Kamis, 13 Desember 2012

Gejala Budaya ”Tak Sehat” Warga Kota

Sindonews.com PDF Print
Monday, 12 December 2011   
 Realitas belanja yang sudah masuk pada ranah ‘ketagihan’ memang sudah menjadi budaya baru di level masyarakat kota.Para shopaholicselalu merasa kurang jika belum berbelanja barang yang disukainya.

”Saat ini semua orang mencari kesenangan dan pemuasan diri dengan jejalan materi yang terus saja ingin dimiliki,” kata Dosen Komunikasi Lintas Budaya Universitas Trunojoyo Muchtar W.Oetomo. Menurut dia orang tak lagi berpikir barang yang akan dibelinya memang dibutuhkan atau tidak. Mereka hanya berpikir bahwa dengan membeli barang baru akan menambah gengsi.Belanja dimaknai sebagai sebuah tuntutan zaman. Kebutuhan itu disambut produsen yang memang begitu pintar melihat situasi.

Produsen terus memberikan banyak kemudahan bagi siapapun yang ingin memiliki. Banyak hal mendukung budaya baru itu, seperti tawaran kemudahan kartu kredit, diskon besar-besaran, paket hemat dan berbagai bonus menggiurkan. Akhirnya pasar terpikat dan terus saja membeli tanpa akhir. ”Sebenarnya kondisi seperti ini tidak sehat karena orang sudah mengalami metabolisme yang tidak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran,” ujar Muchtar.

Namun memang harus disadari begitulah gaya hidup warga kota, di mana akses mendapatkan materi dan menyenangkan diri begitu mudah.Bahkan, gaya hidup seperti ini tak hanya dimiliki orang kota saja. ”Jika orang di desa diberi kesempatan yang sama, mereka juga akan memiliki gaya hidup konsumtif yang sama,”tutur dosen yang juga mengajar di Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya ini. Kebiasaan belanja tanpa henti ini takkan berakhir jika tak ada kesadaran dari masingmasing individu.Bahkan Muchtar memprediksi nanti akan ada kesadaran kolektif yang menjalar bersamaan dalam lingkungan masyarakat.

”Kesadaran kolektif ini akan tercapai jika sudah dalam titik jenuh. Dan nantinya masyarakat baru akan merubah gaya hidup mereka ini,”tukas Muchtar. Analisa Muchtar memang tak berlebihan. Lihat saja sejumlah mal di Surabaya tak pernah kehabisan pengunjung. Tak hanya akhir pekan saja pengunjung mal membludak. Di hari-hari biasa pun banyak orang melewatkan kesehariannya di pusat perbelanjaan untuk sekedar jalan-jalan ataupun berbelanja. Berbelanja sudah menjadi budaya baru di lingkungan masyarakat. Sehari saja tak berbelanja, seorang mahasiswi cantik bernama Rizky Amalia Hapsary merasa tak bersemangat.

”Kalau nggak shopping rasanya ada yang kurang,”ujarnya.Tak pernah seharipun ia lewatkan tanpa berbelanja. Minimal seminggu, ia berbelanja sebanyak tiga kali.Kebiasaan mahasiswi semester V jurusan Hubungan Internasional (HI) UPN ini semua mal di Surabaya sudah ‘tuntas’ ia kunjungi. Sangat jarang Kiki pulang dari mal dengan tangan kosong. Namun uang yang ia belanjakan ini tak hanya dari uang sakunya saja.Karena gadis berkerudung ini juga mempunyai bisnis online yang menghasilkan pemasukan cukup besar.

”Saya punya usaha sampingan online shop yang menjual pernik cewek. Di mana profit-nya saya pakai untuk belanja,” ujarnya. Kiki sendiri menjadi shopaholic karena awalnya suka memakai high heels. Untuk itulah dalam sebulan ia terus saja berburu high heels model terbaru di mal-mal. ”Pertamanya sih tahu produk terbaru dari majalah baru setelah itu mencari di mal,”katanya. Bahkan mahasiswi asli Kediri ini tak peduli jika barang kesukaannya dibanderol dengan harga normal atau harga diskon. ”Yah siapa yang tak suka barang diskon.

Saya juga mau banget kalau harganya dipotong,” tutur Kiki Jika tersiar kabar di salah satu mal sedang ada diskon besar, Kiki langsung saja ngemal. Hobi belanjanya ini tak ia lakukan beramai-ramai bersama teman kuliah, melainkan seringkali ia jalan bersama kekasihnya. Menurut Kiki kurang asik kalau belanja beramairamai karena tujuannya pasti berbeda. ”Kalau sama pacar meski diomelin tetap saja saya belanja terus,”katanya sambil tertawa. Hobi belanjanya ini tak jadi soal bagi orangtuanya. Malah sang bunda sering titip dibelikan tas produk terbaru di Surabaya.

”Terkadang kalau uang mepet saya sengaja bawa uang cash minim dan tak membawa kartu kredit.Tapi kalau sudah lupa bisa habis uang di dompet semuanya,”ucapnya. Dalam satu bulan, Kiki bisa menghabiskan uang Rp5-7 juta untuk belanja.Sama halnya dengan mahasiswi HI Unair Agita Tunjungsari yang juga menghabiskan banyak uang untuk shopping.Namun lain dengan Kiki, Gita suka sekali berburu baju dan aksesoris ala Korea. Sementara itu, berbelanja ternyata juga bisa mendatangkan keuntungan berlipat. Jadi tidak selalu bermakna menghabiskan uang.

Setidaknya itulah yang dialami Noer Muhammad, 55, ini. Gara-gara makan di Surabaya Town Square (Sutos), ia mendapat undian satu unit mobil. ”Malam pengundian itu saya ditelepon. Tapi mulanya saya tidak percaya,” kata Nur. Ia memenangi undian Lunch Saving 50 % ala Sutos. Pria asal Madiun ini datang ke Surabaya memang bukan ”gila diskonan”.Melainkan untuk mengunjungi anaknya yang kuliah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar