Mochtar W Oetomo
Menjelang Pemilihan Walikota/Wakil Walikota, suhu politik Kota Surabaya kian memanas saja. Seperti dilaporkan berbagai media, dukungan dan desakan untuk mewujudkan Poros Tengah terus menguat. Kelahiran Poros Tengah ala Surabaya, menjadi sesuatu yang urgen bagi dinamika politik Kota Surabaya, demi menghindari bipolarisasi politik yang makin meruncing antara Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Lebih dari itu adalah memberi pilihan alternatif bagi publik, ditengah semakin muskilnya calon independen.
Sejauh ini upaya untuk mewujudkan gagasan Poros Tengah terkesan masih setengah-setengah. Ini tidak terlepas dari dinamika masing-masing internal partai yang masih coba mencari rumusan alternatif terbaik. Apalagi diantara partai yang mungkin tergabung dalam Poros Tengah, terdapat jago-jago yang sejak awal telah ikut running untuk maju menjadi Wali/Wawali. Diantara mereka adalah Dimam Abror, Adies Kadir dan Yusuf Husni (Golkar), BF Sutadi dan Musyafak Rouf (PKB), Yulyani (PKS), Fandi Utomo (Gerindra, PKNU).
Tentu bukan persoalan mudah, menyatukan visi melepas ego, meramu sekian banyak jago hanya menjadi sepasang jago dari Poros Tengah. Hal lain yang membuat rencana pembentukan Poros Tengah masih tersendat tentu saja adalah faktor Demokrat. Dengan belum pastinya calon Wali/Wawali yang diusung Demokrat, membuat mayoritas partai dan calon Wali/Wawali menjadi gamang.
Kesuksesan Demokrat menjadi pemenang pada pemilu legislatif lalu, adalah magnet besar yang tak bisa diabaikan. Dalam logika politik yang paling sederhana, Demokrat adalah satu-satunya kekuatan yang bisa mengimbangan kekuatan PDIP, yang telah bertahun-tahun mendominasi konstalasi politik Surabaya. Sejauh ini Fandi Utomo misalnya, masih berharap besar untuk mendapat rekomendasi dari DPP Partai Demokrat.
Disamping itu faktor Arif Afandi juga tidak bisa dinafikan. Sebagai incumbent Wawali, Arif banyak mendapat klaim lembaga survei sebagai calon yang memiliki popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang sangat menjajikan. Ketika Bambang DH tidak mungkin lagi maju menjadi Cawali, Arif dipandang akan menjadi Cawali paling potensial. Sekalipun nantinya Bambang DH jadi maju menjadi Calon Wawali mendampingi Saleh Ismail Mukadar. Apalagi jika Arif jadi benar-benar diberangkatkan oleh Demokrat.
Menjadi Pemburu
Magnet dan potensi politik demikian besar yang dimiliki Arif tentu tak bisa diabaikan begitu saja oleh partai-partai politik, juga oleh para Cawali/Cawawali lain. Diantara mereka tentu banyak yang berhitung kemungkinan untuk bisa bergandengan dengan Arif. Jika tesis ini benar, tentu menjadi semakin berat upaya untuk mewujudkan Poros Tengah sebagai kekuatan alternatif.
Bahkan sendainya nanti Poros Tengah benar-benar bisa diwujudkan, dengan fakta politik yang demikian, Poros ini memiliki potensi besar untuk menjadi keropos. Bukan hanya karena tarik menarik kepentingan antar partai atau antar jago, lebih dari itu adalah kemungkinan faktor luar yang sengaja membuat keropos Poros Tengah. Fakta bahwa tiap-tiap partai calon koalisi memiliki jago lebih dari satu, itu adalah persoalan tersendiri.
Jika suatu hari nanti, Demokrat atau Arif menawari salah satu jago dari koalisi Poros Tengah, maka akan melahirkan kegoncangan tersendiri. Sangat kecil kemungkinannya, bagi calon manapun yang ditawari oleh Demokrat atau Arif akan menolak. Hal ini sangat berpotensi untuk membuat keropos Poros Tengah. Apalagi jika pada saat bersamaan Bambang DH batal maju menjadi Cawali seperti yang banyak ia lontarkan ke media massa. Peta koalisi akan semakin keropos dan centang perenang. Karena tentu juga sangat sulit untuk menolak pinangan partai besar seperti PDIP yang sudah berpengalaman dengan desain konstalasi politik Surabaya.
Memandang tesis tersebut, sejatinya ada hal lain yang bisa diharapkan dari Poros Tengah. Sejauh ini bipolarisasi kekuatan antara Demokrat dan PDIP, masih sebatas bipolarisasi “orang besar” antara Arif Afandi dengan Bambang DH/Saleh Ismail Mukadar dan bipolarisasi “modal besar” (uang dan mesin politik). Padahal dalam perkembangan politik Indonesia kontemporer, akhir sebuah kompetisi politik sesungguhnya bukan hanya ditentukan oleh “orang besar” dan “modal besar’, seperti yang menjadi adagium dan tahayul politik Indonesia akhir-akhir ini.
Dalam banyak kasus Pilkada di Indonesia, “Ide Besar” juga menjadi faktor yang menentukan sebuah akhir kompetisi politik. Kekosongan bipolarisasi “ide besar” inilah yang harus bisa di isi oleh Poros Tengah jika nantinya benar-benar terwujud. “Ide besar” yang marketable dimata khalayak, yang bisa memajukan Surabaya dan memakmurkan warganya. Jika kelahiran Poros Tengah dilandasi oleh semangat “ide besar” ini, niscaya akan sulit bagi kekuatan politik lain untuk menjadikannya keropos. Namun, jika fondasi berdirinya Poros Tengah hanyalah sharing akses dan kekuasaan, hampir bisa dipastikan Poros Tengah akan menjadi keropos di tengah.
Memang ada sebuah pepatah Melayu yang mengatakan, “Dua gajah bertarung, Pelanduk mati di tengah”. Namun juga ada pepatah Myanmar yang mengatakan, “Dua gajah bertarung, pemburu yang menjadi pemenang”. Ibarat pertarungan antara Demokrat dan PDIP adalah pertarungan dua gajah, kini menjadi sangat tergantung pada partai calon anggota koalisi Poros Tengah untuk memilih jadi apa. Kalau pilih jadi pemburu. Maka pada saat dua gajah bertarung, pemburu harus menyiapkan sebuah jebakan untuk melumpuhkan dua gajah. Atau mesti siap-siap membidikkan anak panah, dengan tepat sasaran. Sebab kalau tidak, pemburu tak akan pernah bisa mengambil gadingnya. Poros Tengah jangan sampai keropos tengah!. (Jawa Pos, 27 Januari 2010)
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar