Rabu, 03 Februari 2010

Abjeksi Politik Ruhut Sitompul

Abjeksi Politik Ruhut Sitompul
Mochtar W. Oetomo

“Ruhut Sitompul kembali bikin ulah”, demikian kira-kira kalimat yang tepat untuk merangkum sekian banyak judul berita media sepanjang Kamis (14/1) dan Jum’at (15/1) ini. Setelah sekali lagi dan sekali lagi politisi partai Demokrat tersebut kembali membuat gaduh suasana sidang Pansus Century dengan ungkapan-ungkapan dan interupsi-interupsinya. Setelah berbaku kata kasar dengan Gayus Lumbuun (PDIP) beberapa waktu lalu, kini Ruhut kembali bikin ulah dengan sapaan Daeng-nya kepada Jusuf Kalla (JK) yang melahirkan hujan interupsi dari sesama anggota Pansus.
Fenomena “kegaduhan” Ruhut di berbagai sidang Pansus sesungguhnya adalah fenomena “abjeksi politik”. Abjek adalah sebuah kondisi pada satu garis batas, pada titik ambigu, pada lini di antar dua sisi mata uang, pada carut marutnya antara penolakan dan penerimaan, antara kebencian dan kecintaan. Sebuah kondisi abjek, menurut Julia Kristiva adalah sebuah kondisi dan aksi yang memanfaatkan kerapuhan hukum, untuk dapat berdiri di tapal batas keabsahan dan kekeliruan.
Abjek adalah Ruhut dalam konstalasi Pansus Century. Berdiri pada satu garis batas,atau tepatnya mengangkangi garis batas. Satu kaki di kanan garis batas dan satunya lagi di kiri garis batas. Yakni, antara perannya sebagai anggota DPR dan anggota Pansus yang mesti menggunakan hak angketnya demi mengungkap fakta yang sesungguhnya dan demi membela kepentingan rakyat. Dan perannya yang lainnya sebagai kader partai Demokrat yang mesti menjaga kondisi seaman mungkin dari segala kemungkinan yang bisa membahayakan keberlangsungan pemerintah (baca: kekuasaan).
Ruhut seperti berdiri diantara dua sisi mata uang. Di satu sisi mestinya dia melakukan peran controling dan budgeting kepada pemerintah. Namun di sisi lain ia harus menjaga kewibawaan dan keteguhan pemerintah. Ruhut dan barangkali juga anggota Pansus dari partai Demokrat yang lain, sesungguhnya tidak berkenan dengan lahirnya Pansus, tapi karena dinamika konstalasi politik, membuatnya harus menerima. Ia harus menerima (baca:mendengar) pertanyaan-pertanyaan koleganya yang tajam dan “berbahaya”, karena sebagai sesama anggota Pansus, tapi sesungguhnya menolak.
Maka, segala kegaduhan yang dibuat oleh Ruhut, sesungguhnya hanyalah wujud sebuah penolakkan yang tak terkatakan. Kata-kata kasar yang acap keluar dari mulutnya adalah wujud katarsis dari keletihan yang berkepanjangan akibat berdiri di tapal batas ketidakpastian. Entah sebagai strategi pengalihan konsentrasi ataupun strategi mengulur waktu, kegaduhan Ruhut sesungguhnya adalah ungkapan benci tapi rindu, rindu tapi benci. Rindu untuk mengambil peran strategis dalam konstalasi politik, tapi benci karena tidak bisa melakukan akibat posisinya sebagai kader Demokrat.
Ruhut adalah wujud pergeseran dari sebuah kondisi menjadi sebuah aksi. Pergeseran watak abjek dari sebuah kondisi ke aksi semacam ini disebut abjeksi. Dengan lahannya yang abjek, yang remang-remang seperti di atas, abjeksi sesungguhnya tidak menolak hukum, hanya mempermainkannya. Tidak menolak pertanyaan-pertanyaan tajam pada para saksi, namun hanya mempermainkannya dengan segala interupsi, gurauan, caci maki. Demi kacaunya konstruksi pendalaman anggota Pansus lainnya. Tidak menolak jadwal dan aturan yang dibuat oleh ketua sidang, namun mempermainkannya dengan mengulur-ulur waktu demi lebih ringannya beban para saksi.
Oleh karenanya sebuah abjeksi adalah sebuah konspirasi politik. Abjeksi adalah sebuah immoralitas yang ‘cerdas’. Mengacau tapi kesannya menghibur. Mengacak-acak tapi kesannya bermain-main. Lihai tapi kesannya kekanak-kanakan. Maka tidak mengherankan, dengan segala kelakuan Ruhut yang selama ini dipandang memalukan oleh banyak orang, sekalipun ia tidak pernah mendapat teguran apalagi sangsi. Sebaliknya malah mendapat tempat yang terhormat dilingkngan Demokrat, dengan terpilihnya dia sebagai anggota Pansus.
Apa yang ingin di dapat dari sebuah aksi yang abjek ala Ruhut adalah jouissance, sebuah katarsis kesenangan untuk sebuah orgasme sesaat. Ketika kegaduhan itu dilakukan, ketika semua orang terpancing menanggapi (termasuk tulisan ini barangkali), ketika semua orang geram dan tertawa di sana ada kesenangan, kepuasan, dan perasaan-perasaan fungsioanal karena telah melakukan sebuah peran. Setelah itu apa yang akan berlaku tidak penting dalam abjeksi. Maka ketika habis saling mengumpat dan mencaci maki, menjadi tak persoalan besok saling gurau dan berjabat tangan, seperti dalam kasus pertengkarannya dengan Gayus.
Dalam abjeksitas kondisi yang semacam ini, tidak ada yang lebih penting dari kesenangan dan kepuasan dari ketika aksi itu dilakukan. Semua yang lain menjadi hal yang remeh-temeh, murah dan tak berarti, sia-sia. Bahkan sebuah tata tertib, norma sopan santun dan peri-intelektualitas sekalipun. Apa yang perlu dikhawatirkan adalah jika tindakan abjek itu dikonstruksi, konsekuensinya adalah abjeksi balasan. Kegaduhan di balas kegaduhan. Umpatan dibalas umpatan. Konspirasi dibalas dengan konspirasi. Jika sudah demikian, tak banyak yang bisa kita harapkan dari Pansus**** (Radar Surabaya, 18 Januari 2010)

Mochtar W. Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar