Oleh: Mochtar W Oetomo
MESKI mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat melalui aksi demo, Presiden Megawati kukuh pada kebijakannya. Presiden bahkan merasa lebih baik diklaim "tidak populis" daripada surut, membatalkan atau menunda kebijakan privatisasi BUMN, kenaikan tarif dasar listrik, telepon, dan BBM. (Kompas, 13/1/03)
Kepastian dan ketegasan atas kebijakan yang telah diputuskan memang amat niscaya dalam jagat administrasi politik. Namun, sebuah kebijakan efektif amat memerlukan kredibilitas dari otoritas kelembagaan yang mengeluarkannya. Karena kebijakan memperoleh legitimasi bukan hanya dari tertanamnya ia dalam struktur otoritas atau dari hubungan hegemonisnya dengan lembaga-lembaga lain (tentara, IMF), tetapi juga amat bergantung kekuatan preskriptif. Seperti kata Lull, agar efektif sebuah kebijakan harus dipersepsikan oleh aktor-aktor sosial-politik sebagai sesuatu yang secara emosional memuaskan, secara kultural relevan, secara sosial berguna, dan secara komunikasi politik komunikatif.
Pengaruh sebuah kebijakan tidak sama dan sebangun dengan definisi tradisional mengenai "kekuasaan", yakni kemampuan individu, kelompok, atau lembaga guna menjalankan kehendaknya atas yang lain. Representasi sebuah kekuasaan yang berdasar kebijakan tidak bersifat satu arah, dengan demikian tidak harus egois, represif atau menindas yang lain (rakyat). Dalam konteks inilah komunikasi politik dua arah yang imbang, empati, dan bebas dominasi amat menentukan perannya.
Banyak analisis telah membuktikan, selama berkecamuknya reaksi terhadap kebijakan pemerintah beserta rentetan argumen yang melatarbelakanginya satu bulan terakhir, menunjukkan secara emosional kebijakan itu tidak memuaskan khalayak, karena bertentangan dengan kehendak mayoritas. Secara kultural tidak relevan, karena disuguhkan dalam suasana psiko-ekonomi yang tengah berkabung. Secara sosial tidak berguna, karena tidak membawa implikasi ekonomi langsung pada khalayak (malah sebaliknya). Dan secara komunikasi politik tidak komunikatif, karena penuh represi dan tidak dialogis.
Paradoks komunikasi
Jika komunikasi politik yang seimbang (transaksional), empati, dan bebas dominasi menjadi syarat mutlak sebuah relasi antara kebijakan, otoritas, dan kekuasaan, maka yang disaksikan di tengah carut-marutnya aksi dan reaksi terhadap keempat kebijakan itu adalah sebuah paradoks komunikasi politik. Reaksi dan demonstrasi yang terus menguat dan meluas eskalasinya belakangan menunjukkan adanya desonansi komunikasi politik yang menghinggapi imaji publik. Sebuah desonansi yang amat kuat resonansi (rambatan)-nya sehingga pengusaha dan buruh pun (dalam sejarah sulit terjadi) bisa bergandeng tangan menolak kebijakan.
Satu kondisi desonan dialami khalayak komunikasi manakala psiko-kognitifnya mengalami ketegangan akibat pesan-pesan (kebijakan beserta argumennya) yang ia terima dari komunikator. Kondisi desonan adalah sebuah kondisi penolakan atau penyesuaian terhadap pesan yang komunikan (rakyat) terima agar sesuai konteks dan realitas dirinya, sesuai kebutuhan emosi, relevan dengan konteks kultur, dan memiliki kegunaan dalam praksis sosial keseharian. Meski secara rasional kebijakan itu mungkin diterima, karena tidak sesuai dengan hal-hal itu maka khalayak cenderung terus mencari kesalahan dari pesan (kebijakan pemerintah) dan mencari pembenaran atas pendapat, sikap, hingga perilakunya (demonstrasi berterusan). Desonansi terjadi saat setiap pesan dan argumen yang dikeluarkan pemerintah bukannya meredakan reaksi, sebaliknya semakin menimbulkan ketegangan psiko-kognitif.
Seperti pesan dan argumen Presiden Megawati terakhir di Bali (Kompas,13/1/03), bahwa ia tak mungkin menunda atau membatalkan ke empat kebijakan, justru membuat psiko-kognitif khalayak kian tegang hingga reaksi demonstrasi menguat dan meluas eskalasinya. Pesan yang mengatakan, kebijakan ini diambil demi kepentingan jangka panjang agar rakyat tidak terbiasa hidup dalam topangan subsidi, amat mudah didesonansi, "lebih banyak mana jumlah subsidi dengan jumlah uang negara yang dikorupsi?" Bukankah selama ini rakyat lebih banyak dikeruk dan dimanipulasi dibanding diberi kue pembangunan? Bukankah orang yang paling banyak menerima subsidi itu justru kelas menengah ke atas berbanding rakyat kecil? Atau apakah subsidi itu amat berarti berbanding penderitaan, pengorbanan, dan penindasan yang di alami rakyat?
Pesan presiden agar rakyat melatih hidup sederhana, mandiri dengan mengencangkan ikat pinggang sebagai akibat kebijakan tarif dan melambungnya harga-harga, seperti kata Nimmo, tidak lebih hanya strategi komunikasi politik "pesan sebagai proyek lupa".
Ketika presiden mulai kecipuhan dengan aneka adu argumen, ia berusaha mengalihkan diskursus ke diskursus lain yang meninggalkan substansi persoalan. Pesan yang demikian amat mudah di-desonansi. Karena bukankah selama ini rakyat sudah cukup terlatih dengan pola hidup sederhana, mandiri, dan mengencangkan ikat pinggang? Tidakkah pemerintah dengan elitenya yang tak terlatih hidup sederhana sehingga anggaran belanja negara selalu defisit? Tidakkah pemerintah yang kurang mandiri hingga selalu mengandalkan utang luar negeri, dan kebijakan penaikan berbagai tarif untuk menjalankan program-programnya?
Bagaimana Presiden Mega bicara soal hidup sederhana sedang dalam satu bulan ia menyelenggarakan dua pesta (ulang tahun Taufiek Kiemas dan PDI-P di Bali) dengan amat megah dan mewah, belum lagi saat memborong 50-an tiket konser F4 yang harganya selangit? Maka pesan komunikasi yang dimaksudkan untuk menyejukkan suasana malah membuat suasana kian panas, karena ketegangan psiko-kognitif khalayak memuncak.
Rambu-rambu
Ada rambu yang tak boleh dilanggar dalam pentas komunikasi politik yang desonan. Pertama, secara terus-menerus komunikator melemparkan pesan serupa. Kedua, menegaskan pesan yang represif. Ketiga, mengalihkan pada pesan yang lain. Jika ketiga rambu itu dilanggar, maka konsekuensi yang ditimbulkan adalah kondisi desonan yang kian menegang hingga feed back yang dilahirkan justru pesan-pesan yang kian ofensif dan lebih represif. Karena saat secara psiko-kognitif khalayak mengalami ketegangan dan terus mendapat tekanan ia akan mengalami splitting, satu kondisi untuk menjelaskan saat khalayak secara psikis tercabut dari identitasnya, dari egonya, dan dari kebenaran dirinya yang nyata akibat pesan komunikasi politik yang tidak argumentatif dan berpihak padanya. Dalam kondisi splitting, khalayak hanya membutuhkan pesan yang secara emosional memuaskan, secara kultural relevan, dan secara sosial berguna, seperti diajarkan pendekatan Uses and Gratifications dalam terminologi komunikasi politik.
Sayang, ketiga rambu itu telah dan selalu dilanggar pemerintah. Argumen serupa, tentang neraca berimbang, pentingnya menghapus subsidi selalu diulang-ulang meski jelas tak lagi diterima. Pesan-pesan represif melalui berbagai simbolisasi terus dilancarkan (reaksi keras Mega terhadap pembakaran fotonya dan simbol- simbol negara). Dan upaya- upaya mengalihkan pesan seperti yang dilakukan Hamzah Haz yang selalu melempar pesan tentang kaukus penyelamatan bangsa serta pesan Mega terakhir di Bali, agaknya akan terus dilakukan.
Jika kini dengungan "Asal Bukan Mega" kian menggema, itu hanyalah feed back kecil dari kondesonan dan splitting khalayak. Jika kondisi itu masih berlangsung, maka pentas komunikasi politik yang ditandai pesan berdarah-darah akan segera tergelar di hadapan kita.
Mochtar W Oetomo, Staf Pengajar Fak Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, Direktur Surabaya Media School
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/22/opini/92083.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar