Rabu, 03 Februari 2010

Ruhut dan Repudiasi dari Istana

Mochtar W Oetomo

“ Dia lagi..dia lagi...!” demikian komentar seorang presenter televisi nasional saat membawakan sebuah berita tentang ulah Ruhut Sitompul, dalam sidang Pansus Century. Kali ini Ruhut, anggota Pansus Century dari partai Demokrat, kembali membuat berang anggota Pansus lain, akibat terlalu banyak ulah dan interupsi serta memanggil Jusuf Kalla dengan sebutan Daeng. Sebelumnya, Ruhut juga berbaku kata kasar dengan Gayus Lumbuun (PDIP). Sebelumnya lagi selalu mengumbar interupsi dan interupsi saat sidang Pansus tengah seru-serunya. Belum lagi pernyataan-pernyataan kontroversial lainnya, seperti pernyataannya tentang keterlibatan 2 mantan penteri dalam mendanai berbagai aksi demo.
Dalam jagad politik postmodern berbagai ulah Ruhut yang membuat banyak orang gemas dan geram tersebut, sesungguhnya adalah sebuah repudiasi (repudiation). Yakni, sebuah strategi penyangkalan terhadap lawan politik. Baik penyangkalan terhadap wacana, argumen, alibi atau langkah-langkah lawan politiknya. Akan tetapi sebuah penyangkalan yang berdiri di atas kondisi antara. Antara tata tertib dan kepentingan politik, antara kenyataan politik dan kuasa politik.
Ricuhnya berbagai rangkaian sidang Pansus akibat interupsi, kelakar dan umpatan Ruhut adalah representrasi dari politik repudiasi. Semua ini tentu berawal dari posisi antara yang dihadapi oleh Partai Demokrat dan Ruhut di dalam Pansus. Yakni, antara peran menjalankan fungsi sebagai anggota dewan sekaligus anggota Pansus dengan peran sebagai kader partai yang harus menjaga dan membela kepentingan SBY dan pemerintah sebagai representasi kuasa partai Demokrat.
Dalam kondisi antara itulah lahir politik repudiasi, lahir sebuah penyangkalan. Dan penyangkalan oleh Ruhut ia wujudkan dalam berbagai interupsi yang mengganggu anggota Pansus lain saat tengah mengorek keterangan dari saksi, seperti yang selalu ia lakukan saat Sri Mulyani dalam kondisi terpojok. Gugatan terhadap tata tertib, seperti saat berbaku umpatan dengan Gayus Lumbuun. Mengingatkan anggota Pansus lain agar jangan terlalu lama bertanya, hampir dalam setiap kesempatan sidang. Atau bahkan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada saksi yang tujuannya adalah menggiring pendapat, bahwa kebijakan pemberian dana talangan pada Bank Century adalah legal, seperti yang ia lakukan pada saat, Sri Mulyani dan beberapa Dewan Gubernur menjadi saksi. Atau dilain pihak akan menyerang dan menyudutkan saksi yang dianggap berseberangan dengan pemerintah atau SBY, seperti yang ia lakukan pada JK.
Repudiasi politik kian menemukan bentuknya manakala Ruhut relatif leluasa melakukan aksinya tersebut. Hal ini terbukti dengan belum adanya sedikitpun teguran apalagi sanksi, baik dari fraksi, partai atau SBY sekalipun. Atau bahkan pada saat bersamaan, repudiasi Ruhut ini bersambung dan sebangun dengan repudiasi yang dilakukan oleh anggota Pansus lain (utamanya dari Demokrat), yang setiap nada pertanyaannya juga selalu berusaha menggiring opini publik bahwa kebijakan built out Century adalah legal dan bahkan cerdas.
Repudiasi Ruhut dan Demokrat ini makin menemukan gayung sambut manakala pada saat bersamaan terlontar juga sinyal repudiasi dari istana. Pertama adanya isu reshufle kabinet setelah 100 hari. Dan kedua, seperti yang disampaikan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring, Presiden SBY merasa prihatin dengan kebanyakan anggota Pansus yang tidak memiliki etika sopan santun dalam melontarkan pertanyaan pada para saksi. Momentum penyangkalan dari istana inipun menemukan benang merahnya manakala, pada saat bersamaan beberapa partai koalisi mulai mengganti anggota Pansusnya yang dianggap terlalu kritis (baca:potensial).
Setidaknya 5 anggota Pansus telah dan akan diganti. Yakni, Marwan Ja'far dan Anna Mu'awanah yang terlihat sangat kritis dan bersemangat saat memeriksa Sri Mulyani, telah diganti oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa. Sementara Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) akan menarik Chandra Tirta Widjaya dan Catur Sapto Edi. Sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) akan mengganti Andi Rahmat yang selalu lugas dan tajam dihampir setiap sidang Pansus.
Ketika repudiasi politik bertarung di wilayah wacana publik (baca: media massa), konsekuensinya imaji publikpun akan terseret ke pentas repudiasi tersebut. Maka ketika repudiasi semakin memperlebar jarak kondisi antara, semakin tidak jelas antara yang benar dan yang salah, antara yang legal dan ilegal, antara yang kuat dan yang lemah, imaji khalayakpun menjadi chaos. Puncak dari imaji yang chaotic adalah seperti yang telah kita saksikan bersama, bentrok di kalangan akar rumput. Seperti kasus bentrok antara polisi dan mahasiswa yang menghujat Ruhut di Makasar. Atau berbagai demo di Senayan yang memprotes penggembosan Pansus melalui pergantian anggota oleh fraksinya.
Repudiasi hanya bergerak di wilayah popularitas dan bukan perenungan. Seperti populernya Sri Mulyani dan Ruhut Sitompul sekarang ini. Hanya bergerak di wilayah kepentingan dan bukan kemaslahatan. Seperti repudiasi SBY dalam berbagai pernyataannya. Repudiasi Sri Mulyani, Boediono, dan Dewan Gubernur dalam kesaksiannya. Repudiasi Ruhut dalam berbagai kegaduhannya dan repudiasi anggota Pansus dari Demokrat dengan berbagai pertanyaannya, sesungguhnya tidak menyentuh akar substansi masalah. Jika strategi repudiasi semacam ini masih saja berlanjut, maka yang terjadi justru delegitimasi terhadap Ruhut, Demokrat, Pemerintah dan SBY sendiri. Kita tunggu saja. (Jawa Pos, 18 januari 2010)

Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar