KOMPAS, 24 Maret 2010
Mochtar W Oteomo
Di tengah gegap gempita pemberitaan tentang pilkada di berbagai wilayah di Jatim, perbincangan tentang rokok menyeruak dan menarik perhatian banyak pihak. Tambur perbincangan tentang rokok kali ini digulirkan oleh PP Muhamaadiyah. Melalui Surat nomor 6/SM/MTT/III/2010 tertanggal 8 Maret 2010 Majelis Tajrih dan Tadjdid PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok.
Dan fatwa kali ini nampak jauh lebih menggemparkan bukan hanya karena diumumkan secara terbuka melalui jumpa pers dan mendapat coverage besar dari media. Tapi juga karena fatwa haram tersebut juga mencakup aktivitas sosial-industri rokok. Maka tidak mengherankan jika fatwa ini bukan hanya menyulut pro-kontro soal praksis rokok, lebih jauh lagi adalah soal ekonomi politik rokok. Sesuatu yang jelas-jelas akan membawa dampak besar bagi Jatim yang berdasar catatan tahun 2008 saja memiliki 267 pabrik rokok (Kompas Jatim, 17/3/2010).
Dua Poros
Sebagaimana kita tahu, poros antirokok terus-menerus mengkampanyekan bahwa rokok dipandang dari sisi apapun lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat. Sebaliknya, poros pendukung rokok berkeyakinan secara faktual rokok lebih banyak mendatangkan kemaslahatan sehingga terlalu berlebihan jika praksis ekonomi politik rokok harus diakhiri. Kenyataan ekonomi faktual, segala proses produksi rokok dari hulu hingga hilir menyerap banyak tenaga kerja dan memberi sumbangan besar pada penerimaan penerimaan negara. Sebuah kenyataan faktual yang berpengaruh besar pada praksis politik, bukan hanya pada tataran politik kebijakan tapi hingga ke keterlibatan praktik politik.
Acapkali dibaikan, di antara dua poros yang bertikai ini sesungguhnya ada poros lain yang sangat berkait rapat dengan praksis rokok. Utamanya adalah para pekerja pabrik rokok dan petani tembakau. Maka wajar jika ada pertanyaan balik terhadap fatwa ekonomi-sosial industri rokok tersebut, yakni alternatif apa yang telah disiapkan untuk mereka? Siapa yang menyiapkan alternatif tersebut? Faktanya selama ini praksis ekonomi politik jauh lebih tergantung pada rokok dibanding praksis rokok yang tergantung pada praksis politik. Lebih nyinyir lagi, para pekerja pabrik rokok dan petani tembaku inilah yang menghidupi negara, bukan negara yang menghidupi mereka.
Dengan kampanye anti rokok yang tidak putus selama ini, rasanya kita semua bisa memahami bahwa dari sisi manapun merokok berbahaya bagi kesehatan dan generasi muda. Tapi di sisi lain juga ada pilihan antara kesehatan, pengangguran, kelaparan dan kemiskinan. Lebih dari 3 juta penduduk Jatim masih menjadi penganggur. Lebih dari 12 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara pada saat bersamaan jumlah tenaga kerja yang bisa terserap di satu pabrik rokok dengan lingkaran distribusi dan petani tembakau-nya bisa mencapai 300.000 orang. Ditambah, keluarga dan semua pihak yang bekerja di jalur distribusi, ada sekitar 6 juta penduduk Jatim yang menggantungkan hidupnya dari bisnis rokok (Kompas Jatim, 17/3/2010). Daftar panjang persoalan membentang luas jika praksis rokok berhenti. Menyelesaiakan sebuah persoalan dengan melahirkan dan menambah persoalan, jelas bukanlah sebuah penyelesaian.
Sisi lain yang harus diperhatikan dari fatwa ekonomi politis ini adalah bahwa cukai rokok dari Jatim menyumbang 73% atau sekitar 31,5 triliun terhadap penerimaan APBN yang berasal dari cukai rokok. Jika rokok dengan segala praksis industri-sosialnya dinyatakan haram, maka belanja negara yang berasal dari rokok juga haram. Masuk dalam daftar penerima dana haram adalah juga berbagai panti yang menerima dana bantuan perusahaan rokok. Belum lagi kegiatan olah raga nasional (baca: sepak bola dan bulu tangkis) yang selama ini bergulir praktis karena dibiayai rokok. Belum lagi nafas utama sebagain besar media massa adalah iklan produk rokok. Belum lai industri panggung hiburan yang amat tergantung pada sponsor rokok.
Sampai alenia di atas, barangkali poros pendukung rokok tersenyum manggut-manggut. Jangan salah kira, bahwa di balik seluruh sisi positif tersebut sisi negatif rokok tetaplah jauh lebih besar. Banyak kajian, argumen dan penelitian yang membuktikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membiayai dampak rokok jauh lebih besar dari dana yang dihasilkan oleh rokok. Penyakit kangker, jantung,TBC, paru-paru, saluran pernapasan dan berbagai penyakit akibat rokok memerlukan dana yang berkali lipat dibanding dana yang mengalir dari bisnis rokok ke kantong pekerja, masyarakat, dan negara.
Statistik kematian akibat rokokpun terus meningkat. Banyak analisis ilmiah membuktikan bagi sebagian besar anak muda rokok telah menjelma menjadi one step to drug. Bahwa kecanduan merokok adalah awal dari kecanduan ke barang adiktif yang lain semacam narkoba. Maka jangan heran jika kini rokok telah menjadi public enemy (musuh bersama) masyarakat dunia. Hingga tidak heran juga jika banyak funding luar negeri macam The Union (Paris) dan The Global Fund rela mengeluarkan banyak dana untuk mendukung Muhammadiyah dalam kampanye antirokok.
Politik Rokok
Dalam konteks oposisi biner yang demikian sikap bijak dan tegas pemerintah amat diperlukan dan dinantikan. Karena dengan sikap yang serba gamang seperti selama ini, Indonesia cenderung menjadi objek atau korban politik rokok internasional. Di tengah segala problem kemiskinan wajar saja rokok terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perusahaan rokok trans nasional menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk. Setelah Philips Morris mengakuisisi HM Sampoerna, ada sejumlah pemain global mengincar perusahaan rokok di Indonesia. Mereka membeli pabrik yang sudah ada, untuk mendekatkan produksi dengan pasar yang besar.
Maka harus segera ada perencanaan yang matang dan strategik untuk menuju mimpi bebas rokok. Alih fungsi lahan tembakau yang di Jatim mencapai 110.000 hektar, menjadi lahan produktif lainnya adalah skedul awal yang harus diperhatikan. Selanjutnya adalah perencanaan alternatif terhadap para pekerja pabrik dan lingkup distribusi rokok, jika pabrik rokok harus dihentikan operasionalnya. Lantas alternatif penerimaan negara sebagai pengganti cukai rokok.
Perencanaan-perencanaan yang transparan dan strategik tersebut bukan hanya akan memberi kepastian bagi para petani dan pemilik lahan tembakau, tapi juga para pekerja pabrik rokok dan pengusaha rokok untuk menyesuaikan diri atau mencari alternatif lain. Menolak rokok dan dana dari bisnis rokok membutuhkan energi dan sekaligus pengorbanan yang luar biasa. Susah memang. Sebagaimana susahnya seorang perokok ketika harus berhenti merokok.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Universitas Trunojoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar