita hirup dari orbit kehidupan Indonesia
kontemporer seperti sekarang ini? Kita hidup dalam sebuah horror mundi,
sebuah dunia yang penuh dengan rasa cemas dan takut. Mau parkir sepeda motor
kita cemas kemalingan. Naik bis kota takut kecopetan. Naik angkutan
jangan-jangan dirampok. Tidak memberi pengamen dan peminta di traffict light
khawatir cat mobil digores paku. Punya bayi ngeri diculik. Nonton sepak bola
takut dikompas bonek dan terjadi kerusuhan. Mau ngebut cemas jalan
berlubang, pelan-pelan dipisuhi tukang becak.
Inilah negeri horor kita, mau berusaha takut digusur. Mau kuliah takut
universitasnya menjadi sarang mafia skripsi, nilai dan ijazah. Hendak
mengurus KTP dan SIM khawatir dipingpong birokrasi. Musim hujan takut
banjir, musim panas takut dehidrasi. Hendak bercinta takut hamil lagi,
karena rumah yang sempit dan panas. Mau tidur takut kesiangan hingga perlu
jam beker untuk membangunkannya. Bahkan mau sholat ke masjidpun cemas pulang
tak lagi memakai sendal.
Sebagai sebuah realitas, fragmen-fragmen horor tersebut sebenarnya tidak
terlalu berkaitan dan koheren satu dengan yang lain. Akan tetapi ketika
fragmen-fragmen realitas tersebut diangkat ke media dan menjadi konsumsi
khalayak, maka tanda, gambaran dan citra dari fragmen-fragmen tersebut
melampaui realitasnya sendiri, hiperreality of horror.
Ketika berbagai peristiwa dan realitas tersebut hadir satu per satu melalui
kekuatan representasi dan legitimasi media ke hadapan imaji khalayak, maka
dengan kekuatan resonansi imajinernya fragmen-fragmen tersebut
sambung-menyambung menjadi satu kesatuan imaji, kebulatan wacana yang ketika
diberi makna-makna tertentu di wilayah perbincangan sosial bergeser menjadi
serangkaian realitas universal. Universalisasi citra horor menjadi horor itu
sendiri.Akan tetapi jika kita membincang fragmen-fragmen tersebut sebagai
sebuah kondisi epistemologis, maka nalar universalitas dari realiatas horor
tersebutlah yang justru subtansial.
Tiga Watak Horor
Dalam logika imajinasi horor seperti di atas, paling tidak ada tiga karakter
utama yang dapat kita jadikan 'pengilon' untuk membaca realitas horor di
sekitar kita.
Pertama, constructed, bentukan, terbangun, terkonstruksi secara bertahap dan
rasional. Jika ketakutan atau kecemasan kita terhadap berbagai realitas
horor adalah sebuah ketakutan terhadap suatu kejahatan atau bencana yang
tiba-tiba, alamiah, dan sepantasnya terjadi (berdasar logika ruang dan
waktu). Misalnya parkir sepeda tidak dikunci, jalan sendirian di tengah
malam dan dirampok. Maka bencana dan kejahatan constructed adalah sebuah
bencana dan kejahatan yang terjadi karena urutan logis, karena laku
konstruktivisme, dalam beberapa hal rekayasa, dan bukan atas kewajaran dan
kealamiahan.
Berbagai bentuk bencana, tragedi dan kejahatan yang berkeliaran di sekitar
kita selama ini sesungguhnya bukanlah realitas horor alamiah, melainkan
konstruktivisme horor. Curanmor, pencopetan, maraknya anak jalanan, jalan
berlubang, banjir, penculikan bayi, penggusuran, mbulet-nya birokrasi
bukanlah sebuah realitas horor alamiah, melainkan karena problem-problem
kultural dan struktural yang saling terkait dan terencana. Semua realitas
ini adalah buah dari unpredictable kerja teknologis, mesianik dan
pembangunan yang kita elu-elukan selama ini. Dalam beberapa hal, realitas
horor tersebut adalah sebuah abjeksi, yakni sebuah skenario, rekayasa yang
memanfaatkan batas antara kenyataan dan kehampaan hukum demi kepentingan
instrumental individu atau kelompok. Jalan berlubang, banjir, birokrasi
yang "mbulet", penggusuran, mafia skripsi adalah beberapa horor abjeksi.
Kedua, infective, menjalar bagaikan virus. Selain karena representasi media
yang fragmentif dan terus-menerus seperti diuraikan di atas. Kecemasan dan
ketakutan akan realitas horor yang imajiner tersebut adalah beberapa
konsekuensi masyarakat teknologis dewasa ini. Seperti ujar Erich Fromm,
prinsip utama masyarakat teknologis dan mesianik adalah "kerjakan selama
sesuatu itu secara teknis mungkin dikerjakan". Maka jika secara teknis
mengamen dan menggertak itu mungkin dikerjakan, kerjakan. Jika secara teknis
mengurangi lebar jalan tidak mungkin dilakukan, maka kurangi tebalnya. Jika
secara teknis, menculik, menggusur, memalsukan dan menjual skripsi itu
mungkin dilakukan, lakukan. Jika secara teknis sebuah berita itu mungkin
dibuat, diedarkan dan pasti dikonsumsi, buat dan edarkan.
Dalam ciri masyarakat yang demikian, titik henti tidak ada. Segala sesuatu
menjadi mungkin dikerjakan dan dilakukan. Tanpa batas, tanpa puas, dan
dengan demikian kemungkinan-kemungkinan teknis tadi menggerus
kemungkinan-kemungkinan humanis yang butuh jeda, relationship, dan
kontemplasi. Maka ketika masyarakat kita telah disibukkan oleh
kemungkinan-kemungkinan teknis, tujuan hidup pun cenderung menjadi
instrumental, yang dengan demikian semakin menggerus tujuan hidup
komunikatif. Lebih dari itu pola pikir teknis menuntut prasyarat ukuran.
Sebab tanpa mesianisasi yang pasti, ukuran yang pasti, langkah yang pasti,
rencana yang pasti, kewaspadaan yang pasti, waktu yang pasti, sebuah
kemungkinan teknis akan menjadi ketidakmungkinan teknis yang berakibat fatal
pada jalannya roda mesin.
Oleh karenanya kebutuhan akan kepastian masyarakat teknologis dewasa ini
adalah kebutuhan yang paling utama. Karena kebutuhan akan kepastian inilah
yang menopang kebutuhan akan rasa aman. Sayangnya sifat manusia mesianik
adalah semakin ia ingin mendapat kepastian, semakin pula ia merasa tidak
pasti dengan ukuran kepastian tersebut. Untuk mendapatkan kepastian sepeda
motor kita tidak dicuri, kita kunci stang, Kita belum cukup pasti, kita
kunci roda. Belum cukup pasti, kita kunci alarm. Belum pasti juga, kita
kunci rahasia. Apa yang terjadi justru kebutuhan akan kepastian itu menjadi
virus kecemasan dan ketakutan yang begitu cepat menjalar ketika mendapatkan
injeksi-injeksi stimuli (peristiwa horor yang dikabarkan media).
Ketiga, floating. Mengapung dan berputar bagaikan orbit. Maka ketika wacana
dan representasi media tentang horor hadir dalam masyarakat yang begitu
butuh akan kepastian dan rasa aman, wacana itu tak butuh lagi realitas yang
sesungguhnya. Realitas horor itu seperti sebuah orbit yang terus
berputar-putar mengapung di atas kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kita
terus merasa diawasi, diancam dan diintip oleh satu kekuatan horor yang
setiap saat dan setiap waktu siap menerkam kita. Kapan pun, di mana pun kita
terus merasa tidak pasti dan tidak yakin, akankah kenyataan-kenyataan horor
yang terjadi pada orang lain tersebut terjadi pada diri kita juga.
Inilah horror mundi. Ketika kita hanya berpikir tentang ukuran kepastian dan
mengabaikan spontanitas. Ketika kita dipacu oleh ukuran-ukuran teknis dan
melalaikan ukuran-ukuran humanis yang komunikatif. Ketika kita hanya
menganggap semua laku dalam ukuran kerja dan bukan laku komunikatif. Horror
mundi barangkali memang sebuah ciptaan, rekayasa dan problem struktural,
namun ketika ia telah terbangun dalam imaji dan nurani teknologis dan
mesianik kita. Sesungguhnya semua realitas, akan menjadi horor. Apa yang
kita perlukan sekarang adalah sebuah dekonstruksi kultural, demi terciptanya
rekonstruksi dan terobosan kultural. Karena yang kita alami bersama bukan
semata-mata soalan politik dan kriminal, lebih dari itu adalah problem
sosio-psiko peradaban yang puluhan tahun mengalami pembusukan. Kalau tidak,
selamanya, hidup kita, negeri kita adalah sebuah horror mundi.
Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr.
Soetomo Surabaya.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/01/opi01.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar