Oleh Mochtar W Oetomo http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=130888
Suara Karya, Senin, 26 Desember 2005
Jika kita selami seluruh kenyataan politik di orbit politik Indonesia,
sesungguhnya kita akan sulit menemukan sebuah logika, proses, realitas
dan laku politik yang rasional dan komunikatif. Apa yang lebih banyak
kita temukan adalah fenomena-fenomena kitsch politik. Kitsch dalam
terminologi post-modernisme menyiratkan sebuah karya (dan) seni yang
murahan, miskin orisinalitas, keotentikan dan kreativitas. Kitsch
politik dengan demikian adalah sebuah karya (atau) seni politik selera
rendah, sebuah tontonan politik murahan, miskin kreativitas dan hampa
daya intelektualitas. Apakah fenomena kitsch politik juga akan mewarnai
perpolitikan nasional 2006?
Drama pemberantasan korupsi melalui eksplorasi berbagai kasus korupsi
di berbagai daerah yang melibatkan gubernur, bupati, walikota atau
anggota DPRD, mencerminkan sebuah laku politik murahan dan tidak
orisinal. Seluruh kekuatan politik seolah bergerak membombardir pelaku
korupsi di berbagai daerah dengan tanpa menyentuh sedikit pun
pelaku-pelaku korupsi kelas kakap di ibu kota negara. Meski telah begitu
banyak bukti dibentangkan, tidak satu pun kekuatan politik berusaha
fokus atau bahkan sekedar menyentilnya. Kecuali untuk kasus
Probosutedjo, yang justru dimulai oleh keterusterangan Probo sendiri.
Upaya penambahan pendapatan negara dan penyaluran bantuan kepada rakyat
miskin dengan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak), mencerminkan
sebuah laku politik yang miskin kriativitas, temporer dan tidak menambah
kredit point bagi konstruktivitas perkembangan ekonomi makro di
kemudian hari. Dengan menaikkan harga BBM tanpa mekanisme transparan
dalam distribusi subsidi adalah sebuah kebijakan jalan pintas.
Peluncuran kebijakan seperti itu pernah dilakukan pemimpin-pemimpin
sebelumnya, tidak pernah membawa hasil yang secara nyata bisa dilihat
dan dirasakan oleh rakyat. Ini merupakan duplikasi kebijakan ala masa
lalu, yang menunjukkan tidak adanya intelegensia bagi upaya penyelesaian
krisis ekonomi yang kian hari kian membelit pikiran, emosi, jiwa dan
tubuh rakyat. Duplikasi adalah salah satu karakter utama dari kitsch.
Dengan menaikkan harga BBM, diharapkan kemudahan penggalian dana pun
akan terjadi seperti masa lalu. Sebuah kebijakan yang miskin
kreativitas, tanpa memperhitungkan efek yang sama yang mungkin terjadi.
Yang paling dramatik adalah kebijakan tentang penanganan ratusan ribu
warga negara di Malaysia (TKI) yang terpedaya dan teraniaya serta
kebijakan tentang perlindungan kawasan Celah Timor (dan sebelumnya
Ambalat) yang secara sepihak dieksplorasi oleh Australia. Semua
dilakukan tanpa alternatif-alternatif dan prediksi yang rasional, tanpa
jiwa dan keteguhan sikap sebagai pelindung rakyat dan warga negara. Ini
khususnya terkait dengan lemahnya sikap dalam kasus Papua, Celah Timor
dan Ambalat).
Dari semua ilustrasi di atas menunjukkan, hampir setiap kebijakan
penting yang diambil bukannya menyelesaiakan masalah, sebaliknya malah
menambah masalah dengan problem-problem baru tentang keadilan, hukum,
orang yang kehilangan rumah dan mata pencaharian dan ancaman kehilangan
sebuah wilayah. Sebuah kebijakan yang tidak didasari oleh sebuah
argumen, prediksi dan alternatif adalah sebuah kebijakan kitsch,
kebijakan murahan, yang siapa pun bisa melakukannya. Sebuah upaya
penyelesaian masalah dengan menambah masalah adalah sebuah kitsch,
sebuah laku politik yang masygul dan buta. Apakah politik macam ini
masih akan berlangsung sepanjang 2006?
Seperti ungkapan Gillo Dorfles, kitsch politik adalah sebuah politik
yang kaya intensitas, tetapi miskin kreativitas, yang sarat eksekusi
namun miskin jawaban, yang penuh keteguhan, ketegaan dan ketegasan namun
hampa kearifan, yang penuh gebyar popularitas namun dangkal
spiritualitas. Intensitas itu tinggal menjadi simulasi politik,
berhamburan namun tak satu pun berkaitan dengan realitas publik. Sebuah
kebijakan penuh keteguhan dan ketegasan, seperti kebijakan kenaikan
harga BBM, namun miskin jawaban dan tidak ada kearifan terhadap problem
susulan yang muncul, dan pertanyaan tentang kemungkinan penyelewengan
dana subsidi.
Penuh gebyar popularitas karena skala persoalan (seperti kasus Azahari
dan Probosutedjo) namun miskin spiritualitas, semangat konstruktivisme,
keadilan, kesetaraan hukum, kebersamaan dan kedamaian. Penuh kegagahan
karena perfomance, seperti aksi patroli kapal dan pesawat tempur di
kawasan Celah Timor dan Ambalat, tetapi miskin jiwa dan kecerdasan.
Kitsch politik adalah sebuah bentuk politik komunikasi, yang menurut
Umberto Eco bertujuan untuk menghasilkan "efek segera". Segera tampak
ada program (baca: pemberantasan KKN), segera ada putusan, segera
mendapatkan uang (baca: kenaikan harga BBM), segera tampak peduli (baca:
Aceh, kasus Azahari, Reshuffle, Probosutedjo). Karena 'efek segera' ini
amat diperlukan dalam peradaban dan kebudayaan massa seperti sekarang
ini.
Kitsch politik tidak terlalu memandang penting logika dan rasionalisme
politik, karena yang penting adalah gebyar dan popularitas politik. Apa
yang utama bukan diskursus, akan tetapi figurasi dan tontonan. Dan, apa
yang harus bukanlah penyelesaian atau alternatif, melainkan tindakan.
Bukan pula kebenaran dan jawaban akan tetapi konsumsi dan dukungan.
Bukan kedalaman akan tetapi keartifisialan kehadiran. Untuk itu sebuh
kitcsh politik memerlukan sebuah kekuatan lain di luar dirinya.
Eksistensi kitsch politik yang bergantung pada keberadaan objek, konsep
atau kriteria bersifat eksternal. Politik tinggi (kasus, Azahari dan
Probosutedjo), objek sehari-hari (kenaikan harga BBM), tokoh (Azahari,
Munir, Abdullah Puteh) dan yang lebih penting dari semua itu adalah
media massa. Karena, kitsch memerlukan kekuatan eksposur dan
representasi dan kekuatan citra media untuk menghadirkan sebuah objek
politik ke hadapan khalayak, memberinya gaya, menghadirkan efek segera,
gebyar dan popularitas.
Kitsch politik memang menyegarkan, namun sesungguhnya tidak
mencerdaskan. Memang indah, seperti keindahan terhukumnya banyak
koruptor di daerah, namun tidak berisi. Megah, seperti sigapnya pasukan
Polri dalam menggerebek dan menewaskan Dr Azahari, dan enak ditonton
(seperti penangkapan-penangkapan anggota jaringan Azahari-Noordin M Top)
di berbagai kota yang berlaku setiap hari, namun tidak memiliki spirit
dan kearifan. Dramatis dan variatif, namun dangkal, dungu dan tidak
bermakna apa-apa. Meriah, seperti meriahnya berbagai peristiwa dan
berita dramatik yang kita nikmati akhir-akhir ini dalam lautan informasi
dan jagad media, namun tidak berkaitan apa-apa dengan realitas dan
kepentingan publik.
Kitsch politik, seperti ujar Baudrillard, hanyalah akan memusnahkan
tradisi diskursi publik. Musnahnya tradisi diskursi hanya akan
menyuburkan masyarakat mengambang (floating mass). Floating mass hanya
melahirkan silent majorities, masyarakat yang diam. Dan, akhir atau
puncak dari silent majorities adalah explosion majorities, mayoritas
yang eksplosif, mayoritas yang meledak. Peristiwa Mei 1998 hanyalah
salah satu contoh.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar