Rabu, 03 Februari 2010

Bawean yang Masih Terus Merana

Mochtar W Oetomo

Sejak kapal penumpang Express Bahari 8B pecah dekat di perairan Pulau Bawean akibat dihantam ombak bulan lalu, sejak itu pula Bawean menjadi pulau terisolir, merana dalam derita. Transportasi laut menuju dan ke pulau yang masuk wilayah kabupaten Gresik tersebut praktis mandeg. Bahan-bahan kebutuhan pokok jadi langka, spekulanpun bermain, menjadikan harga-harga melambung tinggi. Bahan Bakar Minyak (BBM), juga langka dan mahal, membuat banyak orang harus jalan kaki saat bekerja. Ditambah lagi dengan persoalan listrik yang selama bertahun-tahun belum juga terpecahkan. Sehari hidup-sehari mati. Produktivitas Bawean-pun menukik hingga titik nadir.
Riuh derita Pulau Bawean tersebut, tidak hanya berlaku pada wilayah (domain) fisik tapi juga hingga ke wilayah komunikasi publik (public discourse), melalui laporan berbagai media. Keriuhan fisik ditandai dengan masih semrawutnya upaya-upaya penangulangan dan penanganan berbagai masalah yang membelit rakyat Bawean. Perhatian pemerintah daerah dan instansi-instansi lain dianggap belum memadai. Persoalan arus logistik sejauh ini masih saja sekedar menjadi berita. Sementara kericuhan diskursus publik ditandai oleh pentas komunikasi politik antara suprastruktur politik (pemerintah daerah) dengan infrastruktur politik (masyarakat Bawean, LSM) yang makin tidak dialogis.
Ketika sebagian besar masyarakat Bawean melontarkan pesan bahwa pemerintah daerah kurang tanggap dan peduli dengan penderitaan yang mereka alami, para pejabat pemerintah daerah justru saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Ujung-ujungnya, “ketidakpastian alam” (gelombang dan badai) yang menjadi kambing hitam.
“Banal”
Dalam bahasa Mikhail Bakhtin, kericuhan komunikasi politik tersebut sesungguhnya hanya melahirkan sebuah entitas komunikasi politik yang “mati” (banality of communications). Dalam analog yang sederhana pemerintah agaknya memang sengaja tengah melakukan ritual “banalitas” komunikasi politik. Banalitas komunikasi dalam upaya mengatasi masalah Bawean ini bisa kita lihat dalam beberapa kategori.
Pertama, adalah putusnya jaringan komunikasi antar para stakeholders. Seperti banyak diberitakan oleh media, tak seorangpun pejabat pemerintah yang fokus dan konsen betul mengambil tanggung jawab dalam menangani persoalan Bawean dari soal transportasi, sembako, BBM hingga listrik.
Tidak ada satupun representasi “sosok” pemerintah yang terlihat memperluas jaringan komunikasi dalam upaya menyelesaikan persoalan atau sekedar memahami derita masyarakat Bawean.Memahami ekspresi batin dan kondisi objektif khalayak adalah syarat mutlak komunikasi politik yang dialogis. Para aktor suprastruktur politik “diam” bukan untuk instropeksi, akan tetapi lebih untuk sembunyi dari berbagai pertanyaan dan tanggung jawab yang mungkin muncul. Hal ini tampak sekali dalam berbagai argumen dari para aktor suprastruktur politik baik di daerah maupun provinsi, bahwa semua persoalan ini menjadi persoalan bersama. Itu saja.
Kedua, tidak adanya pertemuan fisik antara suprastruktur dan infrastruktur. Antara pejabat dan masyarakat Bawean, utamanya dalam kegiatan-kegiatan fisik dalam upaya mengatasi masalah. Tidak ada pembenahan dan penanganan yang bersifar fisik baik dalam arti kompleks maupun sederhana, sendiri atau bersama-sama sehingga persoalan bisa dikurangi satu persatu. Betapa tidak komunikatifnya teks ini, ketika rakyat bahu membahu berusaha mengatasi persoalan sendiri, misalnya rela menanggung dan berusaha untuk mengatasi suplai listrik seperti yang terjadi selama ini. Justru di kalangan pemerintah daerah saling tuding mencari kambing hitam.
Ketiga, kekosongan komunikasi. Dalam seluruh kericuhan yang terjadi bukankah tak sedikitpun bentuk alternatif penyelesaian yang mencerahkan ditawarkan oleh pemerintah? Pemerintah justru terjebak dalam kegelapan yang menjadikannya tak (mau) bisa berbuat apa-apa. Maka suasana transaksi komunikasi yang memuaskan kedua pihak tak pernah lahir, yang ada hanyalah pentas komunikasi politik yang terus dan terus melahirkan kesalahpahaman dan kemuakan (disturbing communications). Dan Baweanpun masih saja terus merana, dari tahun ke tahun, dari kepemimpinan yang satu kepemimpinan yang lain.
Intersubjektif
Melihat kericuhan tersebut, pola komunikasi intersubjektif (intersubjective communications) mesti segera dikembangkan untuk segera mengatasi derita Bawean. Suprastruktur harus memahami benar apa subjektivitas (akar persoalan yang menjadi derita masyarakat Bawean). Dan sebaliknya, infrastruktur (masyarakat) pun mesti memahami segala keterbatasan yang tak mungkin dijangkau oleh pemerintah daerah. Inilah yang tidak pernah saling dicari dan dipahami oleh masing-masing subjek selama ini, sehingga yang lahir saling kemarahan yang tak bertemu dalam ruang. Relitas semacam ini tidak saja akan melahirkan apatisme komunikasi politik,lebih dahsyat dari itu adalah destruktivitas komunikasi politik. Yakni, ketika publik berbicara ke suprastruktur politik dengan pesan-pesan kebrutalan dan kekerasan. Maka, sangat strategik jika pemerintah kembali membakar api semangat untuk menyelesaiakan persoalan, bekerja keras dengan berbagai elemen terkait, pergi mengunjungi sentra-sentra masalah, hingga pada akhirnya dapat bekerja bersama dalam suasana antar subjek yang komunikatif.. Semoga Bawean segera lepas dari derita panjang. *** (KOMPAS, 1 Februari 2010)

Mochtar W Oetomo
Staf pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar