Kamis, 25 Februari 2010

DUNIA GLOBAL DUNIA PARADOK

Oleh: Silfia Hanani

Situasi dunia tengah berada dalam pergumulan kontroversial dan bergerak berlawanan dengan harapan yang dicita-citakan. Dunia diwarnai oleh adegan-adekan yang paradok dan tidak memihak kemanusiaan. Projek kemanusiaan dan civil society nampak begitu jelas gagal menyelamatkan bumi dari pertumpahan darah. Akhirnya, hidup di era global penuh dengan cengkraman pembinasaan dan pemusnah manusia.
Tradisi-tradisi lama yang kita caci dan ejek ternyata termanifestasi lagi di era ini, sehingga perang menjadi tradisi yang tidak berkesudahan di bumi manusia ini. Sayang! Kita tidak sanggup menghentikannya dan membiarkan membunuh manusia dengan mesin yang sophisticated (canggih) itu. Inilah sebuah tradisi kemanusiaan yang paradok di suguhkan pada era sejagat.
Oleh sebab itu peradaban global bukanlah peradaban yang sejatinya memelihara kemanusiaan, tetapi peradaban yang mencetus keangkaramurkaan yang ditopang oleh perebutan hodonisme sebagaimana telah dijelaskan oleh Hantington dalam tesis the clash of civilization yang dipublikasi pada tahun 1993 lalu. Peradaban global diwarnai oleh perseteruan kekuasaan dan kekuatan yang mudah melabrak rambu-rambu kemanusiaan. Tidak kalah, Huntington telah membawa kita memahami globalsasi ke dalam arena yang pesimistis. Kehidupan diwarnai dengan perseteruan clash sehingga dunia menjadi laboratorium adu kekuatan antara etnis. Etnis-etnis yang lemah akan terancam nasibnya. Etnis-etnis kuat bangkit dengan berpesta pora mengacak-acak sistem dunia dan lahap memperebutkan bongkahan hedonisme global. Makanya pada era global ini, perang belum usai dan civil society masih berada dalam bayang semu. Kekuasaan dan kepentingan begitu kuat meminggirkan hukum universal.
Oleh sebab itu, Fijrof Capra tidak setuju memberikan satu kesimpulan yang permanen terhadap peradaban. Baginya tidak ada peradaban di dunia ini yang melaju tanpa cacat. Peradaban selalu bergerak dan tidak luput dari proses daur ulang, sehingga peradaban lama termanifestasikan kembali. Tidak hayal tradisi-tradisi perang ala babar yang kita caci maki bangkit lagi dalam era global, sehingga potret peradaban global tidak luput dari peperangan juga. Khaldun berpendapat hampir sama dengan Capra. Menurutnya peradaban bergerak seperti bandul jam yang berulang alik mencari bentuk, tetapi dalam proses pencarian bentuk itu tetap saja berbalik pada tradisi yang telah ditinggalkan berabad-abad lamanya. Makanya di era global ini, kita sedang mengalami adegan pengulangan tradisi-tradisi lama itu, sehingga peradaban manusia modern sekarang ini diwarnai dengan tradisi-tradisi lama yang telah dicacinya sebagai tradisi yang tidak berperadaban.
Oleh sebab itu John Naisbitt, mengatakan era globalisasi adalah era peradaban yang paradok, seperti dikemukakannya dalam buku global paradox yang dipublikasikan pada tahun 1994. Dinamika paradok tersebut hampir muncul dalam setiap lini kehidupan manusia modern sekarang ini. Globalisasi juga dicitrakan sebagai dunia yang tidak pasti, seperti terlihat dari penjelasan Giddens dalam the third way the renewal of social democracy. Menurut Giddens globalisasi adalah juggernaut, yaitu truk besar yang melaju dengan kencang tanpa dikendalikan, sehingga pada era global ini dunia sedang mengolah peradaban di atas roda-roda gila serba tidak menentu, semua kita diminta untuk mencari jalan ke luar agar survive di tengah-tengah ketidakmenentuan itu.
Di sebalik itu, kita juga semakin menyaksikan di era global ini mahalnya harga humanisme. Peradaban global telah digentayangi oleh pluralitas yang penuh kekerasan dan tidak memihak nilai-nilai universal, sehingga humanisme terjungkal balik dalam kehidupan sosial masyarakat dunia. Malahan agama sekalipun tidak banyak hadir dalam menengahi permasalahan manusia, kerana telah dibawa ke dalam ranah kepentingan. Oleh sebab itu, agama terseret dalam peranan-peranan yang paradok. Akhirnya, potret kehidupan sosial global tidak luput dari warna chauvinistik.
Yang terlihat pula dengan kentara di era global ini adalah keeforiaan kaum-kaum yang mempunyai kekuatan dan kemenangan kelas borjouis kapitalis, sehingga sejarah dunia di era global ini telah berakhir di tangan kapitalis, seperti yang disimpulkan Fakuyama dalam The end of history. Tradisi dunia telah direkonstruksi di bawah hegemoni-hegemoni kapitalis. Kini yang tersisa untuk kita adalah mendiskusikan kemenangan kapitalis itu dalam wacana post kolonial dan mencoba merangka konsep ”berfikir global dan bertindan lokal”.

Politik paradok
Udara politik yang kita hirup akhir-kahir ini, memang tidak segar. Kebijakan politik internasional banyak terperangkap dalam lagu-lagu kepentingan. Begitu pula dengan politik lokal yang belum mampu memposisikan eksistensinya sebagai pencerah demokrasi, sehingga politik menjadi keranda pengusung clash yang menciptakan pertumpahan darah.
Politik paradok membuat dunia tidak nyaman dan aman. Ia telah membidani perang-perang yang spektakuler. Oleh sebab itu tidak heran John Muller berpendapat, bahawa perang menjadi salah satu isu globalisasi yang berkelanjutan di belahan dunia ini. Tidak ada kesepakatan untuk mengakhirinya, sehingga sejarah peradaban tidak luput dari peperangan dan pertumpahan darah itu.
Politik paradok tidak pernah berhenti dari kekerasan sebagaimana dijelaskan dalam buku The global agenda issues and perspectives yang dieditori oleh Kegley dan Wittkopf. Fenomena kekerasan itu dengan sangat jelas mewarnai kehidupan masyarakat diberbagai belahan dunia, sehingga civil society mengalami kebuyaran.
Mungkin, politik paradok ini akan menjadi embrio dan sekaligus membidani lahirnya revolusi sosial selanjutnya. Sebagaimana di ketahui sejarah revolusi pada umumnya selalu diawali dari tekanan-tekanan politik. Oleh sebab itu, kita sekarang sedang berada dalam ancangan babak sejarah dunia yang baru.

Bencana alam fenome global paradok?
Fenomena alam yang merata terjadi di belahan dunia ternyata telah diberi kesimpulan sebagai fenomena global. Oleh sebab itu, penduduk planet bumi sekarang ini sedang berhadapan dengan ancaman bencana alam dan tenyata bumi bukanlah bumi yang damai dan bersahabat.
Di Indonesia, mungkin masih segar dalam ingatan kita tragedi tsunami akhir tahun 2004 di Aceh. Kemudian diikuti oleh gempa bumi di Nias 28 Maret 2005 dengan kekuatan 8,2 SR di susul gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Tragedi alam tersebut telah meluluh lantahkan sebahagian Indonesia dan merenggut nyawa manusia yang tidak sedikit. Tidak berhenti di situ, dipenghujung tahun 2007 gempa bumi memporak porandakan pula Bengkulu dan Padang, kemudian akhir tahun 2007 dan mengawal tahun 2008, bencana banjir terjadi hampir merata diberbagai kawasan di Indonesia, sehingga bumi nusantra tidak putus dirundung bencana. Inilah potret persabahatan yang pradok antara manusia dan bumi di nusantara ini.
Kita perlu mempertanyakan, mengapa dinamika persahabatan bumi yang paradok itu terjadi. Pada hal bumi yang telah dihuni oleh banyak intelektual dan ilmuan ini, semestinya mewujudkan keharmonisan tetapi kenyataanya terbalik. Bencana alam menjadi fenomena global yang dipetik manusia di era sekarang ini dan bukan kedamaian yang dapat menjamin kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar