Kamis, 04 Februari 2010

Sayonara untuk Pansus Century

Mochtar W Oetomo

Menjelang akhir masa kerja Pansus Century, makin santer saja wacana dan upaya untuk menjadikan Pansus lunglai, kehilangan arah dan ujung-ujung kehilangan legitimasi politis. Mulai dari wacana etika komunikasi politik anggota Pansus, evaluasi terhadap koalisi, reshuffle kabinet, pergantian anggota Pansus yang kritis dan tajam, hingga wacana tentang agenda pemakzulan di sebalik Pansus.
Bermula dari banyaknya kritik pengamat terhadap beberapa anggota Pansus Century yang diganti oleh fraksinya, SBY melalui Menkominfo Tifatul Sembiring mengaku prihatin karena anggota Pansus telah kehilangan etika sopan santun dalam melontarkan pertanyaan pada para saksi. Sehari kemudian, para petinggi partai Demokrat, mengeluarkan statmen, bahwa sebagian besar anggota Pansus memiliki agenda pemakzulan terhadap presiden.
Berikutnya dalam berbagai kesempatan SBY melontarkan pernyataan soal mosi tidak percaya dan pemakzulan. Seperti saat SBY memberi keterangan pers usai bertemu dengan para kepala lembaga tinggi negara di Istana Bogor beberapa waktu lalu. Dan diulang lagi dalam Rapat Pimpinan TNI 2010 di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta (25/1).
Sebuah wacana awal yang tidak komunikatif dan dialogis. Wacana-wacana dan argumen pengamat serta aktivis tentang upaya penggembosan dan pengebirian Pansus tidak ditindakbalasi dengan wacana dan argumen, melainkan dengan dakwaan dan tuduhan yang sama sekali lepas dari konteks persoalan.
Menurut Mikhail Bakhtin, setiap teks (diskursus dan argumen) mestinya hidup dalam bingkai dialogisme. Karena sebuah teks lahir tidak dalam suasana kehampaan, kekosongan dan ketiadaan ruang. Teks lahir tidak untuk sebuah ‘gumaman’, bukan dalam sebuah temporalitas yang pecah, melainkan selalu memiliki keterkaitan intertekstualitas. Ketika ada pernyataan dari Demokrat dan SBY yang tidak begitu menyepakati lahirnya Pansus, dengan berbagai argumen bahwa kelahiran Pansus yang bersifat politis memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan.
Maka, reaksi dialogis datang dari banyak pengamat dan aktivis. Bahkan juga dari para anggota Pansus (umumnya para inisiator) dengan keseriusan dan keindependenan mereka dalam upaya membongkar malpraktek bailout Bank Century. Maka ketika reaksi argumen dan kritik tersebut tidak mendapat tindak balas diskursif melainkan dakwaan dengan sendirinya prinsip dialogisme teks telah runtuh.
Tidak dialogisnya perbincangan antara pengamat, aktivis dan anggota Pansus dengan Demokrat dan SBY dilain pihak semakin nampak manakala dalam berbagai kesempatan SBY dan para petinggi Demokrat melontarkan pernyataan perlunya evaluasi terhadap partai koalisi. Bahkan dalam beberapa kesempatan, secara gamblang dinyatakan tentang adanya rencana reshufle kabinet setelah 100 hari pemerintahan. Diskursus lama tidak terkonstruksi, sebaliknya malah memunculkan diskursus baru tentang hubungan antar partai dan soal pemakzulan terhadap kekuasaan. Dalam strategi komunikasi politik, ini dapat dimaknai sebagai upaya Demokrat untuk membangun pesan sebagai strategi ‘proyek lupa’. Karena bukankah diskursus utama (tentang skandal Century) menjadi sirna dan berpindah pada diskurus perseteruan serta hubungan antar partai atau bahkan diskursus tentang pergantian kepemimpinan nasional.
Dalam pemahaman kritis Habermasian, komunikasi politik yang rasional dan komunikatif tidak ditandai dengan represi dan kekerasan melainkan dengan argumentasi. Argumentasi bisa diwujudkan dalam dua bentuk aksi komunikasi, yakni perbincangan (diskursus) dan kritik. Maka jika kita simak sinyalemen-sinyalamen balik SBY dan Demokrat melalui para elitnya, mengenai tuntutan terhadap kinerja Pansus, prinsip argumentasi komunikatif telah ambruk.
Seperti diungkap Hardiman, sebuah diskursus politik yang rasional dan komunikatif lahir dalam bentuk diskursus teoritis dan diskursus praktis. Maka ketika banyak pengamat dan aktivis mendesak kinerja Pansus yang lebih efektif dan tuntas, serta mendesak independensi Pansus dengan berbagai argumen teoritik dan konseptual, diskursus balik Demokrat dan SBY justru amat tidak teoritis dan konseptual. Argumen ketidak etisan para anggota Pansus dalam melontarkan pertanyaan sama sekali tidak nyambung, karena justru anggota Pansus dari Demokrat (Ruhut Sitompul) sendiri yang lebih sering membuat kegaduhan dengan berbagai umpatan dan kata kasar. Sebuah argumen yang dipaksakan, menjadikan pecahnya temporalitas, perbincangan di ruang hampa.
Demikian juga dengan argumen, Pansus akan dijadikan sebagai alat politik untuk pemakzulan terhadap presiden, sama sekali tanpa penjelasan teoritik dan alternatif-alternatif konstitusional yang mungkin menjadi jalan keluar. Sebuah perbincangan (diskursus) yang tidak ‘nyambung’, menghilangkan esensi perbincangan itu sendiri, yakni dana talangan Bank Century sebesar 6,7 triliun.
Ungkapan-ungkapan para elit Demokrat sama sekali tidak mencerminkan sebuah komunikasi politik yang rasional dan komunikatif, sebaliknya penuh dengan ‘kekerasan simbolik’ dan ‘kekerasan semiotik’. Jawaban yang tidak nyambung adalah ‘kekerasan simbolik’ terhadap imaji publik yang mengikuti perseteruan wacana tersebut. Sementara kata ‘tidak etis dan tidak sopan” dan ‘agenda pemakzulan opisisi’ adalah bentuk kekerasan semiotik.
Demikian juga dalam wilayah kritik. Kritik yang rasional, dialogis dan komunikatif adalah kritik yang sesuai dengan konteks diskursus. Maka ketika SBY menkritik anggota Pansus sebagai tidak etis dan tidak sopan, kritik tersebut jauh melampau konteks diskursus. Memang ada kritik ‘terapeutis’, yakni sebuah kritik dalam upaya penyingkapan penipuan diri terhadap elemen-elemen yang sedang berkomunikasi. Tapi ketika Demokrat justru mengungkap adanya agenda pemakzulan disebalik Pansus, maka kritik tersebut tidak lagi menjadi terapeutis.
Apa yang menjadi tindak balas SBY melalui Tifatul Sembiring, atau Demokrat melalui Ruhut, Marzuki Alie dan petinggi Demokrat lainnya tidak menunjukkan kapasitas argumentasi yang diskursif dan kritis, malainkan hanya sebuah penyangkalan terhadap argumen dan kritik yang menyerangnya yang semata-mata hanya didasari kepentingan praksis dan instrumental. Bukan demi kesepahaman komunikasi dan konstruktifisme alternatif persoalan. Bukan pula untuk menemukan substansi diskursus, melainkan untuk mengukuhkan kepentingan yang telah dikantongi. Yakni, mengukuhkan kekuasaan.
Maka apa yang akan disaksikan oleh publik di pentas komunikasi publik bukanlah diskursus politik yang rasional dan komunikatif. Pada saat yang bersamaan sesungguhnya publik terus mendapatkan kekerasan simbolik, semiotik dan pelecehan rasionalisme politik. Di akhir-akhir masa kerjanya ini, Pansus terlihat semakin nyinyir saja. Bukan hanya karena begitu banyak politik wacana yang mengkerdilkannya, tapi juga karena polarisasi politik dalam tubuh Pansus sendiri, antara yang pro bailout (Demokrat, PKB, PPP, PAN), kontra bailout (PDIP, Gerindra, Hanura) dan yang masih menunggu perkembangan politik (Golkar dan PKS). Semakin nyinyir lagi, manakala beberapa anggotanya juga terseret wacana pemakzulan yang sesungguhnya adalah bentuk politik komunikasi dari pihak Demokrat dan SBY.
Dengan situasi komunikasi politik dan politik komunikasi yang sedemikian tadi, maka kalaupun agenda pemakzulan dari beberapa anggota Pansus bertemu dengan agenda aksi mosi tidak percaya dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB), yang terjadi bukanlah sayonara untuk SBY-Boediono. Sebaliknya, Sayonara Pansus Century.....! Sungguh, menyedihkan sekali drama politik di negeri ini.

Mochtar W Oetomo, MA
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

2 komentar:

  1. ahmad Ikhsan rosidi5 Februari 2010 pukul 22.07

    Di era serba terbuka seperti sekarang,untuk melakukan kekerasan politik secara verbal sudah sangat tidak mungkin bagi rezim yang berkuasa. Maka yang terjadi adalah membangun kekerasan-kekerasan komunikasi politik, seperi kekerasan politik simbolik dan semiotik, walaupn intinya sama saja, yakni intimidasi politik. Begitu Mursyid?

    BalasHapus
  2. Yoi....dalam terminologi posmodern disebut criminalis perfectus, kejahatan sempurna..melalui penguasaan simbol...

    BalasHapus