Kamis, 04 Februari 2010

Media, Azahari, dan Selanjutnya Noordin M.Top

Mochtar W Oetomo

Suara Karya, 1/11/2002
Seperti yang kita baca,dengar dan lihat dari berbagai media massa Polri telah berhasil menewaskan gembong teroris Dr. Azahari di Batu Malang. Selain berita tewasnya Azahari, dua minggu ini media kita juga disesaki oleh berbagai berita penangkapan dan pencarian jaringan teorisme Azahari-Noordin M. Top di berbagai daerah dan kota. Dalam konteks abad informasi dan komunikasi seperti sekarang ini, publikasi aksi Polri yang demikian memang menjadi sangat strategik bagi sebuah pengembangan propaganda politik. Meskipun tidak dipublikasikan bagaimana aksi itu dilakukan hingga mencapai keberhasilan atau beberapa fakta lain yang mengalami kegagalan, dalam kontelasi resonansi media, sesungguhnya pesan itu telah berbicara begitu banyak.
Pertama, Polri ingin melempar pesan pada publik bahwa mereka terus bekerja keras mengatasi berbagai aksi terorisme dengan cara menangkap (otak) pelaku atau bahkan menyingkap jaringannya. Kedua, pesan tersebut berrfungsi secara recognised ,yakni memberi penyegaran ingatan kepada publik bahwa pelaku teror masih aktif dan terus beroperasi di lapangan, bisa mengancam siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Oleh karena itu, masyarakat tetap harus waspada sekaligus menganggap agenda terorisme adalah agenda penting kalau tidak yang terpenting.
Ketiga, pesan tersebut sesungguhnya adalah politik teror Polri yang memang sengaja menebar propaganda -- meskipun belum tahu keberadaan Noordin M. Top secara persis -- sebagai teror mental kepadanya. Ini perang psikologis atau tekanan mental (psywar) kepada buron Polri agar tidak betah bersembunyi sehingga pindah tempat untuk dideteksi keberadaan yang sebenarnya.
Polri pernah menerapkan strategi ini ketika memburu Abdul Aziz alias Imam Samudera. Ketika itu, polisi terus mendeteksi sinyal telefon genggam Imam Samudera pascapeledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002. Suatu ketika polisi melontarkan kepada publik bahwa Imam Samudera berada di suatu tempat. Ini tidak bedanya perang psikologis yang kini tengah diterapkan polisi terhadap Noordin M. Top ketika Polri mensinyalir buron kakap ini ada di Semarang dan mengubek-ubek kota tersebut.
Perang informasi dan psikologi memang penting. Persoalannya adalah implikasi kognitif atau imajiner yang bakal mendera publik, ketika bentuk propaganda publikatif itu tidak akurat atau kontekstual. Seperti ketika polisi menggambarkan profil sang buron. Imam Samudera atau Azahari selama buron digambarkan polisi selalu membawa senjata api. Faktanya lain. Ketika ditangkap, dia hanya membawa laptop, Azahari bahkan cukup dekat dengan beberapa orang asli Jl. Flamboyan Batu Malang tempat ia menyewa rumah. Bukankah penggambaran yang demikian dalam satu sisi justru melahirkan kepanikan imajiner khalayak, yang dalam titik ektrim tertentumenjadi ketidakramahan sosial.
Tak jauh berbeda dengan strategi propaganda publikatif yang ditempuh Polri dalam memburu Noordin M. Top pasca tewasnya Azahari. Si “penebar maut” ini selalu digambarkan dengan sosok yang selalu menggamit bom di badannya. Dengan harapan bisa diledakkan ketika polisi mau menangkap. Sebagaimana ekspos terhadap Azahari dan dua temannya yang berbaju bom lengkap saat digerebek di Batu beberapa waktu lalu. Suatu gambaran sangat menyeramkan karena orang yang kebetulan dekat bisa ikut jadi korbannya.
Penggambaran dengan kata-kata bahwa teroris berbahaya saja langsung membuat publik miris, apalagi menggambarkan seseorang membawa bom ke mana-mana sangat menakutkan publik. Sebaliknya, Noordin M. Top tidak bisa leluasa bergerak kalau selalu menggamit bom. Bagaimanapun, bahan peledak yang sudah dirakit menjadi bom sangat sensitif terhadap panas, gesekan, api rokok, dan sebagainya. Membawanya harus ekstrahati-hati. Sikap ekstrahati-hati ini yang dihindari sang buron karena perilakunya mengundang perhatian polisi yang selalu memata-matai.
Kemudian, penyebutan sejumlah titik sasaran pengeboman oleh Azahari dan jaringannya dan rencana besar mereka bernama “Pesta Natal”. Tempat potensial menjadi sasaran bom sebenarnya tidak perlu dipublikasikan kepada media massa. Kita mafhum pejabat resmi di lingkungan Polri tidak pernah memublikasikan, publikasi ini biasanya dilakukan oleh anggota-anggota satuan serse polisi sendiri. Ada beragam motivasi. Petugas bersangkutan benar-benar tahu buronnya atau sebaliknya tidak tahu dan informasinya sebagai teror mental atau informasi itu sebagai kontra intelijen karena kecewa dengan atasannya atau motivasi "dagang informasi" dan lainnya.
Dampak penyebutan tempat sasaran, publik merasa teror bukan saja bisa dilakukan oleh para teroris, juga oleh polisi sendiri. Ini kesan sangat buruk bagi citra polisi. Orang menjadi takut pergi ke tempat yang disebut, sebaliknya pemilik tempat menjadi paranoid sehingga overprotective. Padahal, akurasi informasi itu perlu dipertanyakan. Karena terbukti Polri-pun kecolongan dalam kasus Bom Bali II.
Pengumuman atau informasi tempat sasaran bom menjadi isyarat penting bagi teroris agar mencari tempat lain karena sasaran awal telah diketahui dan dijaga ketat polisi. Sebaliknya masyarakat memang membutuhkan informasi akurat dari Polri tentang ancaman teroris. Masyarakat tidak ingin informasi itu justru menjadi teror yang membatasi ruang geraknya dan menumbuhkan kepanikan imajiner. Bukankah sekarang ini di kampung-kampung di seluruh wilayah Jawa Timur ini teror terhadap warga terutama bagi para pencari kost dan rumah kontrak sudah mulai mendera? ***

Mochtar W Oetomo
Staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya dan Direktur Eksekutif Cultural and Communication PARTNER Consulting Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar