Rabu, 24 Februari 2010

Euforia Kontestasi Pilkada

Jawa Pos, 23 Februari 2010
Mochtar W Oetomo

Seperti marak di berbagai media, beberapa daerah di Jawa Timur (Jatim) kini tengah melangsungkan atau menyambut hajatan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada). Tercatat 18 Kota/Kabupaten akan menggelar Pilkada sepanjang bulan Mei hingga Desember 2010 ini. Ke-18 daerah tersebut adalah Ngawi, Kab Kediri, Lamongan, Gresik dan Kota Blitar yang menggelar pesta di bulan Mei. Disusul Surabaya, Trenggalek, Sumenep, Situbondo, Kab Mojokerto pada bulan Juni. Selanjutnya Ponorogo, Jember, Kota Pasuruan, Banyuwangi dan Sidoarjo di bulan Juli. Kabupaten Malang di bulan Agustus. Kabupaten Blitar di bulan November dan diakhiri oleh Pacitan di bulan Desember.
Meski masih beberapa bulan ke depan, seperti kita saksikan bersama euforia pilkada sudah marak di jalan-jalan utama berbagai kota dan di berbagai media massa pun sudah merebak menyendawan.
Sepertinya kali inipun tak akan jauh berbeda dengan berbagai Pilkada yang berlangsung sebelumnya di berbagai daerah di Jatim atau bahkan di Indonesia. Yakni, hanya sekadar sebuah pesta rutin memperebutkan jabatan-jabatan strategis di pucuk kepemimpinan daerah. Tidak peduli, masa bodoh, dan acuh merupakan kata-kata perwakilan hati kemasyakan masyarakat menjelang Pilkada di daerah masing-masing. Sebuah sindrom apatisme komunikasi politik, atas berbagai pesan komunikasi politik dari suprastruktur politik yang tak bisa lagi disarikan dan dipercaya.
Pilkada adalah salah satu medan paling terbuka bagi kontestasi komunikasi politik antara suprastruktur (pemerintah daerah, pemimpin, calon pemimpin) dengan infrastruktur politik (rakyat). Maka, apabila pada medan yang paling terbuka saja sudah terjadi apatisme komunikasi politik yang bersifat massif, bisa dipastikan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan berbangsa di kemudian hari. Pilkada yang seharusnya menjadi sarana memunculkan putera-putera daerah terbaik, hanya sekadar sebagai pesta seremonial 5 tahunan dengan biaya selangit. Kalau sudah begitu, jangan berharap Pilkada akan membawa berkah bagi perjalanan hidup daerah.
Lahirnya sikap apatis dalam kontestasi komunikasi politik tersebut dapat dipahami karena masyarakat memang sudah muak dengan tingkah laku para "elit" politik atau calon yang selalu berlagak Robinhood ketika kampanye pemilu berlangsung. Sederetan janji manis pernah mereka umbar di depan rakyat; "Kami akan memperbaiki nasib buruh, melindungi petani, memberi pendidikan gratis, menaikkan gaji PNS (pegawai negeri sipil) hingga anti KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)."
Selain itu, rakyat masih mengalami trauma dan kecewa akibat kebobrokan mekanisme pelaksanaan pemilu. Intervensi beberapa kekuatan ekonomi-politik yang selalu menguntungkan salah satu parpol membawa image tersendiri di benak masyarakat, bahwa Pilkada tak lebih sekadar sinetron yang sudah diketahui ending ceritanya. Image ini begitu melekat, apalagi, para aktor politik yang berlaga di layar Pilkada rata-rata adalah 'muka-muka lama' atau para pejabat teras atau elit politik lama yang pernah malang-melintang di zaman keemasan masa lalu. Jadi, buat apa capek-capek berpartisipasi pada Pilkada, toh akhirnya kami memilih orang-orang itu juga, begitu-begitu juga’ Begitu kira-kira tanggapan masyarakat. Apatisme, sesungguhnya adalah sebuah bentuk perlawanan komunikasi politik, ketika komunikan (rakyat) selalu di dominasi oleh komunikator.
Pendidikan politik rakyat merupakan jawaban untuk mengubah sikap apatisme masyarakat tersebut. Pendidikan politik rakyat adalah usaha sadar memperkenalkan dan memberi pemahaman kepada rakyat mengenai perubahan-perubahan mendasar pada pelaksanaan Pilkada. Pendidikan ini juga diarahkan untuk menumbuhkan partisipasi politik rakyat agar aktif dalam seluruh proses pelaksanaan Pilkada. Selain itu rakyat juga disadarkan untuk memandang bahwa politik bukan sekadar bagi-bagi "kue kekuasaan", tetapi sebuah alat untuk memperoleh keputusan-keputusan strategis yang menyangkut masa depan rakyat dan daerah. Pendidikan politik rakyat juga dapat dipahami sebagai sebuah proses pemberdayaan masyarakat agar secara sadar mengetahui hak politik dan kewajiban hukum sebagai warga daerah.
Di negara-negara demokrasi yang maju, pendidikan politik selalu dimaknai sarana vital dalam membangun nilai-nilai kesetaraan. Tentu saja pijakannya adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, persamaan/kesetaraan, dan persaudaraan. Akan tetapi, pendidikan politik di negara kita ini masih jauh dari nilai-nilai itu. Para elit politk di negeri ini masih berpikiran bahwa politik merupakan sarana bagi-bagi "kue kekuasaan" di antara elit parpol.
Permasalahannya, siapakah lembaga atau organisasi yang rela berkorban untuk mengambil tempat sebagai sukarelawan memberi pendidikan politik rakyat? Menurut hemat penulis ada beberapa lembaga yang dapat diberdayakan agar pendidikan politik rakyat dapat terlaksana.
Pertama, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dalam banyak hal KPUD memiliki tugas dan tanggung jawab melakukan pendidikan pemilih (voter education) dan memberikan informasi seputar Pilkada (electoral information). Kedua istilah ini memang berbeda, pendidikan pemilih ialah penyebarluasan seluruh informasi tentang mengapa, apa, siapa, dan bagaimana pemilu diselenggarakan kepada masyarakat. Sedangkan penyebarluasan informasi adalah penyampaian pengetahuan mengenai tata cara teknis penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat. Penjelasan ini berguna untuk meminimalisasi kesalahan pemilih ketika waktu pencoblosan berlangsung. Yang menjadi pertanyaan kita semua, mengapa sampai sekarang KPUD-KPUD di berbagai daerah tersebut kebanyakan belum melaksanakan tugas penting ini di tengah masyarakat? Jelas, kelambatan sosialisai oleh KPUD merupakan faktor signifikan lahirnya sikap apatis masyarakat terhadap Pilkada.
Kedua, calon peserta Pilkada yang reformis dapat mengambil tempat sebagai pelaksana pendidikan politik rakyat, terutama pada masa-masa prakampanye dan kampanye. Pada masa prakampanye, calon dapat menggulirkan acara konsolidasi dengan mengambil tema-tema yang dapat membangkitkan kesadaran berpolitik masyarakat daerah. Sedangkan pada masa kampanye, calon sebaiknya menggiatkan acara-acara dalam bentuk dialogis, seperti seminar, kuliah umum, pidato, dan lain-lain dengan tema-tema tentang hak dan kewajiban rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan daerah.
Karenanya, pendidikan politik rakyat harus secepatnya terlaksana agar sikap apatis masyarakat terhadap Pilkada berangsur-angsur berubah menjadi sikap optimis dalam menentukan orang-orang yang memang dapat menjaga amanah rakyat. Tanpa sikap optimis masyarakat, mustahil Pilkada membawa berkah kepada daerah. Jika tidak apatisme komunikasi politik yang berkelanjutan pada gilirnnya akan melahirkan “destruktifitas komunikasi”. Yakni, ketika kekerasan dan kerusuhan telah menjadi bahasa lain bagi publik, untuk menumpahkan segala pesannya yang selama ini tak didengarkan. Bukankah berbagai kasus kekerasan dan kerusuhan telah meluluhlantahkan beberapa daerah, sebelum, ketika atau setelah mereka menggelar hajatan Pilkada?!

Mochtar W Oetomo
Dosen FISIB Univeristas Trunojoyo Madura (UTM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar