Kamis, 25 Februari 2010

Ketika Media Menjadi Tuhan Pertama

Mochtar W. Oetomo
• Dosen FISIB Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
Koran Tempo, Kamis, 25 Februari 2010
Akhir-akhir ini perbincangan tentang isi (content) media (baca: televisi) kembali marak. Selain geger infotainmen, gugatan banyak dialamatkan pada tayangan reality show (yang ternyata banyak bohongnya), sinetron yang penuh air mata, bahasa kasar, dan setting serba mewah. Lebih dari itu adalah berbagai berita dan tayangan yang penuh dengan konflik yang tidak substansial.
Mengapa mesti membincangkan content media massa dengan ramai dan haru-biru? Persoalannya adalah, wajah dan bergulir-gantinya sebuah peradaban amat ditentukan oleh karakter sistem perbincangan sosialnya. Maka, ketika sekarang kita menceburi abad informasi dan komunikasi, tak pelak lagi media (terutama televisi) adalah urat nadi atau medan perbincangan sosial utama, tempat tumbuh-kembangnya nilai, kultur, dan peradaban. Bagi Neil Postman (1994), kata perbincangan di sini tidak hanya bermakna fisik sebagai tempat orang, kelompok, atau komunitas saling bertukar pesan, tetapi juga tempat untuk mengkonstruksikan dan merekonstruksi satu ide, gagasan, sebagai sumbu utama lahirnya peradaban.
Adakah sebuah kehadiran yang melebihi keterus-menerusan media? Adakah sebuah keakraban yang melebihi kelekatan media? Setiap saat, kapan saja dan di mana saja, media menyambangi detik-detik kita bahkan sampai ke tempat kita yang paling pribadi (kamar). Atau bahkan ketika kita sedang berurusan sangat pribadi (bercumbu dengan istri), media tidak kehilangan kesempatan untuk mengunjungi kita. Memberondongkan berbagai peristiwa, ajaran, ajakan, bujuk rayu. Seperti kata McLuhan, media kemudian menjadi pesan itu sendiri (medium is the message), tak ada bedanya. Apa yang dianggap media penting, kita memiliki kecenderungan demikian juga.
Martin Esslin, misalnya, sampai punyai pemeo “the medium is the first god”. Media adalah Tuhan yang pertama. Betapa banyak anjuran dan ajaran media yang telah kita ikuti, berapa pula anjuran dan perintah Tuhan yang kita ikuti. Berapa kali sehari kita membuka kitab media (televisi, radio, koran), sementara berapa kali kita membuka kitab Al-Quran. Televisi mengajari kita berpakaian, makan fast food, minum obat, bahkan mengajari kita agar kuat bercumbu. Dan ketika apa yang kita gunakan dan konsumsi tidak seperti yang mereka tawarkan, media (televisi) akan menertawai kita (bukankah banyak iklan demikian). Maka televisilah yang menonton kita. Bukan kita yang menonton televisi.
Loncatan peradaban
Persoalannya, kita telah mengalami satu loncatan peradaban. Ketika peradaban tipografi (baca-tulis) kita belum cukup mapan dan dewasa, kita keburu masuk peradaban audio-visual. Secara kultural sesungguhnya kita masih pada level peradaban lisan. Cirinya, suka isu, gosip, setiap kabar dan berita selalu bertambah atau berkurang dari kenyataan semula.
Secara psikologis, khalayak cenderung akan menganggap peradaban yang lebih muda lebih memiliki legitimasi. Maka, dalam masyarakat lisan seperti kita, pesan yang dibawa media (cetak/televisi) cenderung memiliki penguatan legitimasi. Naik nilai kebenarannya, lebih dipercaya dan seakan-akan absah. Maka, ketika seorang tokoh sering diliput media, kredibilitasnya naik. Peristiwa atau masalah yang diliput berulang-ulang, nilai kepentingannya naik. Kasus yang diliput terus-menerus, keseriusannya bertambah.
Maka, persoalannya adalah ketika berita atau pesan yang diangkat media itu adalah pesan atau berita yang belum tentu kebenarannya atau bahkan tidak benar sama sekali. Atau mungkin pesan dan peristiwa itu merugikan salah satu khalayak, kelompok, atau komunitas. Media memiliki daya massif yang luar biasa. Sekali sebuah pesan dilempar, ia akan menjangkau khalayak yang tak terbatas, tidak saling kenal, dan heterogen. Jadilah pesan atau berita yang salah atau merugikan itu menjadi konsumsi khalayak luas, dijadikan rujukan, dijadikan perbincangannya, dan cenderung diakui kebenarannya dibanding kabar kanginan. Media punya banyak cara untuk membuat pesan dan beritanya menjadi meyakinkan. Entah dengan bantuan sumber berita yang legitimate, atau angle dan gambar yang menawan.
Bukankah jamak kita temui. Ketika media menghujat salah satu tokoh atau kelompok tertentu, khalayak cenderung menghujat juga. Ketika media menyanjung, khalayak cenderung demikian juga.
Alternatif
Dalam konteks inilah berbagai upaya, wacana tanding, menulis surat pembaca, hingga melakukan tuntutan hukum dari khalayak selama ini cenderung tidak bermakna. Karena sesungguhnya persoalannya bukan salah dan benar, etis atau tidak etis, melainkan lebih pada loncatan logika dan peradaban seperti terurai di atas. Hal yang paling fundamental adalah bagaimana khalayak harus menggeser psikologi rasanya ke psikologi pikir. Kesadaran simbolik (nilai yang tersembunyi di balik pesan media), kesadaran semiotik (bahasa), dan kesadaran wacana khalayak harus dipupuk. Hingga secercah apa pun wacana media, kalau tidak cerdas, khalayak bisa menertawainya (seperti di Barat). Tidak bisa tidak, kultur tipografis (baca-tulis) harus dipupuk. Karena kultur tipografi, yang memiliki karakter keruntutan, menghargai logika, melatih imajinasi dan argumen, memungkinkan khalayak untuk selalu waspada terhadap berbagai pesan dan berita.
Jika demikian halnya, hubungan antara khalayak dan media akan menjadi “komunikatif”. Media memerlukan khalayak, khalayak memerlukan media. Setara, seimbang, tidak ada yang lebih kuat, tidak ada yang mendominasi. Seperti kata Habermas, hanya pada ruang publik (public sphere) yang bebas dominasilah masyarakat dan peradaban bisa tumbuh dan hidup sehat. Media tidak harus membuat berita ngawur, khalayak tidak harus melakukan aksi komunalisme. Sebab, bagaimanapun, kita tidak mungkin menolak kehadiran media. Dan juga tidak mungkin menolak kebebasan serta kecepatan media. Jika kita sering bertanya media bebas itu untuk apa dan untuk siapa, maka kita juga perlu bertanya khalayak membaca dan menonton media itu untuk apa dan untuk siapa?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar