Rabu, 03 Februari 2010

Politik Selera Rendah, Berlanjut?

http://informasi-beasiswa.blogspot.com **SUARA KARYA
Oleh Mochtar W Oetomo


Jika kita selami seluruh kenyataan politik di orbit
politik Indonesia, sesungguhnya kita akan sulit menemukan sebuah logika,
proses, realitas dan laku politik yang rasional dan komunikatif. Apa yang lebih
banyak kita temukan adalah fenomena-fenomena kitsch politik. Kitsch dalam
terminologi post-modernisme menyiratkan sebuah karya (dan) seni yang murahan,
miskin orisinalitas, keotentikan dan kreativitas. Kitsch politik dengan
demikian adalah sebuah karya (atau) seni politik selera rendah, sebuah tontonan
politik murahan, miskin kreativitas dan hampa daya intelektualitas. Apakah
fenomena kitsch politik juga akan mewarnai perpolitikan nasional 2006?

Drama pemberantasan korupsi melalui eksplorasi berbagai
kasus korupsi di berbagai daerah yang melibatkan gubernur, bupati, walikota
atau anggota DPRD, mencerminkan sebuah laku politik murahan dan tidak orisinal.
Seluruh kekuatan politik seolah bergerak membombardir pelaku korupsi di
berbagai daerah dengan tanpa menyentuh sedikit pun pelaku-pelaku korupsi kelas
kakap di ibu kota negara. Meski telah begitu banyak bukti dibentangkan, tidak
satu pun kekuatan politik berusaha fokus atau bahkan sekedar menyentilnya.
Kecuali untuk kasus Probosutedjo, yang justru dimulai oleh keterusterangan
Probo sendiri.

Upaya penambahan pendapatan negara dan penyaluran
bantuan kepada rakyat miskin dengan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak),
mencerminkan sebuah laku politik yang miskin kriativitas, temporer dan tidak
menambah kredit point bagi konstruktivitas perkembangan ekonomi makro di
kemudian hari. Dengan menaikkan harga BBM tanpa mekanisme transparan dalam
distribusi subsidi adalah sebuah kebijakan jalan pintas. Peluncuran kebijakan
seperti itu pernah dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya, tidak pernah membawa
hasil yang secara nyata bisa dilihat dan dirasakan oleh rakyat. Ini merupakan
duplikasi kebijakan ala masa lalu, yang menunjukkan tidak adanya intelegensia
bagi upaya penyelesaian krisis ekonomi yang kian hari kian membelit pikiran,
emosi, jiwa dan tubuh rakyat. Duplikasi adalah salah satu karakter utama dari
kitsch. Dengan menaikkan harga BBM, diharapkan kemudahan penggalian dana pun
akan terjadi seperti masa lalu. Sebuah kebijakan yang miskin kreati
vitas, tanpa memperhitungkan efek yang sama yang mungkin terjadi.

Yang paling dramatik adalah kebijakan tentang
penanganan ratusan ribu warga negara di Malaysia (TKI) yang terpedaya dan
teraniaya serta kebijakan tentang perlindungan kawasan Celah Timor (dan
sebelumnya Ambalat) yang secara sepihak dieksplorasi oleh Australia. Semua
dilakukan tanpa alternatif-alternatif dan prediksi yang rasional, tanpa jiwa
dan keteguhan sikap sebagai pelindung rakyat dan warga negara. Ini khususnya
terkait dengan lemahnya sikap dalam kasus Papua, Celah Timor dan Ambalat).

Dari semua ilustrasi di atas menunjukkan, hampir setiap
kebijakan penting yang diambil bukannya menyelesaiakan masalah, sebaliknya
malah menambah masalah dengan problem-problem baru tentang keadilan, hukum,
orang yang kehilangan rumah dan mata pencaharian dan ancaman kehilangan sebuah
wilayah. Sebuah kebijakan yang tidak didasari oleh sebuah argumen, prediksi dan
alternatif adalah sebuah kebijakan kitsch, kebijakan murahan, yang siapa pun
bisa melakukannya. Sebuah upaya penyelesaian masalah dengan menambah masalah
adalah sebuah kitsch, sebuah laku politik yang masygul dan buta. Apakah politik
macam ini masih akan berlangsung sepanjang 2006?

Seperti ungkapan Gillo Dorfles, kitsch politik adalah
sebuah politik yang kaya intensitas, tetapi miskin kreativitas, yang sarat
eksekusi namun miskin jawaban, yang penuh keteguhan, ketegaan dan ketegasan
namun hampa kearifan, yang penuh gebyar popularitas namun dangkal
spiritualitas. Intensitas itu tinggal menjadi simulasi politik, berhamburan
namun tak satu pun berkaitan dengan realitas publik. Sebuah kebijakan penuh
keteguhan dan ketegasan, seperti kebijakan kenaikan harga BBM, namun miskin
jawaban dan tidak ada kearifan terhadap problem susulan yang muncul, dan
pertanyaan tentang kemungkinan penyelewengan dana subsidi.

Penuh gebyar popularitas karena skala persoalan
(seperti kasus Azahari dan Probosutedjo) namun miskin spiritualitas, semangat
konstruktivisme, keadilan, kesetaraan hukum, kebersamaan dan kedamaian. Penuh
kegagahan karena perfomance, seperti aksi patroli kapal dan pesawat tempur di
kawasan Celah Timor dan Ambalat, tetapi miskin jiwa dan kecerdasan.

Kitsch politik adalah sebuah bentuk politik komunikasi,
yang menurut Umberto Eco bertujuan untuk menghasilkan "efek segera". Segera
tampak ada program (baca: pemberantasan KKN), segera ada putusan, segera
mendapatkan uang (baca: kenaikan harga BBM), segera tampak peduli (baca: Aceh,
kasus Azahari, Reshuffle, Probosutedjo). Karena 'efek segera' ini amat
diperlukan dalam peradaban dan kebudayaan massa seperti sekarang ini.

Kitsch politik tidak terlalu memandang penting logika
dan rasionalisme politik, karena yang penting adalah gebyar dan popularitas
politik. Apa yang utama bukan diskursus, akan tetapi figurasi dan tontonan.
Dan, apa yang harus bukanlah penyelesaian atau alternatif, melainkan tindakan.
Bukan pula kebenaran dan jawaban akan tetapi konsumsi dan dukungan. Bukan
kedalaman akan tetapi keartifisialan kehadiran. Untuk itu sebuh kitcsh politik
memerlukan sebuah kekuatan lain di luar dirinya. Eksistensi kitsch politik yang
bergantung pada keberadaan objek, konsep atau kriteria bersifat eksternal.
Politik tinggi (kasus, Azahari dan Probosutedjo), objek sehari-hari (kenaikan
harga BBM), tokoh (Azahari, Munir, Abdullah Puteh) dan yang lebih penting dari
semua itu adalah media massa. Karena, kitsch memerlukan kekuatan eksposur dan
representasi dan kekuatan citra media untuk menghadirkan sebuah objek politik
ke hadapan khalayak, memberinya gaya, menghadirkan efek sege
ra, gebyar dan popularitas.

Kitsch politik memang menyegarkan, namun sesungguhnya
tidak mencerdaskan. Memang indah, seperti keindahan terhukumnya banyak koruptor
di daerah, namun tidak berisi. Megah, seperti sigapnya pasukan Polri dalam
menggerebek dan menewaskan Dr Azahari, dan enak ditonton (seperti
penangkapan-penangkapan anggota jaringan Azahari-Noordin M Top) di berbagai
kota yang berlaku setiap hari, namun tidak memiliki spirit dan kearifan.
Dramatis dan variatif, namun dangkal, dungu dan tidak bermakna apa-apa. Meriah,
seperti meriahnya berbagai peristiwa dan berita dramatik yang kita nikmati
akhir-akhir ini dalam lautan informasi dan jagad media, namun tidak berkaitan
apa-apa dengan realitas dan kepentingan publik.

Kitsch politik, seperti ujar Baudrillard, hanyalah akan
memusnahkan tradisi diskursi publik. Musnahnya tradisi diskursi hanya akan
menyuburkan masyarakat mengambang (floating mass). Floating mass hanya
melahirkan silent majorities, masyarakat yang diam. Dan, akhir atau puncak dari
silent majorities adalah explosion majorities, mayoritas yang eksplosif,
mayoritas yang meledak. Peristiwa Mei 1998 hanyalah salah satu contoh.***

Penulis staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya,
Direktur Eksekutif Cultural and
Communication Partner Consulting, Malang.


Oleh Mochtar W Oetomo


Senin, 26 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar