Mochtar W Oetomo
Sepanjang bulan Rabi’ul Awwal ini, suasana perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang begitu sakralistik dan identik dengan deretan ritual kembali hadir dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Di tengah keterpurukan bangsa dalam segala dimensi dan di tengah silang sengkarut kekisruhan politik yang esensinya tak pernah berpihak pada umat, perayaan Maulid Nabi kali ini seperti mendapatkan momentumnya. Nilai-nilai politik esensial di sebalik Mulid Nabi dengan demikian menjadi layak untuk direfleksikan, dirumuskan dan bilamana mungkin dijalankan.
Dalam sejarahnya, lahirnya perayaan Maulid Nabi memang tidak terlepas dari politik. Peringatan Maulid Nabi pertama kali digagas oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Islam di masa Khalifah Muiz Liddinillah dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (365 H/975 M). Shalahuddin menggagas peringatan Maulid ini didorong oleh situasi keterpurukan yang tengah dialami oleh umat Islam, setelah kalah dalam perang salib. Masjid Al Aqsha diambil alih musuh. Semangat tempur pasukan Islam ambruk hingga ke titik nadir. Situasi semakin bertambah parah dengan adanya perpecahan di antara umat Islam, terutama antara khalifah Fatimiah di Mesir, khalifah Abbasiyah di Baghdad dan amir Umayyah di Cordoba.
Sebagai panglima perang Shalahuddin berusaha membakar kembali semangat juang dan ukhuwah umat Islam dengan cara merefleksikan dan mempertebal kecintaan kepada Rasulullah dengan perayaan Maulid. Dan gelegar semangat Maulid Nabi yang di gelorakan oleh Shalahuddin menemukan momentumnya. Gelora perjuangan kembali membahana, persatuan umat Islam kembali liat. Jerusalem berhasil direbut kembali. Dan Perang Salib diakhiri dengan jauh lebih beradab, dengan hanya memakan sedikit korban. Pasukan musuh yang takhluk tidak dibantai dengan membabi buta, tapi justru diiring keluar Jerusalem dengan jaminan keamanan. Kemenangan yang penuh dengan martabat.
Inspirasi Kepemimpinan
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab [33]: 21). Maka wajar jika setiap tiba peringatan Maulid Nabi, kita selalu diajak untuk merenungkan kembali segala nilai, sikap dan kemuliaan Nabi SAW. Sosok Nabi dengan segenap akhlaknya adalah inspirasi terbesar, yang harus dipetik oleh setiap umatnya, bukan hanya pada waktu Maulid saja, syukur-syukur bisa pada setiap tarikan nafas.
Namun tidak ada salahnya juga menjadikan sejarah kelahiran peringatan Maulid di atas sebagai inspirasi di tengah segala keterpurukan yang tengah kita hadapi sekarang ini. Kalau kita mau sedikit jujur, situasi sosial politik saat ini sesungguhnya tak jauh beda dengan situasi umat Islam pada masa masa Shalahuddin Al-Ayubi. Selain terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan moral, juga tidak ada kebanggaan sebagai umat dan rakyat. Tidak ada kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia, karena dekadensi di segala bidang. Maka merenungkan kembali khitah Maulid Shalahuddin, adalah sebuah keniscayaan.
Bahwa di tengah segala keterpurukan kita sekarang ini, kepemimpinan inspiratif Shalahuddin, lebih-lebih lagi kepemimpinan inspiratif Muhammad SAW sesungguhnya adalah salah satu bentuk jawaban. Sebagaimana citra kepemimpinan Shalahuddin pemimpin yang inspiratif adalah pemimpin yang bisa membalik sebuah keterpurukan menjadi sebuah kegemilangan. Kekalahan menjadi kemenangan. Pecundang menjadi kemegahan martabat. Perpecahan menjadi persatuan.Dan kebencian menjadi cinta.
Khitah politik Maulid ala Shalahuddin adalah sebuah inspirasi besar, tentang bagaimana seharusnya sebuah kepemimpinan bersikap dan bertindak, untuk keluar dari benang kusut permasalahan. Bukan dengan pesan-pesan komunikasi politik yang selalu melahirkan kontroversi, tapi dengan komunikasi politik yang reflektif dan strategis. Bukan dengan komunikasi politik yang menghiba dan mendayu meminta pengertian rakyatnya, tapi dengan pesan yang visioner dan menggerakkan.
Pemimpin yang inspiratif adalah pemimpin yang langsung terjun ke medan laga, tidak sempat memikirkan citra dirinya karena galau dengan citra diri rakyatnya yang luluh dalam segala keterpurukan. Shalahuddin tidak mencari pembenaran atas setiap masalah yang mendera, tapi mencari jalan keluar. Tidak suka mengancam musuh-musuhnya, bahkan memberikan perlindungan dan rasa aman. Lobi dan negosiasi politik bukan untuk pelanggengan kekuasaan dan kepentingan golongan, tapi untuk persaudaraan dan perdamaian.
Paling tidak ada tiga pesan politik profetik yang pantas untuk kita suguhkan dalam peringatan Maulid Nabi kali ini. Sebagaimana juga hendak digelorakan oleh Shaluhuddin pada waktu itu. Yakni, persamaaan (al-musâwât, equality), kebebasan (al-hurriyyah, liberty) keadilan (al-‘adâlah, justice). Tiga buah prinsip politik modern yang telah dialu-alukan sejak revolusi Perancis, dan terasa muskil di tengah segala diskriminasi, keterbelungguan dan ketidakadilan sosial politik yang menganga di tengah hidup kita.
Nilai-nilai politik yang menjadi cita-cita kita bersama, yang sesungguhnya jauh hari di jaman Nabi SAW telah menjadi garis politik Daulah Madinah. Dan juga terus dikembangkan oleh khalifah-khalifah awal, khususnya Khalifah Umar. Tentu saja, sekedar memuja atau manangisi masa lalu adalah pekerjaan seorang pengigau. Menggelorakan kembali khitah politik Maulid jauh lebih mendesak di tengah semakin dimanipulasinya nilai-nilai tersebut dengan berbagai aksi politik yang sarat kepentingan seperti yang akhir-akhir ini kita saksikan. Tanpa semangat khitah politik tersebut, tanpa transformasi sikap dan tindak kepemimpinan yang inspiratif dan progresif, selamanya kita akan berkubang dalam keterpurukan. Dan tentu saja hanya menjadi umat yang terlupakan.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar