Oleh MOCHTAR W. OETOMO*
Jawa Pos, 23 Oktober 2010
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, walaupun di Indonesia berkembang iklim demokrasi, pelaksanaannya diharapkan tetap menggunakan etika dan tata krama sehingga berkembang demokrasi yang sehat. ’’Saya dukung dan cintai kebebasan HAM dan demokrasi. Tapi, satu hal, demokrasi itu berakhlak, taat pranata. Demokrasi tentu yang kita kehendaki bukan menjadi lautan fitnah,’’ kata SBY saat berbicara kepada radio swasta di Jakarta, Rabu (20/10/2010), menjawab pertanyaan mengenai rencana demonstrasi menyambut setahun pemerintahannya.
Tentu, kita masih ingat beberapa bulan yang lampau, SBY pernah melontarkan kegeramannya kepada para demonstran karena merasa dirinya dianalogikan sebagai seekor kerbau yang badannya besar, malas, dan bodoh dalam memimpin negeri ini. SBY juga prihatin karena dalam berbagai demonstrasi dirinya diteriaki ’’maling’’ dan fotonya dirobek-robek bahkan dibakar.
Demikianlah pola komunikasi politik SBY dari waktu ke waktu, cenderung reaksioner dan melankolis dalam menanggapi setiap kritik serta artikulasi poli tik yang ditujukan kepada dirinya.
Bahkan, dalam kasus ini, itu dilakukan ketika demonstrasi belum digelar. Dalam menanggapi setiap artikulasi politik dan persoalan yang berhubungan dengan kebijakannya selaku presiden, SBY cenderung lambat, berhati-hati, dan abu-abu.
Misalnya, dalam persoalan kinerja kabinet, lumpur Lapindo, cecak versus buaya, Bank Century, dan masih banyak lagi. Tapi, setiap menanggapi kritik yang berhubungan dengan dirinya, SBY menjadi sangat reaksioner, emosional, dan diulang-ulang.
Putri Salju
Dalam terminologi psikologi politik, sikap semacam ini sering disebut sindrom putri salju (snow white syndrome). Dalam kisah putri salju, ibu tiri putri salju selalu bertanya pada cermin, ’’Siapakah wanita tercantik di dunia ini?’’
Cermin pun selalu menjawab, ’’Tentu saja Paduka!’’ Setiap hari si ibu tiri menanyakan hal yang sama dan jawaban cermin tak pernah berubah. Hingga putri salju menginjak dewasa dan tumbuh menjadi gadis jelita, sang cermin memberikan jawaban yang membuat si ibu tiri geram bukan kepalang, ’’Paduka memang cantik luar biasa. Tapi, bagaimanapun lebih cantik Putri Salju!’’ Berbagai upaya pun dilakukan si ibu tiri untuk mendelegitimasi kecantikan putri salju dan bahkan berusaha membunuhnya.
Sebagaimana si ibu tiri tersebut, SBY adalah sosok yang selalu berusaha keras menjaga citra dirinya. Selalu berusaha tampil sempurna, tertata, santun, dan perfect. Dalam konteks psi kologis semacam ini, segala macam kritik dipandang sebagai palu yang bisa meluluhlantakkan ’’kecantikannya’’ .
Karena itu, dia menjadi sangat reaksioner. Tuduhan SBY terhadap berbagai lawan politiknya dalam kasus upaya penggulingan dan sindirannya terhadap berbagai demo sebagai demo bayaran dan ditunggangi sesungguhnya merupakan upaya si ibu tiri untuk mendelegitimasi kecantikan putri salju dan meneguhkan kecantikannya.
Keluh kesah putri salju kepada para kurcaci (dwarve) adalah keluh kesah SBY kepada publik bahwa dirinya difitnah, dirongrong, hendak digulingkan, bahkan akan dibunuh. Sebuah keluh kesah demi mendapatkan simpati dan dukungan publik. Seperti dukungan para peri dan kur caci kepada putri salju. Karena itu, stigma ’’nenek sihir’’ yang dialamatkan pada si ibu tiri oleh
para kurcaci layaknya stigma ’’kerbau’’ yang dialamatkan para demonstran skandal Bank Century kepada SBY.
Pencitraan ala putri salju memang telah berhasil mengangkat citra diri SBY pada 2004 hingga membuat dirinya terpilih menjadi presiden dan mempertahankannya lagi pada 2009. Namun, barangkali SBY lupa bahwa citra diri putri salju hanya mungkin melekat
pa da sosok yang lemah dan terpinggirkan. Bukan sosok yang tengah berada di puncak kekuasaan dengan segala kekuatannya seperti SBY sekarang.
Sebab, kebalikannyalah yang seharusnya terjadi. Presiden adalah tempat mengadu bagi rakyatnya. Tempat untuk mendapatkan pembelaan dari orang-orang yang terpinggirkan dan teraniaya.
Karena itu, wajar jika kemudian banyak yang geram dan kecewa atas gaya kepemimpinan dan komunikasi politik SBY yang melankolis, cengeng, serta debatable.
Sang Pangeran
Jika memang harus belajar dari kisah putri salju, SBY selayaknya menutup buku si ibu tiri dan putri salju, lantas mulai membuka buku sang pangeran.
Rela meninggalkan segala kemuliaan, kemewahan, dan citra dirinya sebagai seorang pangeran demi mendapatkan cinta sejati. Cinta sejati seorang pemimpin adalah rakyatnya. Seperti Nabi Muhammad SAW yang hingga menjelang ajalnya terus menyebut umati (umatku), umati, dan umati. Ya, cinta sejati seorang pemimpin adalah kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya.
Untuk cinta sejatinya tersebut, sang pangeran menempuh segala risiko, menghadapi para penyihir dan si ibu tiri. Sang pangeran benar-benar bertindak, bahkan turun sendiri ke medan juang, tidak sekadar berkata-kata dan beretorika.
Seperti sang pangeran, seorang pemimpin selayaknya tidak gerah dengan segala kritik. Bahkan, tidak perlu takut kematian
hingga harus mengadu kepada rakyatnya.
Seperti ciuman sang pangeran yang menghidupkan kembali putri salju. Sebab, di balik ciuman itu ada energi cinta sejati.
Karena itu, pada seorang pemimpin yang sudah menemukan cinta sejatinya, setiap kata-katanya akan menjadi madu bagi rakyatnya yang bisa menguatkan, menyegarkan, menyehatkan, dan menyembuhkan segala derita. Seorang pemimpin sejati adalah yang bisa mem
bangkitkan rakyatnya dari kematian.
Kematian semangat kreativitas, kematian etika, kematian moral, kematian pengetahuan, dan kematian peradaban. (*)
*) Mochtar W. Oetomo, pengajar FISIP Unijoyo Madura
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar