Mochtar W Oetomo
Radar Surabaya, 26/4/2003
Polemik Inul masih hangat saja. Jumpa pers yang dilakukan hari Senin (24/4/2003) di Jakarta oleh Si Raja Dangdut Rhoma Irama sungguh menyentakkan. Bukan saja bagi dunia dangdut, bahkan juga dunia politik dan demokrasi. Dari sekian panjangnya polemik yang menyertai langkah pelantun “Begadang” ini satu hal yang agak terabaikan dan hampir tidak masuk dalam jaringan wacana tentang Inul. Yakni, tentang “kebebasan media”. Karena bukankah Bang Haji tidak hanya “mendamprat” Inul, Anissa dan Uut? Bukankah Bang Haji juga mendamprat pengelola acara “Duet Maut” SCTV dan melayangkan rekomendasi pada stasiun televisi lain untuk tidak menayangkan tayangan-tayangan erotis sebangsa goyang ngebor Inul?
Para artis dangdut yang tampil dalam ''Duet Maut'' itu dianggap telah mengeksploitasi seks dengan mengumbar hawa nafsu setan melalui erotisme dan sensualitas yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan budaya bangsa. Tidak hanya itu, secara gamblang Rhoma Irama menuduh para pengelola acara ''Duet Maut'' itu sebagai pelaku utama kemerosotan moral bangsa.
Media dengan demikian mendapat tantangan baru dari kekuatan penekan (interest group). Bukan saja dari negara, pemilik kapital, aksi komunalime, tapi juga dari person-person yang mendapat julukan tertentu (Raja Dangdut), atau organisasi-organisasi profesi tertentu (PAMMI). Mengingat seluruh polemik ini berawal dari tayangan televisi, maka mestinya dikaji secara proporsional dengan mengacu kepada ketentuan perundang-undangan di bidang pers, khususnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam kaitan interaksinya dengan media massa, masyarakat memang dijamin haknya untuk melakukan sebuah kegiatan yang bermuara pada pengembangan kemerdekaan media. Selain itu masyarakat juga berhak untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Demi menjamin hak tersebut masyarakat bias melakukan pemantauan dan dan analisis terhadap pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan dan tayangan yang dilakukan oleh media.
Maka jika ada kesan dan dakwaan terhadap goyang ngebor Inul yang terlalu sensual dan mengumbar berahi, dan bahkan tidak sesuai dengan norma dan agama, maka selaras dengan UU Pers, mestinya kritik dan dakwaan tadi disampaikan kepada Dewan Pers atau lembaga lain yang telah terakomodasi dalam UU Pers, seperti lembaga konsumen media (Media Watch).
Jika saja Bang Haji memahami UU Pers (karena bukankah negara kita negara hukum) maka ia tidak perlu buru-buru melakukan jumpa pers secara terbuka untuk mendamprat Inul dan pengelola “Duet Maut”. Berdasarkan UU Pers, Bang Haji atau khalayak pada umumnya mestinya melayangkan secara langsung keberatannya pada media yang bersangkutan. Dan seandainya media tersebut tidak menggubris, pengaduan dapat disampaikan kepada asosiasi atau organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Selanjutnya, jika pengaduan itu tetap saja tidak memuasakan atau tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya, bisa diteruskan ke Dewan Pers. Dan proses hukum adalah jalan terakhir ketika Dewan Pers tak juga merampungkan dahaga protes.
Dalam konteks UU Pers-pun Bang Haji dan khalayak mestinya tidak buru-buru “menampar” Inul dengan berbagai cemeti normatif. Apalagi sampai perlu "menyeret" Inul dihadapkan kepada Raja Dangdut Rhoma Irama dan menghadapi persidangan tertentu. Sebab kalau kita bicara siapa yang salah dalam konteks maraknya tayangan goyang sensual di televisi akhir-akhir ini, maka menurut Pasal 12 UU Pers kita tidak bisa semata-mata menyalahkan Inul, Anissa, Uut atau yang lain. Penanggungjawab program adalah orang pertama yang harus mempertanggungjawabkan, jika program tayangannya dianggap melanggar etik dan hukum.
Maka mestinya bukan Inul yang harus di”kuyo-kuyo”, penanggungjawab medialah yang mestinya menghadapi dakwaan atau keberatan atas penampilan Inul dan kawan-kawan. Bukankah segala macam hujatan, kritik, dan polemik tentang goyang ngebor Inul tidak mungkin lahir dari khalayak, jika saja goyang itu tidak ditayangkan oleh media massa (televisi). Inilah dengan apa yang dimaksud dengan independensi (redaksi) media. Bukan saja independen dari segala intervensi, tapi juga independen dalam mempertanggungjawabkan isi media sebagai buah dari kebijakannya.
Terlalu berbelit, lambat dan birokratis barangkali. Tapi bukankah sejarah telah membuktikan begitu banyak kasus ketegangan antara media dan khalayak tidak pernah terselesaikan atau bahkan melahirkan implikasi-implikasi baru yang lebih runyam akibat jalur UU dan hokum yang diabaikan. Maraknya kekerasan baik yang dilakukan oleh khalayak, negara atau kekuatan tertentu terhadap pers tentu bukan harga yang lebih baik, berbanding lamanya proses hukum yang harus ditempuh. Persoalannya adalah, kapan lagi kalau tidak kita mulai sekarang. Akankah selamanya kita menyelesaikan segala yang berkaitan dengan media melalui sarana-sarana kekerasan dan pemasungan kemerdekaan?
Mochtar W Oetomo, MA
Staf Pengajar Fikom Untiomo dan Direktur Surabaya Media School (SMS)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar