Minggu, 14 Maret 2010

Pilkada 2010 Mencemaskan



Surabaya Post,13 Maret 2010


Mochtar W Oetomo

Tahun 2010 ini Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan digelar di 246 daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ada 7 pemilihan gubernur, 204 pemilihan bupati, dan 35 pemilihan wali kota. Meski masih beberapa bulan ke depan, seperti kita saksikan bersama eforia pilkada sudah marak di jalan-jalan utama berbagai kota dan di media massa-media massa lokal. Namun begitu, beberapa bulan menjelang penyelenggaraan Pilkada, situasi di beberapa daerah masih cukup mencemaskan. Paling tidak masih ada 5 alasan, kenapa pilkada mencemaskan.

Pertama, soal anggaran. Sebagaimana banyak dilaporkan oleh media, sejauh ini persoalan yang banyak mengganggu penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah di Jatim ini adalah penyediaan anggaran dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat sebenarnya sudah merespons persoalan anggaran Pilkada itu, antara lain dengan penerbitan terbitnya peraturan dan sejumlah surat edaran Menteri Dalam Negeri yang isinya tentang dukungan Pilkada.

Namun , peraturan dan beberapa surat edaran menteri tersebut rupanya tidak bisa berjalan di semua daerah. Sejumlah kepala daerah dan DPRD setempat tidak sigap untuk menjadikan anggaran Pilkada sebagai skala prioritas yang harus dibahas. Sejumlah pemerintah daerah juga tidak mampu mengelola keseimbangan anggaran 2010 karena besaran anggaran Pilkada naik cukup signifikan.

Kenaikan anggaran Pilkada 2010 itu tak terelakkan karena struktur belanja Pilkada sekitar 60-70 persen untuk pembayaran honorarium penyelenggara, yang besarnya meningkat lima kali lipat dibandingkan pilkada pertama kali digelar pada tahun 2005. Selain soal pembahasan RAPBD 2010, perencanaan mengenai besaran anggaran Pilkada mungkin kurang akurat sehingga realisasi yang disetujui jauh lebih kecil dari yang dibutuhkan.

Panwas dan DPT
Kedua, adalah perseteruan pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Daerah (Panwasda). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah melantik sejumlah anggota Panwas Pilkada dari Panwas Pemilu 2009, termasuk di daerah yang sedang dan telah dilakukan seleksi oleh KPUD. Akibatnya, sejumlah KPUD tidak mengakui Panwas Pilkada bentukan Bawaslu. Para calon anggota Panwas pun menggugat Bawaslu. Kericuan ini jika tidak segera terselesaikan, bisa mengancam proses pengawasan tahapan pilkada yang berlangsung. Hingga berakibat pada berkelindannya masalah-masalah yang lain.

Ketiga, adalah soal pemutakhiran data pemilih untuk pelaksanaan Pilkada 2010. Selama ini, kekisruhan data pemilih sering menjadi sumber sengketa pemilihan umum, baik tingkat nasional maupun daerah. Kejadian pada saat Pemilihan Gubernur Jatim 2008 serta Pileg dan Pilpres 2009 adalah cermin nyata, betapa soal yang satu ini, menjadi ancaman yang paling mencemaskan penyelenggaraan Pilkada 2010. Konflik horisontal yang menjurus anarkhis bisa menjadi pemandangan yang mencekam, jika persoalan ini masih saja dianggap remeh. Kultur mengakui kekalahan dengan elegan masih menjadi barang yang langka di negeri ini. Soal daftar pemilih tetap (DPT), akan menjadi kambing hitam potensial bagi calon-calon yang kalah beserta pendukungnya.

Keempat, verifikasi data calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, terutama bagi calon independen menjadi masalah berikutnya karena dukungan anggaran dan personel yang kurang memadai. Kesiapan logistik pun menjadi persoalan karena anggaran yang tidak tersedia. Berbagai ketidaksiapan tersebut lazimnya disikapi oleh KPUD setempat dengan mengundurkan jadwal tahapan Pilkada. Kalau Pilkada tidak bisa terlaksana sesuai jadwal tahapan yang telah ditetapkan, tentu saja berimplikasi pada banyak persoalan.

Kartel Korupsi
Kelima, adalah fenomena kartelisasi dan korupsi. Seperti kita mafhum bersama, dalam berbagai pemberitaan di media partai politik memasang tarif tertentu bagi kandidat bupati/walikota yang ingin berangkat dari partainya. Maknanya, pilkada juga menyimpan potensi praktik KKN yang luar biasa. Fakta menunjukkan bahwa aparat Pemda, KPUD, LSM, Partai Politik perlu memahami dan perlu mensosialisasikan kepada masyarakat tentang isi dan makna pasal 56 sampai dengan pasal 119 Undang Undang No. 32 tahun 2004. Tapi, pertanyaan yang muncul di masyarakat adalah darimana calon walikota/bupati memperoleh dan mengumpul uang minmal Rp. 3-5 M untuk pilkada bupati/ walikota. Pasal 83 ayat 2 menjelaskan pasangan calon wajib membuka rekening khusus untuk dana kampanye dan didaftarkan ke KPUD.

Selanjutnya pasal 83 ayat 3 menjelaskan sumbangan dana kampanye dari perorangan dilarang melebihi Rp. 50 juta dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp. 350 juta. Untuk mengumpul uang Rp. 3-5 M harus mengumpul dari 60 sampai 100 orang dan dari badan hukum sebanyak 10 sampai 20 badan hokum. Para calon mencari sponsor dengan mengiming-iming memberikan proyek APBD setelah menang pilkada atau kerjasama proyek investasi swasta.

Pilkada adalah merupakan konsekwensi hukum undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dimana campur tangan Pemerintah Pusat sangat terbatas. Berlainan dengan partai-partai ternyata campur tangan pengurus partai pusat dan provinsi sangat besar yang berakibat harga kursi makin tinggi. Hal ini tidak diatur dalam pasal-pasal pemilihan kepala daerah, seharusnya partai partai politik juga harus menerapkan otonomi partai di Kabupaten/kota. Belum lagi kandidat harus menyediakan uang untuk berbagai program aksi pemenangan.

Harapan besar, agar para kandidat bupati/walikota bertanding visi misi, program/ proyek dan bukan bertanding uang agaknya masih jauh dari jangkauan. Banyak sudah kasus yang menimpa bupati dan walikota yang berbuat korupsi karena selama 5 tahun berusaha menutupi uang yang telah dikeluarkan selama proses pilkada berlangsung

Kerja keras
Fenomena figurasi dan kartelisasi Pilkada tersebut membawa konsekuensi bupati/walikota yang terpilih adalah mereka yang berduit walaupun kompetensinya diragukan. Sehingga seperti lazim kita temui dalam berbagai kontestasi kampanye, visi misi kandidat bupati/walikota kurang berkaitan dengan RPJP, RPJM dengan APBD tahunan.

Sejumlah fakta yang mencemaskan tersebut, hendaknya disikapi dengan serius oleh desk pilkada. Komunikasi politik yang intensif antar berbagai komponen harus terus dilakukan, karena waktu terus berkejaran. Berbagai persoalan yang ada tidak harus disembunyikan dan menjadi bom waktu di kemudian hari sebagaimana yang terjadi selama ini. Namun justru harus diselesaiakan dengan segenap kerja keras dan keterbukaan informasi dan komunikasi.

Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar