Minggu, 04 April 2010

Gayus Tambunan dan Susno Duadji


Radar Surabaya, 5 April 2010

Oleh: Mochtar W Oetomo


Pengakuan Gayus Tambunan bahwa ia tidak bekerja sendirian, namun di bantu oleh dua jenderal Polri seakan membenarkan seluruh sinyalemen mantan Kabareskrim Susno Duadji. Laporan Susno ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bahwa di tubuh Polri ada makelar kasus perpajakan kini jelas terpampang di depan mata. Bahkan karena laporan Susno tersebutlah kini terendus kuat adanya jaringan makelar kasus perpajakan yang melibatkan oknum-oknum dari lintas institusi. Mulai oknum di Ditjen Pajak, di Polri, lingkaran Jaksa hingga lingkaran Hakim.

Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak golongan III-A memang menjadi pelakon utama seluruh geger wacana makelar kasus perpajakan yang menghiasi media massa dalam minggu-minggu terakhir. Namun penabuh gong yang membuat sang pelakon utama keluar panggung tak lain dan tak bukan adalah Susno Duadji. Sebagaimana kita tahu, sepak terjang Susno Duadji beberapa bulan terakhir ini memang menghebohkan dan selalu membuat intitusi Polri kebakaran jenggot. Sepak terjang Susno dimulai dengan kasus Cicak vs Buaya yang membuatnya kehilangan jabatan Kabareskrim dan mendapat caci maki publik.

Susno mulai membalik arus opini publik ketika perlahan tapi pasti mulai membongkar borok-borok yang ada di dalam institusi Polri. Dimulai saat memberi kesaksian di persidangan Antasari Azhar, testimoni saat bersaksi di depan Pansus Century, peluncuran buku yang penuh dengan testimoni Susno soal kebobrokan di tubuh Polri. Hingga yang paling mutakhir adalah soal makelar kasus perpajakan ini.
Wajar saja jika ada sinisme terhadap segala sepak terjang Susno. Wajar pula jika ada yang beranggapan, Susno sedang melampiaskan dendam karena telah diperlakukan tidak sebagaimana mestinya oleh isntitusi dan koleganya. Lebih wajar lagi jika ada yang beranggapan bahwa Susno sedang berupaya memulihkan citranya setelah hancur lebur dalam kasus Cicak vs Buaya.

Meski begitu dugaan bahwa sejumlah oknum petinggi Polri terlibat mafia kasus penggelapan pajak sebagaimana keterangan Gayus tetaplah sebuah titik pijak yang penting untuk segera ditindaklanjuti. Bukankah dalam kenyataan faktual amat mudah bagi kita menjumpai perilaku tak terpuji dilakukan oleh oknum korps baju coklat ini. Bukan hanya sekedar makelar kasus yang berseliweran dalam setiap domain persoalan. Tapi juga berbagai penyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi, pelanggaran HAM, pemerasan dan seabrek tindakan tak pantas lainnya yang semestinya tak boleh dilakukan oleh institusi pengayom dan pelindung masyarakat.

Sebagaimana banyak dilansir oleh media, dalam berbagai kesempatan, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan, di era reformasi seperti sekarang tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi berbagai permasalahan yang ada di tubuh Polri. Sudah semestinya laporan Susno dan pengakuan Gayus yang menunjukkan adanya perwira tinggi Polri terlibat praktik penggelapan barang bukti uang sekitar Rp 25 miliar, harus dimaknai sebagai momentum untuk melakukan pembersihan dalam tubuh Polri. Reformasi kultural korps baju coklat agaknya memang hanya mungkin terjadi jika dimulai atau dilakukan dari dalam.

Jika Polri mampu menangani kasus ini dengan gentleman dan terbuka, maka seperti Susno Polri pun justru akan bisa membalik opini publik dari sinisme menjadi apresiasi. Momentum ini kini bukan lagi hanya menjadi miliki Susno dan publik, tapi juga menjadi milik Polri sendiri untuk bangkit dari segala keterpurukan. Asal jangan membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Kasus ini harus ditangani personel penyidik dan penyelidik yang bersih dan netral. Bukankah Susno sampai melapor ke Satgas mafia Hukum karena laporannya ke jajaran Polri selama ini tak pernah ditanggapi?

Sementara di sisi lain juga harus dipahami bahwa fenomena Susno Sepak terjang adalah cermin betapa banyaknya faksi di tubuh Polri. Tidak salah kiranya jika ada pendapat, banyaknya faksi di tubuh Polri sebanyak jumlah anggota Polri itu sendiri. Faksionalisme terjadi karena persoalan uang dan kepentingan. Biasanya, yang menyanyi adalah mereka yang tidak kebagian atau mereka yang masuk barisan sakit hati.

Kalaupun di balik nyanyian sumbang Susno ada bersitan sakit hati, itu manusiawi sekali. Tapi bukan di sana esensi permasalahnnya. Dalam posisi Susno yang sekarang, ada banyak manfaat yang bisa dipetik. Paling tidak publik secara tidak langsung, mendapatkan tambahan gambaran tentang bagaimana sesungguhnya perilaku oknum-oknum polisi dalam menangani masalah.

Dengan segala pemahamannya tentang situasi internal Polri Susno bisa menjadi acuan bahkan partner bagi banyak pihak untuk menuntaskan reformasi dalam tubuh Polri. Ya, paling tidak Susno telah memberi energi baru dan telah menyediakan sebuah momentum untuk menjadikan institusi Polri berjalan dengan lebih baik. Tinggal bagaimana kita memaknai dan menindaklanjuti momentum itu. Kita tunggu saja, episode sepak terjang Susno Duadji selanjutnya, maka kita akan segera mendapat jawab siapa yang sesungguhnya pecundang. Gayus Tambunan, Susno Duadji atau.....siapa lagi...?!!

Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar