Rabu, 24 Maret 2010
Dinamika Survei Pilwali Surabaya
Radar Surabaya, 23 Maret 2010
Oleh Mochtar W Oetomo
Dinamika politik Kota Surabaya jelang pemilihan wali/wakil wali kota (pilwali) makin menarik saja. Beberapa nama potensial seperti Saleh Ismail Mukadar, Yulyani, Yusuf Husni, Dimam Abror dan Edy Gunawan Santosa terlempar dari bursa pencalonan. Sementara nama-nama baru yang sebelumnya nyaris tak terdengar seperti Mazlan Manyur dan Yulius Bustomi justru mendapatkan tiket untuk bertarung di Pilwali Surabaya 2 Juni 2010 nanti.
Seperti banyak dilansir media ada 6 pasangan calon telah mendaftar Pilwali Surabaya. Yakni, Arif Affandi-Adies Kadir (Demokrat,Golkar, PAN), Tri Rismaharini-Bambang DH (PDIP), BF Sutadi-Mazlan Mansyur (PKB-Gerindra), Fandi Utomo-Yulius Bustami (PPP, PKNU, PKS, PDS) dan dua calon pasangan independen Fitrajaya Purnama-Naen Soeryono dan Alisjahbana-Chrismanhadi.
Apa yang pantas mendapat catatan dari seluruh dinamika tersebut adalah bahwa hampir semua kandidat berusaha melegitimasikan dirinya, baik di hadapan publik maupun stakeholders lainnya, dengan klaim hasil survei. Arif Affandi sejak jauh hari selalu mengklaim sebagai calon paling potensial, karena berdasarkan survei memiliki elektabilitas (tingkat keterpilihan) di atas 30%. Bahkan Sekjen Partai Gokar Idrus Marham menyatakan dengan penuh optimisme, bahwa berdasar hasil survei CACAK akan memenangi Pilwali Surabaya dengan satu putaran saja.
Di sisi lain PDIP melalui Pramono Anung juga mengklaim, berdasar hasil survei pasangan RIDHO pasti menang dalam Pilwali Surabaya. Demikian juga dengan tim sukses FU YU dan DIMAS optimis jago-nya akan menang karena berdasar hasil survei elektabilitas jagonya terus mengalami peningkatan.
Rasionalisasi Politik
Fenomena tersebut tentu saja merupakan preseden baik dan gelagat politik yang patut diapresiasi. Penempatan hasil survei sebagai salah satu tools merupakan sinyalemen positif untuk kemajuan pelembagaan suatu partai politik dengan rasionalisasi politik.
Sebab, hal itu dapat diartikan bahwa partai politik dan para kandidat mulai serius menggunakan metode ilmiah untuk bertarung dalam pilwali. Pasalnya, partai politik memiliki kecenderungan yang bersifat oligarkis dalam proses pencalonan dalam sebuah pemilihan, di mana pengambilan keputusan partai politik hanya didominasi oleh elit, seperti yang terjadi selama ini.
Dalam proses pilkada sering kali terjadi hasil seleksi bakal calon yang berlangsung panjang dan demokratis di tingkat bawah belum tentu menjadi pertimbangan utama pengambilan keputusan. Tak jarang terdapat perbedaan antara aspirasi pengurus atau konstituen di tingkat bawah dan keputusan partai politik pada tingkatan di atasnya dalam menentukan calon yang akan diusung atau didukung. Akibatnya, tidak sedikit partai politik mengalami kekisruhan yang disebabkan oleh pengambilan keputusan mengenai calon yang akan didukung.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kiranya survei saat ini dianggap sebagai salah satu solusi untuk masalah pencalonan oleh sebuah partai politik. Salah satu alasannya yaitu dalam pilkada secara langsung, pemilih menjadi fokus utama perhatian yang suaranya harus direbut untuk dapat memperoleh kemenangan. Hasil survei juga dapat dipakai untuk menjadi sumber informasi dan landasan perumusan strategi pemenangan.
Sebagai salah satu instrumen ilmiah, survei dapat memberikan informasi kepada partai politik atau calon mengenai seberapa besar tingkat popularitas, akseptabiitas, elektabilitas bakal calon yang mereka usung, apa kelebihan dan kekurangan dari bakal calon, masalah-masalah di daerah pemilihan yang ingin dicarikan solusinya, dan program-program yang diinginkan oleh para pemilih.
Di samping validitasnya dapat dipercaya, survei juga dapat berfungsi sebagai pencegah kisruh yang dapat terjadi akibat ketidakpuasan pendukung pasangan calon. Caranya adalah dengan mengukuhkan payung hukum untuk survei seraya memberi penegasan dalam aturan itu bahwa setiap pendukung pasangan bakal calon yang akan dicalonkan oleh partai politik harus menerima apa pun hasil yang diperoleh dari survei.
Jadi Mitos
Survei memang tak semestinya menjadi mitos baru tentang sebuah kebenaran. Maka mencari pembanding dari hasil survei lembaga lain, bisa mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul. Sebagaimana para kandidat presiden pada pilpres 2009 lalu, yang rata-rata menyewa 2-3 lembaga survei demi mendapatkan tingkat akurasi yang lebih dipercaya.
Tidak kalah penting adalah, kesadaran tentang survei yang harus dimiliki oleh para kandidat walikota. Bahwa tujuan utama survei adalah untuk menangkap aspirasi publik. Karena dengan memahami aspirasi publik tersebutlah kandidat bisa merancang strategi pemenangan berdasarkan peta politik yang ditemukan oleh survei. Survei bukanlah sekedar alat untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP atau alat propaganda. Sebab kalau kesadaran ini yang masih mendominasi benak para kandidat, maka yang lahir pasti survei asal-asalan yang menghasilkan kericuhan. Survei adalah sebuah metodologi ilmiah untuk merasionalisasi perilaku politik agar keluar dari comensense dan klenik politik. Maka tidak seharusnya survei justru dijadikan klenik baru oleh para kandidat.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar