Rabu, 03 Februari 2010

Sentakan dari Pondok Bambu

Mochtar W. Oetomo

Dalam kancah komunikasi publik wacana fasilitas mewah di lembaga pemasyaratan (LP) atau rumah tahanan (rutan), kini telah memasuki zona ‘bifurkasi’ (befurcation), zona kebimbangan komunikasi. Zona bifurkasi adalah zona ketidakpastian, ketidakputusan, akibat begitu banyaknya magnet komunikasi yang menarik komponen-komponen informasi dalam wacana mafioso di rutan. khususnya pasca sidak mendadak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di rutan Pondok Bambu.
Sebuah wacana komunikasi (politik) yang telah masuk zona bifurkasi, ditandai dengan adanya sebuah sentakan (fibrillation). Seperti halnya detak jantung yang melompat-lompat tak beraturan dalam keadaan ambang. Sentakan dalam wacana ini adalah terbongkarnya keberadaan fasilitas mewah di rutan Pondok Bambu yang justru dinikmati oleh narapidana-narapidana penghancur bangsa (kasus korupsi dan narkoba), seperti Artalyta Suryani (Ayin), Lin Marita (Aling), Darmawati dan Ines Wulandari.
Sebuah informasi yang menyentak, selain begitu mewahnya fasilitas-fasilitas yang diperoleh para narapidana kakap ini, juga karena pada saat bersamaan mereka leluasa untuk melakukan perawatan kecantikan dan bahkan rapat-rapat penting perusahaan di dalam rutan. Terlebih di sudut lain dalam rutan, narapidana lain berdesak-desakan melebihi batas dalam satu sel. Bahkan juga dengan fasilitas MCK yang sangat tidak memdai dan manusiawi. Ketika kedua fakta ini mengeluarkan irama yang berlawanan, yang terjadi adalah sebuah sentakan. Sentakan tentang rasa keadilan dan kemanusiaan dalam dunia rutan.
Sentakan jantung semacam ini menggiring pada dua pilihan, pertama, serangan jantung, stroke atau kematian. Dan kedua, kembali kepada irama semula. Wacana yang berkembang pada kancah komunikasi publik, cenderung mengarah pada pilihan pertama. Sementara wacana yang dikembangkan di wilayah sistemik (pemerintah) cenderung mengarah pada pilihan ke dua. Wacana jual beli tempat tahanan, pemesanan fasilitas khusus di rutan, hingga leluasanya para tahanan untuk keluar masuk rutan adalah wacana-wacana yang menggiring ke arah ‘serangan jantung’. Yakni, serangan terhadap legitimasi dan transparansi lembaga penegak hukum, yang dalam hal ini punggawa rutan serta Departemen Hukum dan HAM Dephumham).
Wacana tentang tidak koordinatifnya komponen sistemik di bawah Dephumham, terbukti saat sang menteri sidak tidak menemukan apa-apa, berusaha menggiring ke arah ‘stroke’, kelumpuhan sistemik dari mesin pemerintah yang sudah tidak dapat bekerja lagi secara koordinatif dan konstruktif. Sementara wacana tentang pembongkaran seluruh mafioso dalam dunia rutan (seperti penyimpangan seksual, jual beli narkoba, hingga pemerasan yang tak manusiawi oleh sipir) lebih menggiring ke arah ‘kematian’.
Di sisi lain wacana yang coba dikembangkan oleh pihak pemerintah berusaha menggiring arah wacana ke pilihan kedua, yakni ‘kembali kepada irama semula’, tenang, normal. Wacana tentang janji Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang akan terus melakukan sidak-sidak aksidental. Pencopotan Kepala Rutan Pondok Bambu Sarju Wibowo. Pembongkaran ruang mewah Ayin dan Aling. Serta wacana pemindahan tahanan-tahanan kakap tersebut ke tempat atau rutan lain adalah wacana-wacana yang menggiring ke arah kondisi normal. Maka ketika kedua magnet komunikasi ini saling mengerahkan kekuatan untuk mengarahkan wacana pada masing-masing pilihan, dan drama tarik menarik itu ditampilkan dalam berbagai fragmentasi di layar konversasi publik (media massa) apa yang terjadi adalah regangan psikis komunikasi publik, yang ketika secara gagap coba disikapi malah menimbulkan sebuah chaos wacana, komunikasi publik yang chaotic.

Resonansi dan Butterfly Effect
Apa yang pantas diperhitungkan adalah, setiap wacana yang penuh ‘sentakan’ atau ‘regangan’ di bawa ke media, wacana tersebut cenderung akan mengalami ‘resonansi’. Melalui resonansi, apapun konteks sesungguhnya, satu media mempunyai kemampuan untuk terbang jauh meninggalkan konteks yang terbatas tersebut untuk mendapatkan yang baru. Seperti dalam konteks mafioso hukum beberapa waktu lalu. Bermula dari Kasus Cicak vs Buaya, maka resonansi terus melebar dan menebar hingga ke kasus Bank Century, kasus Antasari, kasus Susno Duaji, hingga mafioso du dinia rutan ini.
Dalam suasana chaotic wacana semacam itu. Dan dalam zona bifurkasi seperti yang terjadi pada wacan pasca terbongkarnya fasilitas mewah di rutan Pondok Bambu. Serta dalam lingkungan kekuatan resonansi media. Apa yang perlu kita waspadai dan perlu interpretasikan kembali adalah kekuatan daya penggerak (strange attractor) yang ada disebalik kekuatan yang menggiring arah wacana menuju ke dua pilihan. Maka, jika kita awas, dapat kita jumpai, bahwa strange attractor kedua magnet wacana tersebut sesungguhnya adalah satu, yakni ‘kepentingan’, kepentingan kelompok, kepentingan politik instrumental. Jika demikian halnya reinterpretasi publik mesti lebih mengarah pada interpertasi yang ‘komunikatif’ dan bukan malah terjebak pada interpretasi yang instrumetal juga.
Apa yang pantas kita perhitungkan adalah butterfly effect berbagai kasus mafioso hukum dan peradilan yang akhir-akhir ini menjadi tema besar bangsa ini. Butterfly effect atau efek kupu-kupu adalah apa yang terjadi pada satu bagian akan berakibat pada bagian lain. Bifurkasi pada satu zona akan berakibat atau akan bergeser pada zona lain. Ketidaktertiban dan ketidakkoordinatifan sebuah kerja juga akan bergeser pada wilayah lain. Maka ketika sebuah kebijakan publik masih saja bersirkuit di wilayah interpretasi pribadi dan tidak mencebur ke arena komunikasi publik, selama itu pula zona bifurkasi akan terus terjadi, selama itu pula publik terus di asingkan, dan selama itu pula kemungkinan-kemungkinan implosi dan eksplosi akan terjadi. Dan sayangnya, tetap saja publik yang terbenam dan dibenamkan. Implosi dan eksplosi 1965 (kejatuhan Soekarno) serta 1998 (kejatuhan Soeharto) hanyalah dua contoh sederhana.*** (Surabaya Post, 14 Januari 2010)


Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar