Selasa, 06 April 2010
Jupe dan Syahwat Politik
Harian SURYA, 6 April 2010
Oleh Mochtar W Oetomo
Di tengah hiruk pikuk pemberitaan mafia kasus di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, kepolisian dan Kejaksaan Agung yang membikin kepala pening, ada juga berita lain yang menggelikan. Yakni, munculnya berita tentang Julia Perez (akrab disapa Jupe) yang disiapkan sejumlah partai menjadi calon Wakil Bupati Pacitan. Menggelikan, coba bayangkan, Jupe yang biasanya kita lihat selalu berpenanpilan seksi dengan baju belahan dada rendah tiba-tiba harus memakai pakaian dinas resmi seorang wakil bupati dengan segala asesoris kepangkatannya. Coba juga bayangkan, seorang wakil bupati menjadi bintang iklan kondom.
Sebenarnya manusiawi saja setiap orang punya syahwat politik. Karena yang namanya syahwat politik tentu bukan hanya milik para politisi dan birokrat, seorang artispun tentu juga memilikinya. Dari sisi hukum pun pencalonan Jupe tidak ada masalah karena hak semua warga negara diberi kedudukan yang sama. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah warga Pacitan akan memilih Jupe sebagai pemimpinnya?
Pertanyaan tersebut bukan bermakna untuk memandang sebelah mata terhadap Jupe dalam statusnya sebagai warga negara. Tetapi apakah Jupe memang memenuhi unsur-unsur sebagai seseorang yang pantas dicalonkan menjadi pimpinan sebuah pemerintahan kabupaten? Apakah memang benar untuk memilih seorang calon pemimpin di Kabupaten Pacitan, warga Pacitan sudah kehabisan dan tidak punya pilihan lain. Sekali lagi tidak ada yang salah menjadikan Jupe sebagai salah satu calon pemimpin, tapi siapakah yang akan percaya bahwa ini serius dan bukan main-mainan partai politik ketika kehabisan alternatif dan daya juang.
Koalisi Partai Hanura, Gerindra, PBB, Partai Patriot, PDP, PKPB, dan PKPI (sebelumnya PAN sempat ikut) yang berwacana untuk mengusung Jupe tentu saja hanya berfikir soal kepopuleran Jupe sebagai entry point untuk memenangi pertarungan perebutan posisi kepala daerah di tingkat Kabupaten Pacitan. Padahal untuk memenangi sebuah kompetisi pemilihan kepala daerah langsung, popularitas saja tidak cukup. Dalam risalah politik, selain popularitas, juga diperlukan akseptabilitas (tingkat penerimaan). Tanpa akseptabilitas yang baik, tidak mungkin akan melahirkan elektabilitas (tingkat keterpilihan) yang baiik.
Belum lagi kalau soalan-soalan seperti track record, kredibilitas, kapabilitas serta visi diturut sertakan. Tentu koalisi banyak partai tersebut akan berhitung ulang untuk mencalonkan Jupe. Memang sudah ada bukti beberapa artis yang sukses dalam kompetisi pilkada. Rano Karno (wakil bupati Tangerang), Dede Yusuf (wakil gubernur Jabar), Dicky Candra (wakil bupati Garut) adalah beberapa contoh keampuhan seorang artis sebagai pengumpul suara. Namun harus diingat bahwa kemenangan mereka bukan semata-mata karena keartisannya, tapi juga karena sikap, perilaku, pergaulan politik dan tentu saja kualitasnya yang dipandang memadai.
Tidak sedikit artis yang secara intelektual dan pemikirannya bisa diterima. Nurul Arifin yang kini menjadi anggota DPR dari Partai Golkar, Rieke Dyah Pitaloka dari PDIP, Angelina Sondakh dari Partai Demokrat.Mereka memungkinkan untuk menjadi pemimpin karena juga memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan memiliki pengalaman politik yang cukup baik. Untuk Jupe, kita tidak bisa membandingkannya dengan mereka karena penampilannya belum didukung dengan pengalaman, kredibilitas, serta kapabilitas.
Benar Jupe mempunyai daya tarik dari perspektif entertainment. Dan kepopulerannya lebih banyak dikarenakan eksploitasi tubuh. Saat bernyanyi, saat dia tampil dalam talk show di televisi, jadi model iklan, semua semata-mata mengandalkan tubuh. Dengan bibir basah setengah terbuka, kerlingan mata sensual dan belahan dada rendah yang menampakkan sebagian payudaranya. Personal branding semacam ini memang membuatnya cepat populer, tapi sekaligus juga banyak dikecam, terutama jika dikaitkan dengan moralitas.
Apa yang dibutuhkan untuk sebuah daerah seperti Pacitan adalah konsep membangun daerah, bukan konsep bagaimana seseorang itu tiba-tiba menjadi terkenal. Apa pun alasannya, cara berpikir banyak parpol untuk memilih seorang pemimpin ada baiknya dikoreksi.Tidak bisa terus-menerus membiarkan atas nama kebebasan, hak asasi, kemudian kita menutup mata tanpa mengembangkan pemikiran yang komprehensif sehingga pilihan kita di kemudian hari ternyata salah. Bedakan antara perpektif politik dengan syahwat politik. Sampai saat ini, memang yang masih melekat kuat dalam kultur kita adalah cara berpikir jalan pintas yang menyediakan lahan subur bagi tuumbuhkembangnya syahwat politik yang miskin nalar.
Individu, kelompok ataupun sebuah institusi masih terlalu kuat melestarikan budaya berpikir jalan pintas. Yang sangat menonjol adalah, untuk bisa sukses, untuk bisa menang, dan untuk bisa terkenal, jalan yang dipilih adalah jalan pintas. Padahal, sadar atau tidak,pola berpikir jalan pintas ini telah merusak rasionalitas, sistem, dan karakter bangsa. Salah satu dampaknya adalah kita akan menjadi bahan tertawaan orang ataupun tertawaan bangsa lain karena bangsa ini dinilai sebagai bangsa yang tidak wajar.
Seperti kata Toto Suparto, pemimpin itu mempunyai tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Secara harfiah, moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Bermoral diartikan mempunyai pertimbangan baik-buruk atau berakhlak baik. Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianati dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman hidup. Dasar kemanusiaan harus menjadi pedoman hidup dan pegangan perjuangan untuk mencapai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, kemerdekaan, dan persaudaraaan di atas dunia fana ini.
Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISIB) Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar