Mochtar W Oetomo
Sinar Harapan, Senin 15 Februari 2010
Selepas perayaan Hari Pers Nasional (HPN) di Kota Palembang Selasa lalu (9/2/2010), soal tanggung jawab sosial (social responsibility) pers dan standar kompetensi wartawan menjadi perbincangan yang menarik di media. Namun begitu ditengah suka cita telah berhasil dirumuskannya Standar Perusahaan Pers, Standar Kode Etik Jurnalistik dan Standar Kompetensi Wartawan Indonesia (SKWI), insan pers tetap saja dihinggapi kegamangan, bahwa upaya mewujudkan tanggung jawab sosial institusi pers dan kompetensi wartawan adalah sebuah tantangan yang maha berat di tengah berbagai tekanan yang ada.
Kondisi pers Indonesia saat ini ibarat ada dalam situasi tarik menarik antara kekuatan dari dalam dan dari luar. Disatu pihak secara subyektif pers dihadapkan pada rentannya sumber daya manusia yang masih jauh dari kecerdasan jurnalistik, paradigma jurnalisme yang stagnan, dan moral jurnalisme yang masih terjangkit virus, belum bisa melepaskan diri dari budaya amplop dan buka serta tutup kasus. Sementara di satu pihak dihadapkan pada kondisi obyektif sosial politik yang chaotik serta cengkeraman logika kapitalistik yang menelikung dari segala titik lemah.
Antara Kondisi Subyektif dan Obyektif
Ketika kondisi obyektif telah menyediakan ruang teritorial yang seluas-luasnya untuk berpentas di medan demokratisasi, pers justru dihadapkan pada kualitas jurnalis akan pemahaman demokrasi dalam “membangsa” (kultural) dan “menegara” (struktural politik). Pers juga masih saja tergurita oleh paradigma jurnalisme yang mengabdi pada hukum “kecepatan”, “konflik” dan “sensasi”, serta tabiat 5W + 1H, yang selalu mengabaikan atas jawaban-jawaban terhadap pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” secara substansial.
Sementara pada sisi lain, pers dihadapkan pada satu realitas pertarungan memperebutkan teritorial (deteritorialisasi), ketika komponen-komponen lain juga tengah sibuk mengais-ngais teritorialnya. Sehingga pers juga dihadapkan pada tarikan-tarikan konflik sosial politik hingga dalam banyak hal membuatnya terjebak dalam pentas partisipan, konspirasi dan deal-deal politik tertentu. Apalagi di tengah maraknya Pilkada seperti tahun 2010 ini.
Dalam berbagai tekanan semacam ini, pers kemudian seakan kehilangan titik pijak, kehilangan konteks. Dalam tragedi tarik menarik antara kekuatan subyektif dan obyektif di luar pers ini, maka bahasa, libido dan imaji pers adalah bahasa, libido dan imaji yang berkeliar, acak, tanpa titik pijak. Paradigma konvensional pers lebih membuat pers sibuk dengan peristiwa dan fenomena kasuistik dan isu, hinggap dan berlari dari satu permukaan ke permukaan lain tanpa menyisakan satu jawaban yang substansial tentang bagaimana berdemokrasi dalam upaya “membangsa” dan “menegara”.
Konflik yang direkampun adalah sebuah redusir, sekedar konflik fisik dan kepentingan, bukan konflik rasionalisme, filsafat dan ideologi yang mencerdaskan subyek. Maka ketika dua kubu diperhadapkan oleh pers, apa yang nampak kemudian adalah satu pihak salah dan yang lain benar, satu pihak menang dan satu pihak dikalahkan. Pers telah menjadi panggung kisah tragedi drama, tapi tidak menyediakan bingkai yang menyebabkan cerita itu digelar. Sebuah bingkai bagaimana “membangsa” dan “menegara”. Pers sibuk mengurusi solusi teritorial bagi subyek-subyek politik, sementara hal yang paling utama, yakni teritorial bagi satu percampuhan politik (konstitusi) tidak terbincangkan.
Maka jika republik ini tidak pernah “menegara” dengan sebuah konstitusi yang jelas, maka pers tidak lebih dari itu. Sementara dalam wilayah kultur pers, yang mestinya mampu menampung dan menghadirkan imaji-imaji tentang bagaimana “membangsa”, tidak menyediakan suatu medan perbincangan rasional dan kontemplatif, melainkan hanyalah sebuah tontonan perbincangan. Maka ketika “sistem perbincangan” (pers) sebagai tempat tumbuh kembangnya peradaban, hanya menyediakan logika tontonan, peradaban menggeliat di luar kendali subyek, karena bukan hasil intersubyektif. Peradaban bukan lagi hasil dari pergulatan imaji, akan tetapi peradaban yang diimajikan. Demokrasi yang diimajikan. Masa lalu dan masa depan yang diimajikan. Diimajikan oleh peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena parsial, diimajikan oleh elit-elit sumber berita. Kembali khalayaklah yang mengalami splitting.
Lebih dari itu hegemoni logika kapitalisme telah menjadikan pers sesak dengan talking news, berita kata-kata, kata-kata subyek politik, subyek politik yang dipilih. Pers bukan lagi menjadi tempat untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa dan fenomena subtansial, tapi untuk menonton orang berkata-kata. Sumber berita (informasi) dengan demikian tidak lagi menjadi subyek yang komunikatif, tapi lebih menjadi selebriti lalu lalang, keluar masuk pers. Berpolitik, berdemokrasi, berbangsa dan bernegara dengan demikian tidak lebih dari sekedar style, tidak lebih dari sekedar gaya, bukan sebuah pergulatan. Inilah turbulensi pers.
Di satu pihak melalui iklan-iklan layanan masyarakatnya, pers menyediakan imaji tentang kerukunan, kesatuan, tujuan, cita-cita dan Indonesia masa depan. Dilain pihak melalui berita-beritanya pers menyediakan imaji tentang kekerasan politik, anarkisme demokrasi, konflik, dan rujukan-rujukan identitas. Dilain pihak pers mengkritik over lap para elit politik, di lain pihak terus mengambil mereka sebagai sumber berita dan mengabaikan khalayak.
Mengais Kemungkinan
Sebuah kondisi yang penuh tekanan selalu membawa resiko eksplosi, ledakan. Dengan begitu pers tidak boleh berhenti menghubungkan rantai imaji, makna, ilmu pengetahuan dan kode-kode sosial eksistensial dengan teritorial lain, untuk menciptakan makna dan relasi-relasi sosial baru yang kreatif. Dalam konteks ini tidak boleh ada hentian posisi teritorial, dengan maksud tidak pernah ada makna henti sehingga tercipta kondisi yang empathy. Karena teritorial wilayah lain juga tidak dipahami sebagai sebuah teritorial yang mandeg. Dengan begitu harus ada redifinisi dan redifinisi tentang wilayah teritorial diri. Apa dan bagaimana menjadi pers. Mesti bebas dari apa saja dan untuk siapa saja ?!
Persoalannya karena, sebagai representasi sistem konversasi publik, pers amat penting bagi medan pertempuran subyek-subyek imaji politik dan demokrasi. Dengan begitu pers mempunyai pengaruh besar dalam membingkai dan membangun imaji politik khalayak. Pada saat bersamaan pers sekaligus berperan sebagai subyek imaji politik, hingga ia mesti bisa melahirkan imaji-imaji yang konstruktif, yang bisa disinggungi, yang bisa saling interaksi, yang bisa diajak dialog. Pers dengan begitu juga mesti mempunyai empathy dalam mewujudkan rasionalisme politik dan kondisi demokrasi. Dengan begitu, maka pers bukan hanya akan semakin bertanggung jawab dan wartawannya semakin kompeten, seperti yang diinginkan oleh perayaan HPN hari ini, tetapi pers juga akan semakin kukuh menjadi pilar kehipan berbangsa dan bernegara.
Mochtar W. Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar