Minggu, 14 Maret 2010
Antara Boediono dan Sri Mulyani
Radar Surabaya,10 Maret 2010
Mochtar W Oetomo
Melalui 2 hari sidang yang penuh drama, paripurna DPR RI akhirnya memutuskan bahwa kebijakan bail out Bank Century adalah salah dan harus diteruskan ke proses hukum. Melalui voting yang menegangkan, sebanyak 325 anggota DPR memilih obsi kontra bail out dan hanya 212 anggota yang memilih pro bail out. Tak pelak hasil paripurna DPR ini melahirkan pertanyaan, bagaimana dengan nasib Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani setelah ini?
Jadilah kisah hidup Boediono dan Sri Mulyani layaknya plot sebuah telenovela. Penuh intrik, ketegangan (suspense), bahkan misteri. Uniknya, opini publik tampak terbelah dalam menyikapi nasib Boediono dan Sri Mulyani. Sama-sama dinyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab, sinisme publik pada Boediono jauh lebih terasa, dan sebaliknya simpati pada Sri Mulyani jauh lebih besar di banding pada Boediono. Bukan hanya dari berbagai aksi demo yang muncul akhir-akhir ini, keterbelahan opini publik ini juga nampak jelas di Facebook.
Hingga tulisan ini dibuat (Kamis, 4/3/2010) di group facebook bertajuk, “Kami Percaya Integritas Sri Mulani Indrawati !”, dukungan atau simpati publik pada Sri Mulyani telah mencapai 106.449. Sangat jauh dibanding dukungan publik pada Boediono yang tercermin melalui group “Kami Percaya Integritas Pak Boediono”, yakni hanya mencapai 2.975. Meski data tersebut hanyalah salah satu contoh kecil, namun keterbelahan sikap publik tersebut jelas juga bisa dibaca dalam konstalasi politik akhir-akhir ini. Boediono cenderung menjadi tokoh antagonis, dan sebaliknya Sri Mulyani menjadi tokoh protagonis.
Inilah barangkali potret dari fenomena “masyarakat telenovela” kita. Sebuah masyarakat yang memandang setiap peristiwa yang dilansir oleh media sebagai sebuah kisah telenovela. Dalam masyarakat yang demikian, setiap lakon politik di media dipahami sebagai sebuah “sinetron politik”. Sebuah informasi atau berita politik di media dengan demikian bukan lagi sekedar sekumpulan pesan dalam satu format dan konstruksi tertentu, tapi telah menjelma menjadi sebuah drama kemanusiaan. Membentuk lakon-lakon, melahirkan penokohan-penokahan, menyajikan setting dan plot-plot tertentu. Dalam konteks inilah, sebuah praktik politik bukan lagi hanya sekedar sebuah mekanisme yang mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output), melainkan telah menjadi kisah pertarungan manusia melawan kesusahan dan upaya manusia menaklukkan penderitaan.
Sri Mulyani-lah yang telah menjelma menjadi tokoh protagonis, yang tengah bertarung melawan kesusahan dan tengah berupaya menaklukkan penderitaan. Ketika Sri Mulyani dicecar habis-habisan oleh anggota Pansus Century, maka yang nampak dalam logika telenovela masyarakat kita adalah Cinderella atau Bawang Putih yang tengah teraniaya. Seorang perempuan yang charming, mengamit serangkum kembang dan memutar tasbeh tengah di keroyok oleh sekumpulan laki-laki garang yang memiliki otoritas dan kekuatan. Ketenangan dan kesigapan Sri Mulyani dalam menjawab setiap pertanyaan, bak karakter tokoh protagonis yang serba baik, dan menjadi pujaan penonton. Maka wajar dukungan publik pada Sri Mulyani jauh berlipat dibanding pada Boediono, yang “diam’nya selama ini, justru dibaca sebagai ketidakpedulian.
Masyarakat telenovela memahami sebuah penokohan semata-mata pada karakter oposisi biner, antara tokoh protagonis dan antagonis, antara si baik dan si jahat, antara si cantik dan si cerewet. Sebagaimana selalu kita saksikan dalam sinetron-sinetron di televisi kita. Maka ketika Sri Mulyani berhasil merebut penokohan itu, di mata penonton citra dirinya justru terus membumbung. Pernah munculnya pernyataan Sri Mulyani, bahwa ia merasa tertipu dengan data yang diberikan BI, kian mempertegas penokohan antara dirinya dan Boediono.
Penonton telenovela tidak mau capek-capek memahami setting politik apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua itu. Sebagaimana penonton tidak mau ambil pusing setting di balik semua kebijakan yang tentu saja atas tanggung jawab keduannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua KSSK. Bahkan juga telah menjadi hal yang tak penting lagi, kebijakan bail out yang mengunakan uang negara itu legal atau tidak berdasar setting ekonomi politik pada saat itu. Kini alur cerita tentang nasib Boediono dan Sri Mulyani kemudian jauh menjadi lebih menarik daripada aliran uang 6,7 triliun itu kemana saja.
Keterbelahan politik personifikasi antara Boediono dan Sri Mulyani tersebut semakin membelah opini publik tentang eksistensi paripurna DPR nantinya. Ditambah dengan lobi-lobi politik tingkat tinggi yang bahkan langsung dilakukan sendiri oleh SBY, membuat upaya untuk membuka tabir besar yang merugikan negara lebih dari 5 triliun itupun kian kabur dan terasa semakin berat. Maka, jika logika telenovela semacam ini masih mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, selamanya kita akan selalu tersesat setiap akan mengurai dan menyelesaikan persoalan besar yang membelit bangsa. Berpuluh pengalaman telah mengajarkannya.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar