Mochtar W Oetomo
Kompas, 22 Desember 2003
Setiap peringatan hari Ibu, seolah-olah lahirlah sebuah kesadaran kolektif tentang eksistensi Ibu dalam ruang publik ranah kehidupan sosial. Eksistensi Ibu sebagai sebuah entitas “penting” yang mendapat begitu banyak ancaman, kekerasan dan seabrek perlakuan tidak adil lainnya. Dalam banyak domain dan level mungkin eksistensi Ibu “telah” terselamatkan atas berbagai geliat kesadarn kolektif tadi. Namun dalam banyak hal yang lain tak jarang eksistensi Ibu kian terbenam dan terjerembab dalam berbagai kekerasan imaji.
Sedikit di antara sekian besar konstruksi kesadaran kolektif tersebut menyentuh sistem konversasi publik, tempat dimana Ibu mencintrakan dan memaknai tentang dirinya sebagai bekal bagi kelana sosial. Persoalannya, dalam sistem konversasi publik itulah eksistensi Ibu dibahasakan, ditandai, diberi nilai, dan dengan begitu diimajikan. Padahal, seperti ujar Heidegger, “bahasa adalah rumah sang ada”, bagaimana Ibu dibahasakan oleh sebuah sistem konversasi publik, berarti seperti itulah “ada” (being) sang Ibu.
Sayangnya senyawa kapitalisme lanjut dan peradaban audio-visual seperti konteks sekarang ini, sistem konversasi publik itulah yang menjadi ancaman utama bagi Ibu. Ancaman ini tak datang dalam wujudnya yang verbal. Tidak dalam wajah mengerikan. Tidak dalam sistematika yang rigid. Ancaman ini juga tak hadir dalam satu konstruksi baik struktur, maupun ilmu pengetahuan. Namun hadir dalam keseharian hidup, kapan saja, di mana saja, bahkan sampai ke tempat kita yang paling pribadi, kamar tidur.Sistem konversasi publik yang menjadi ancaman baru bagi Ibu itu adalah televisi.
Televisi datang sebagai teman ketika Ibu tengah kesepian. Ia hadir sebagai saudara saat Ibu dibekap kepedihan. Dari medan kesepian dan kepedihan inilah televisi mencerca dengan berbagai ideasi dan mediasi teknologi serta mediasi sosialnya. Ia tak melakukan pelecehan terhadap Ibu secara fisik seperti yang biasa dilakukan oleh para suami, tapi melakukannya ke kognisi dan imaji. Tidak juga melakukan kekerasaan terhadap peran, kedudukan, fungsi ibu secara ideologis, sistemik, dan terencana, tapi juga melakukan kekerasan kognisi dan imaji terhadap semua itu.
Inilah oleh apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dan kekerasaan semiotik. Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan melalui proses simbolisasi terhadap Ibu dengan cara-cara yang sangat wajar dan rujukan-rujukan yang absah hingga pada akhirnya simbol itu dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Ibu-Ibu cantik dengan pakaian seronok yang berseliweran di berbagai sinetron kita. Yang keberadaannya di sinetron itu bukan karena dibutuhkan oleh alur cerita, tapi karena kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap Ibu. Kenyataan simbolik ini mengkonstruk kenyataan sinetron kita, bahwa untuk menjadi Ibu kelas memengah ke atas harus cantik, soal akting nomor sekian. Sebuah kebenaran simbolik yang telah dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak.
Sementara kekerasan semiotik adalah sebentuk kekerasan terhadap Ibu melalui ungkapan-ungkapan dan bahasa-bahasa yang memiliki rujukan struktur (kultural, religi) serta rujukan kontekstual, hingga bahasa itu nampak menjadi wajar dan absah.Hebatnya, Ibu menyaksikan itu semua penuh dengan kenikmatan dan canda tawa.
Dengan iklan yang tiap saat dan waktu mengunjungi detik-detik kita, ibu terus mendapatkan berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik. Ibu tak saja makin mendapat peneguhan domestifikasi melalui peran-peran ibu rumah tangga di senetron-sinetron kita serta iklan-iklan sabun cuci dan bumbu masak. Dengan simbolisasi dan semiotikasi sebagai ibu cerdas, baik dan pengertian. Mungkin juga ibu diberi peran sebagai wanita karier dalam sinetron dan iklan kita, namun bukan untuk menggambarkan daya juang, kecerdasan dan kemandiriannya melainkan untuk menggambarkan kegagalan cinta dan merk bedak atau pengharum keringatnya.
Ibu juga disimbolisasikan sebagai makhluk materialis dalam sinetron kita yang harus mendapat suami seorang profesional muda (direktur) serta pada iklan-iklan elektronik. Juga rela melakukan kejahatan apa saja (bahkan terhadap anak dan suaminya sendiri) demi merebut warisan seperti dalam sinetron-sinetron kita. Ibu menjadi makhluk seksualis dalam iklan-iklan obat kuat, yang merasa cukup ketika telah mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya. Ibu menjadi lemah dan pelengkap seperti dalam ikIan-iklan minuman suplemen dan rokok. Bagaimana wajah generasi penerus negeri ini, jika Ibu-Ibu mereka seperti kebanyakan IBu di televisi?! Tanyakan saja pada Komisi penyiaran Indonesia (KPI), eh...pada Departemen Komunikasi dan Informasi (DEpkominfo) atau pada....?!***
Di tonton
Karena kekuatan mediasi teknologisnya semua bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu datang dengan begitu menghibur, bahkan ngangeni ketika lama tak muncul. Ia tak hadir dalam bentuk kekerasan dan kejahatan verbal dan fisik seperti yang banyak dikritikkan oleh para feminis terhadap patriarki dengan prianya dan pembangunan dengan pertumbuhan dan eksploitasinya. Melainkan hadir dalam bentuk kekerasan imaji. Ketika berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu hadir dalam representasi yang terus-menerus dengan melintasi ruang dan waktu.
Dalam wajahnya yang ramah dan penuh senyum, secara tak sadar dia membentuk cara pandang, pola pikir dan pemahaman kita (Ibu) terhadap realitas. Ketika berbagai tayangan televisi telah menjadi pesan itu sendiri (medium is the message) dan tiap pesan itu menghadirkan berbagai metafor (the medium is the metaphor) yang merujuk pada simbolisasi-simbolisasi yang merugikan dan memposisikan wanita di posisi subordinat, maka simbolisasi itulah yang cenderung makin meneguhkan cara pandang patriarki yang sejak mula ada.
Bukan ibulah sesungguhnya yang menonton televisi.Tapi televisilah yang menonton ibu. Menonton pakainannya, aktivitasnya, berat badannya, bau badannya, rambutnya, kulkasnya, pembalutnya, kepuasan seksualnya untuk kemudian menertawakan jika tak sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Di saat seluruh konsentrasi kesadaran feminim ibu terarah ke kultur patriarki, problem agama dan pembangunan ekonomi dan coba melakukan perlawanan, pada saat bersamaan dia begitu dekat dan bersahabat dengan sumber idea kejahatan tersebut. Inilah yang oleh Foucault disebut sebagai mesin scienta sexsualis. Melalui rujukan-rujukan pengetahuan (iklan dengan berbagai bentuk pembuktian) dan rujukan perbandingan (iklan dengan berbagai contoh yang telah mengalami) simbolisasi ibu dibangun. Tiap hari, begitu dekat, bahkan sangat akrab, bangun tidur bersama-sama.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya dan Direktur Cultural and Communication PARTNER Consulting Malang
Mochtar W Oetomo
Kompas, 22 Desember 2003
Setiap peringatan hari Ibu, seolah-olah lahirlah sebuah kesadaran kolektif tentang eksistensi Ibu dalam ruang publik ranah kehidupan sosial. Eksistensi Ibu sebagai sebuah entitas “penting” yang mendapat begitu banyak ancaman, kekerasan dan seabrek perlakuan tidak adil lainnya. Dalam banyak domain dan level mungkin eksistensi Ibu “telah” terselamatkan atas berbagai geliat kesadarn kolektif tadi. Namun dalam banyak hal yang lain tak jarang eksistensi Ibu kian terbenam dan terjerembab dalam berbagai kekerasan imaji.
Sedikit di antara sekian besar konstruksi kesadaran kolektif tersebut menyentuh sistem konversasi publik, tempat dimana Ibu mencintrakan dan memaknai tentang dirinya sebagai bekal bagi kelana sosial. Persoalannya, dalam sistem konversasi publik itulah eksistensi Ibu dibahasakan, ditandai, diberi nilai, dan dengan begitu diimajikan. Padahal, seperti ujar Heidegger, “bahasa adalah rumah sang ada”, bagaimana Ibu dibahasakan oleh sebuah sistem konversasi publik, berarti seperti itulah “ada” (being) sang Ibu.
Sayangnya senyawa kapitalisme lanjut dan peradaban audio-visual seperti konteks sekarang ini, sistem konversasi publik itulah yang menjadi ancaman utama bagi Ibu. Ancaman ini tak datang dalam wujudnya yang verbal. Tidak dalam wajah mengerikan. Tidak dalam sistematika yang rigid. Ancaman ini juga tak hadir dalam satu konstruksi baik struktur, maupun ilmu pengetahuan. Namun hadir dalam keseharian hidup, kapan saja, di mana saja, bahkan sampai ke tempat kita yang paling pribadi, kamar tidur.Sistem konversasi publik yang menjadi ancaman baru bagi Ibu itu adalah televisi.
Televisi datang sebagai teman ketika Ibu tengah kesepian. Ia hadir sebagai saudara saat Ibu dibekap kepedihan. Dari medan kesepian dan kepedihan inilah televisi mencerca dengan berbagai ideasi dan mediasi teknologi serta mediasi sosialnya. Ia tak melakukan pelecehan terhadap Ibu secara fisik seperti yang biasa dilakukan oleh para suami, tapi melakukannya ke kognisi dan imaji. Tidak juga melakukan kekerasaan terhadap peran, kedudukan, fungsi ibu secara ideologis, sistemik, dan terencana, tapi juga melakukan kekerasan kognisi dan imaji terhadap semua itu.
Inilah oleh apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dan kekerasaan semiotik. Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan melalui proses simbolisasi terhadap Ibu dengan cara-cara yang sangat wajar dan rujukan-rujukan yang absah hingga pada akhirnya simbol itu dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Ibu-Ibu cantik dengan pakaian seronok yang berseliweran di berbagai sinetron kita. Yang keberadaannya di sinetron itu bukan karena dibutuhkan oleh alur cerita, tapi karena kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap Ibu. Kenyataan simbolik ini mengkonstruk kenyataan sinetron kita, bahwa untuk menjadi Ibu kelas memengah ke atas harus cantik, soal akting nomor sekian. Sebuah kebenaran simbolik yang telah dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak.
Sementara kekerasan semiotik adalah sebentuk kekerasan terhadap Ibu melalui ungkapan-ungkapan dan bahasa-bahasa yang memiliki rujukan struktur (kultural, religi) serta rujukan kontekstual, hingga bahasa itu nampak menjadi wajar dan absah.Hebatnya, Ibu menyaksikan itu semua penuh dengan kenikmatan dan canda tawa.
Dengan iklan yang tiap saat dan waktu mengunjungi detik-detik kita, ibu terus mendapatkan berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik. Ibu tak saja makin mendapat peneguhan domestifikasi melalui peran-peran ibu rumah tangga di senetron-sinetron kita serta iklan-iklan sabun cuci dan bumbu masak. Dengan simbolisasi dan semiotikasi sebagai ibu cerdas, baik dan pengertian. Mungkin juga ibu diberi peran sebagai wanita karier dalam sinetron dan iklan kita, namun bukan untuk menggambarkan daya juang, kecerdasan dan kemandiriannya melainkan untuk menggambarkan kegagalan cinta dan merk bedak atau pengharum keringatnya.
Ibu juga disimbolisasikan sebagai makhluk materialis dalam sinetron kita yang harus mendapat suami seorang profesional muda (direktur) serta pada iklan-iklan elektronik. Juga rela melakukan kejahatan apa saja (bahkan terhadap anak dan suaminya sendiri) demi merebut warisan seperti dalam sinetron-sinetron kita. Ibu menjadi makhluk seksualis dalam iklan-iklan obat kuat, yang merasa cukup ketika telah mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya. Ibu menjadi lemah dan pelengkap seperti dalam ikIan-iklan minuman suplemen dan rokok. Bagaimana wajah generasi penerus negeri ini, jika Ibu-Ibu mereka seperti kebanyakan IBu di televisi?! Tanyakan saja pada Komisi penyiaran Indonesia (KPI), eh...pada Departemen Komunikasi dan Informasi (DEpkominfo) atau pada....?!***
Di tonton
Karena kekuatan mediasi teknologisnya semua bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu datang dengan begitu menghibur, bahkan ngangeni ketika lama tak muncul. Ia tak hadir dalam bentuk kekerasan dan kejahatan verbal dan fisik seperti yang banyak dikritikkan oleh para feminis terhadap patriarki dengan prianya dan pembangunan dengan pertumbuhan dan eksploitasinya. Melainkan hadir dalam bentuk kekerasan imaji. Ketika berbagai bentuk kekerasan simbolik dan semiotik itu hadir dalam representasi yang terus-menerus dengan melintasi ruang dan waktu.
Dalam wajahnya yang ramah dan penuh senyum, secara tak sadar dia membentuk cara pandang, pola pikir dan pemahaman kita (Ibu) terhadap realitas. Ketika berbagai tayangan televisi telah menjadi pesan itu sendiri (medium is the message) dan tiap pesan itu menghadirkan berbagai metafor (the medium is the metaphor) yang merujuk pada simbolisasi-simbolisasi yang merugikan dan memposisikan wanita di posisi subordinat, maka simbolisasi itulah yang cenderung makin meneguhkan cara pandang patriarki yang sejak mula ada.
Bukan ibulah sesungguhnya yang menonton televisi.Tapi televisilah yang menonton ibu. Menonton pakainannya, aktivitasnya, berat badannya, bau badannya, rambutnya, kulkasnya, pembalutnya, kepuasan seksualnya untuk kemudian menertawakan jika tak sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Di saat seluruh konsentrasi kesadaran feminim ibu terarah ke kultur patriarki, problem agama dan pembangunan ekonomi dan coba melakukan perlawanan, pada saat bersamaan dia begitu dekat dan bersahabat dengan sumber idea kejahatan tersebut. Inilah yang oleh Foucault disebut sebagai mesin scienta sexsualis. Melalui rujukan-rujukan pengetahuan (iklan dengan berbagai bentuk pembuktian) dan rujukan perbandingan (iklan dengan berbagai contoh yang telah mengalami) simbolisasi ibu dibangun. Tiap hari, begitu dekat, bahkan sangat akrab, bangun tidur bersama-sama.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya dan Direktur Cultural and Communication PARTNER Consulting Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar