Rabu, 14 April 2010

Mission Impossible KID Jatim…!



Jawa Pos, 13 April 2010
Oleh Mochtar W Oetomo


Hari-hari terakhir ini seleksi pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) Jatim memasuki babak penentuan. Komisi A DPRD Jatim segera melakukan fit and proper test, untuk memilih 5 anggota KID Jatim dari 15 calon yang telah lolos seleksi administratif, tulis dan psikologi. Sebagaimana kita tahu, pembentukan KID Jatim mesti rampung pada bulan April ini sebagai konsekuensi akan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mulai 30 April 2010 ini.

Dengan segera terbentuknya KID Jatim dan segera berlakunya UU KIP, maka mau tidak mau atau suka tidak suka Jatim akan segera memasuki era baru keterbukaan informasi publik. Sebuah era yang memberikan harapan dan impian indah tentang makin kukuhnya demokratisasi, namun di lain pihak tentu akan menjadi era yang merepotkan (baca:mengerikan) bagi pihak-pihak yang sepanjang hidupnya tak terbiasa dengan keterbukaan dan berbagi informasi.

Teroboson
Dalam konteks pelaksanaan good governance pembentukan KID Jatim dan pemberlakuan UU KIP adalah sebuah terobosan politik kewarganegaraan yang patut mendapat perhatian, paling tidak untuk beberapa alasan.

Pertama, UU KIP memberi jaminan terbukanya akses informasi bagi masyarakat terhadap badan publik yang mendapat alokasi dana dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), bantuan luar negeri, dan dari himpunan dana masyarakat. UU KIP mewajibkan badan publik untuk memberi dan membuka akses informasi kepada masyarakat dengan pengecualian yang terbatas. Tidak ada alasan bagi badan publik untuk tidak melayani permintaan informasi yang menjadi milik publik. Sanksi pidana menanti, jika badan publik tidak menjalankan amanat UU KIP.

Kedua, keberadaan UU KIP ini semakin meneguhkan bahwa akses publik terhadap informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui juga oleh UUD 1945 Pasal 28 F. Hadirnya UU KIP akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik serta pengawasan atas pelaksanaan roda pemerintahan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi (pemprov), pemerintah kota (pemkot) maupun pemerintah kabupaten (pemkab). Terbukanya akses publik terhadap informasi bertujuan memotivasi badan publik bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan yang sebaik-baiknya.

Ketiga, dengan UU KIP upaya mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan transparan dapat dipercepat. Langkah itu merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance), dan partisipatoris dalam seluruh proses pengelolaan kenegaraan, termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya publik sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.

Ringkasnya, hadirnya UU KIP memang sudah menjadi keharusan di tengah derasnya arus tuntutan transparansi di segala bidang. Lewat asupan informasi yang baik dan mudah diakses, masyarakat bisa memberikan kontribusi dan partisipasinya dalam setiap kebijakan publik sehingga interaksi dan kerja sama antarkeduanya bisa terjalin baik. Sebaliknya, tanpa informasi, publik akan kesulitan untuk berpartisipasi, memberi saran, dan melontarkan kritik terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan badan publik. Jika hal itu terjadi, cita-cita mewujudkan prinsip-prinsip good governance tentunya akan sulit tercapai.

Tantangan Berat
Dalam konteks inilah di atas penulis menyebutkan bahwa pemberlakuaan UU KIP adalah sebuah harapan dan impian yang indah bagi publik secara umum. Namun di sisi lain tentu akan melahirkan kerepotan tersendiri bagi badan-badan publik yang selama ini tidak terbiasa berbagi informasi dengan segenap keterbukaan. Karena telah menjadi rahasia umum, bahwa dengan segala macam ketertutupan tersebutlah oknum-oknum yang ada dalam berbagai badan publik bisa mengambil keuntungan pribadi.

Sebagaimana kita alami bersama berbagai model pelayanan badan publik selama ini seperti menjadi sebuah misteri bagi publik, tanpa acuan dan ukuran yang jelas yang ujung-ujungnya perlu uang pelicin untuk memudahkan urusan. Pelayanan pembuatan KTP, SIM, berbagai usaha, pembayaran pajak, pembuatan akta tanah, pemasangan listrik adalah sedikit dari sekian banyak model pelayanan badan publik yang selalu mendapat keluhan masyarakat, namun tak pernah berubah dari waktu ke waktu. Kitapun mafhum bersama bahwa dalam berbagai praktik pelayanan publik sampai muncul satire yang sesungguhnya cermin kemangkelan masyarakat terhadap badan publik, “Kalau bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah...?!”

Dalam perspektif yang demikianlah terbentuknya KID Jatim perlu dan layak untuk mendapatkan dukungan dan apresiasi. KID inilah yang nantinya akan mengawal pelaksanaan UU KIP di Jatim. Mendorong badan-badan publik daerah untuk sigap mempersiapkan diri. Sekaligus mengawasi badan-badan publik tersebut untuk memenuhi kewajibannya menyediakan akses informasi bagi publik sesuai amanat UU. Di samping itu keberadaan KID juga untuk menampung, memfasilitasi dan menindaklanjuti berbagai keluhan dan aduan masyarakat yang berhubungan dengan akses informasi publik. Dan dalam konteks-konteks tertentu harus memediasi konflik yang mungkin terjadi antara masyarakat dengan badan publik.

Bagi KID Jatim ke depan, mencover semua tugas dan persoalan di atas di seluruh wilayah Jatim tentu menjadi misi yang sangat berat, sebuah mission impossible. Oleh karenanya UU KIP pun mengamanatkan, jika di pandang perlu sebuah kapubaten/kota bisa juga membentuk KID di masing-masing wilayahnya. Hal yang pantas untuk didorong pelaksanaannya, demi akselerasi pelaksanaan UU KIP dan demi terbangunnya kultur keterbukaan informasi publik di semua wilayah. Akhirnya, selamat datang KID Jatim...! Selamat menghadapai dan menuanaikan mission impossible....! Tugas maha berat nan mulia menanti di depan mata.


Mochtar W Oetomo
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar