Rabu, 03 Februari 2010

Resonansi Pemberantasan Mafia Hukum

Mochtar W. Oetomo

Inilah kedahsyatan media. Dengan kekuatan kehadirannya yang terus menerus dan fragmentatif, mampu mengangkat sebuah objek, realitas, fenomena ke dalam satu gambaran dan citra yang bahkan melampaui realiatas itu sendiri. Fenomena mafia hukum yang selama ini sudah menjadi rahasia umum, sudah menjadi ‘salah kaprah’ (salah tapi karena biasa di lakukan orang banyak lama-lama menjadi benar), dan cenderung disikapi dengan permisif, bahkan oleh kalangan penegak hukum sendiri, tiba-tiba menjadi persoalan nyinyir.
Banyak kalangan (terutama praktisi hukum, penegak hukum, akademisi hukum) tiba-tiba saja menjadi seperti pahlawan, mengkritik, dan memaki mafia hukum ini sebagai kejahatan kemanusiaan dan peradaban yang tak termaafkan. Padahal selama ini mereka cenderung melihat kenyataan yang sudah begitu menyendawan di sekitarnya dengan permisif. Dengan kedahsyatan transformasinya (dalam konteks ini pantas dipelihara), media telah menggeser kenyataan yang semula dianggap ‘biasa-biasa saja’, ‘tahu sama tahu’ ke dalam sebuah gambaran dan citra baru tentang mafia hukum, yang dina, yang nyinyir, yang harus ditumpas.
Inilah kekuatan resonansi media. Melalui resonansi, apapun konteks sesungguhnya, satu media mempunyai kemampuan untuk terbang jauh meninggalkan konteks yang terbatas tersebut untuk mendapatkan yang baru. Bermula dari fenomena Cicak vs Buaya, wacana mafia hukum ini mulai menyeruak. Karena kekuatan resonansinya, ia terbang dari konteks yang terbatas tersebut, dan terus berusaha menemukan fenomena-fenomena terkait di tempat lain.
Resonansi tersebut kemudian bukan hanya sebatas resonansi wilayah, dari Jakarta ke tempat lain (Banyumas, Kediri,Pasuruan). Tapi juga resonansi wacana, dari yang semula melibatkan oknum dan institusional, untuk menemukan kenyataan yang lebih baru dan mencengangkan. Yakni, kenyataan yang melibatkan sebuah jaringan mafia yang tak terbatas, layaknya rantai lingkaran setan, yang bahkan melibatkan wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak terduga. Maka menggelindinglah bola salju kasus Bank Century, kasus Antasari, yayasan-yayasan di belakang Cikeas, hingga fasilitas hotel bintang lima di rutan Pondok Bambu.
Lebih dari itu adalah resonansi makna seperti apa yang sudah diuraikan di atas. Krimanalitas hukum (law crime), ini juga mengalami resonansi makna ke moraliatas hukum (law morality), etika hukum (law etic) atau bahkan horor dunia hukum (law horror), yang membuat berbagai pihak (terutama pihak praktisi dan penegak hukum sendiri) dicekam kecemasan sekaligus kesiagaan, yang menjadi pecundang tapi sekaligus berusaha untuk menjadi pahlawan.
Sebuah resonansi, yang dalam konteks ini mesti mendapat sambutan gayung. Sebuah kerja resonansi media yang melahirkan hommelette mafia hukum. Hommelette adalah sebuah metafora. Metafora dari sebuah telur busuk yang pecah dan isinya yang nyinyir muncrat ke segala penjuru, ke segala arah, menerjang apa saja yang dalam wilayah jangkauan terjang dan menimbulkan bau nyinyir dan amis. Fenomena mafia hukum yang telah menjadi ‘salah kaprah’ puluhan tahun, yang telah menjadi telur busuk, tapi karena kulitnya belum terkelupas, maka bau busuknya belum menyebar dan tersimpan sendiri, tiba-tiba tertimpuk sebuah batu (resonansi media) yang membuatnya jadi hommelette.
Coverage terhadap kasus Prita Mulyasari dan Cicak vs Buaya adalah timpukan itu, pecah dan terkelupasnya kulit itu. Hingga bau busuknya, jaringan-jaringan kasus yang terkait muncrat berhamburan dan berpendar ke segala penjuru. Menciprati apa saja yang ada di wilayah jangkauannya, kasus-kasus lain, wacana-wacana lain, tempat-tempat lain sehingga juga menimbulkan bau nyinyir. Dalam hommelette bau nyinyir hasil cipratan ini menarik penciuman untuk menemukan bau nyinyir yang lain demikian seterusnya. Sehingga hambur-menghambur dan ciprat menciprat ini menjadi mata rantai hommelette, yang akan menyentuh semua wilayah yang menyimpan telur busuk. Karena tak ada yang mau di ciprati, tak ada yang mau disalahkan, maka ia akan menciprati yang lain. Satu sumber membuka telor busuk sumber yang lain, demikian seterusnya, sehingga jaringan telor busuk terkelupas satu persatu (Lihat kasus Antasari dan Susno Duaji).
Inilah drama hommelette mafia hukum, yang ketika mendapat coverage dan kekuatan citra dari media, ia menjadi fenomena dan diskursus yang mau tidak mau harus diperhatikan dan dianggap penting bahkan oleh orang yang biasa melakukan sekalipun. Apa yang kita harapakan dari kekutan resonansi media dan drama hommelette ini adalah tidak sekedar menajdi fragmen-fragmen yang berkejaran dan berpacu dengn kecepatan tanpa menyisakan satu renungan kontemplatif. Dan yang lebih kita harapkan adalah resonansi dan hommelette mafia hukum ini terus akan merambat dan menciprat. Hingga tidak lagi sekedar menyentuh wilayah kepolisian, penjara dan KPK. Tidak sekedar menapaki wacana fasilitas mewah di bui. Tidak sekedar pada wilayah kriminalisasi terhadap oknum-oknum tertentu.
Rasanya masih banyak telur busuk yang tersimpan di wilayah-wilayah selain hukum dan peradilan dan menjadi rahasia umum serta salah kaprah dunia sosial politik. Berbagai fenomena jual beli jabatan di lingkungan penegak hukuk, pelecehan kualitas dan sistem rekruitmen, jaringan-jaringan proyek dalam dunia kepolisian dan peradilan selama ini hanya mendapat coverage yang fragmentatif sehingga tidak menukik pada akar persoalan, dan kalaupun menimpuk telur busuk tidak sampai membuat kulitnya terkelupas.
Hommelette mafia hukum seperti sekarang ini adalah moment, titik pijak dan durasi yang tepat untuk terus melakukan resonansi bagi media dengan tidak melupakan gayung sambut komponen-komponen lain. Apa yang kita harapkan adalah terjadinya mega hommelette dalam dunia hukum kita. Dan jika media tidak melanjutkan timpukan pertama ini dengan timpukan selanjutnya. Serta komponen lain (terutama komponen politik dan penegak hukum) tidak menangkap resonansi itu dan membiaskannya secara lebih luas dengan cermin-cermin integritas dan konstruktifisme. Maka tinggal menunggu waktu benua hukum dan keadilan kita tenggelam punah oleh banjir bandang telur busuk. Jika sudah demikian, bangsa mana yang sanggup bertahan jika pondasi sistemnya (hukum) telah ambruk?!*** (Harian SURYA, 18 Januari 2010)

Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar