Rabu, 14 April 2010
Menyoal Isu Putra Daerah dalam Pilkada
Sinar Harapan, 14 April 2010
Oleh Mochtar W Oetomo
Seperti kita tahu tahun ini 244 daerah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sengitnya kompetisi pilkada langsung, membawa implikasi pada sengitnya perebutan isu lokal untuk mengukuhkan positioning di benak khalayak. Sayangnya kebanyakan kandidat kehabisan kreatifitas isu lokal yang mendorong lahirnya personifikasi isu lokal. Apa yang akhir-akhir ini marak di berbagai daerah, adalah munculnya isu “putra daerah” sebagai strategi branding image.
.“ Saatnya Putra Daerah Memimpin”, “Putra Daerah: Asli Lho..!”, “Putra Daerah Yes, Pendatang No”, begitulah sedikit dari sekian banyak jargon-jargon kandidat pilkada yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Di tengah upaya penumbuhkembangan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan keterbukaan seperti sekarang ini, isu-isu yang menggiring pada lokalitas dan etnisitas seperti di atas terlihat nyinyir dan jadul.
Dalam konteks isu putra daerah, apa yang pantas dipertanyakan adalah apa sesungguhnya definisi putra daerah? Dan benarkah putra daerah berkait langsung dengan kontekstualisasi pembangunan di daerah, berhubungan dengan kesejahteraan rakyat daerah dan berkorelasi dengan tepat dan jitunya desain progres daerah? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang mesti mendapat jawaban yang objektif dan logis.
Kategori Putra Daerah
Paling tidak putra daerah bisa kita kategorisasikan dalam beberapa level. Pertama, adalah putra daerah geografis-biologis, yakni kandidat yang dilahirkan di daerah tersebut. Baik dengan orang tua yang asli daerah tersebut ataupun dengan orang tua dari luar daerah.
Kedua, adalah putra daerah ekonomis-pragmatis, yakni kandidat yang berasal dan lahir dari daerah lain, tapi karena kepentingan tertentu (baca: pekerjaan, ekonomi) ia berlalu lalang atau bahkan bertempat tinggal di daerah tersebut. Ia memiliki jejaring politik dan/atau ekonomi dengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik lokal. Dan dengan jejaring tersebutlah, ia membangun konstelasi bisnis dan politiknya, termasuk menuju medan kontestasi pilkada.
Ketiga, adalah putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat.
Dalam konteks kategorisasi tersebutlah isu putra daerah menjadi terasa nyinyir dan jadul. Oposisi biner antara putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan dunia kehidupan sosial. Isu putra daerah yang dimaknai secara sempit akan menumbuhkembangkan kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang personifikasi dari latar belakang kesukuannya, sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya sendiri secara sempit dan manipulatif.
Primordialisme
Bangkitnya primordialisme akan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya yang pada gilirannya bisa melahirkan tribalisme. Perang antar etnik atau antar suku yang sudah banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Isu putra daerah merupakan bentuk perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai kesetaraan dan pluralisme, serta proses integrasi sosial. Lebih dari itu adalah pencederaan terhadap substansi nilai demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati maupun walikota. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.
Memang, menjelang pilkada tahun 2010 ini, suhu politik di berbagai wilayah di Indonesia meningkat sejalan dengan semakin banyaknya bakal calon gubernur, bupati dan walikota melakukan konsolidasi dan merebut simpati masyarakat dengan berbagai tehinik propaganda dan marketing politik. Dinamika tersebut bisa dimaknai sebagai kontestasi pendidikan politik bagi rakyat. Dengan pilkada langsung diharapkan rakyat bisa menentukan pilihan yang tepat, yakni seorang kepala daerah yang kompeten dan berintegritas untuk membangun dan memajukan daerah.
Propaganda
Jargon-jargon putra daerah dan primordialisme lainnya, memang hanyalah salah satu bentuk propaganda komunikasi politik. Banyak kandidat yang sebelumnya tak pernah berbuat apapun untuk kemajuan daerahnya tiba-tiba menampilkan dirinya dengan penuh kebanggaan sebagai asli putra daerah. Dan itu absah saja dalam sebuah kompetisi politik semacam pilkada. Namun begitu propaganda politik yang bersifat primordial dan narsis akan menciptakan relasi komunikasi yang tidak fair antar kandidat wali kota/bupati. Bahkan dalam konteks tertentu hal tersebut bisa dikatakan sebagai kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Bahayanya adalah jika pola komunikasi yang diwarnai kekerasan semiotik ini ditelan mentah-menatah oleh khalayak, maka kekerasan dan anarkhisme horisontal sangat mungkin terjadi.
Menjadi seorang pemimpin daerah bukanlah sekadar tampil di puncak kekuasaan lalu beretorika dengan pidato yang memukau dengan penampilan yang elegan. Juga tidak dibutuhkan silat lidah dalam suatu tehnik propaganda. Rakyat memiliki hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya, siapapun itu dan dari manapun asalnya, asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rakyat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan layanan berkualitas, yakni suatu layanan berupa gerak pembangunan yang sejalan dengan aspirasi rakyat, konstitusi dan tujuan nasional bangsa. Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para bakal calon bupati dan walikota berdasar atas sejauh mana integritas, kompetensi, kapabilitas dan akseptabilitasnya. Bukan atas dasar ragam propaganda dan retorikannya, apalagi ragam propaganda dan retorika yang nyinyir dan jadul seperti isu putra daerah. Kandidat memang boleh bicara apa saja, tapi rakyatlah pemilihnya.
Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar