Sabtu, 15 Desember 2012

Perempuan Dalam Kubangan Pseudo-Metaphor

KPK, 15 Desember 2012
 http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2070

Di tengah buah emansipasi yang diperjuangkan RA Kartini, syahdan masih banyak perempuan di negeri ini yang terjebak ke dalam kubangan pseudo-metaphor. Mereka berada pada gambaran semu yang dipergunakan untuk menghibur adanya kondisi inferior dan krisis percaya diri. Tidak semua memang, tapi tak dimungkiri bahwa itu ada. Alhasil, kita bisa menjumpai istri pejabat yang lebih suka bergonta-ganti mobil mewah dan mengikuti arisan bernilai ratusan juta rupiah, meski dia tahu bahwa gaji sang suami sebenarnya tidak menopang untuk gaya hidup super mewah seperti itu.

Pengusaha perempuan juga lebih senang main suap sana suap sini, untuk memuluskan berbagai usaha yang ditanganinya. Semua dengan satu tujuan, untuk menutupi kekurangmampuan mereka jika menjadi diri sendiri.

Pseudo-metaphor memang menyerupa topeng. Semua serba seolah-olah. Seolah-olah berdaya padahal sama sekali tanpa tenaga, seolah-olah berpunya padahal tidak ada apa-apanya.  adalah Srikandi, tokoh emansipasi dunia pewayangan, yang menurut pakar komunikasi dari Surabaya, Mochtar W. Oetomo, menjadi simbol pseudo-metaphor.

Dalam kisah pewayangan, orang banyak mengenal Srikandi sebagai pahlawan perempuan. Dialah satu-satunya perempuan yang berperang, yang akhirnya mampu menewaskan Resi Bisma yang teramat sakti. Srikandi akhirnya dipuja, bahkan dijadikan lambang keperkasaan dan keberartian perempuan. 

Tapi, benarkah Srikandi yang menaklukkan Bisma? Ternyata tidak. Pembunuh Bisma yang sebenarnya adalah Amba, gadis yang ditolak cintanya oleh Bisma sewaktu muda. Setelah patah hati, amba kemudian tewas dan menyimpan dendam untuk ganti membunuh Bisma. namun, waktu pembalasanitu tidak datang begitu saja.

Barulah pada saat Baratayudha berkecamuk, Amba berkesempatan melakukannya. Saat yang ditunggung-tunggu itu adalah, tatkala Srikandi tengah bersiap-siap menarik anak panahnya. Saat itulah amba menyusup ke raga Srikandi dan segera melesakkan panah tersebut. Mengetahui bahwa yang merasuki Srikandi adalah Amba, Bisma membiarkan dadanya dihujani anakpanah sebagai upaya penebusan kesalahannya pada amba. Bisma tewas, Srikandi pun dipuja.

Srikandi dijadikan pahlawan, meski sejatinya dia  alat pembalas dendam Amba. Sungguh, sanjungan yang diberikan kepada Srikandi persis seperti istri pejabat yang terjebak dalam kehidupan jetset tersebut.

Lantas, bisakah kaum perempuan melepaskan diri dari pseudo-metaphor? Bisakah mereka tidak menjadi Srikandi namun Kartini? Bisakah mereka memainkan peran emansipasinya dengan sederhana namun bermakna? Mengapa tidak! Salah satunya adalah, dengan meninggalkan kepura-puraan dan sikap yang serba seolah-olah itu tadi. Jika memang kemampuan ekonomi mereka terbatas, maka sebaiknya tidak meminta lebih dari sang suami agar anggaran rumah tangga tidak lebih besar pasak ketimbang tiang.

Sedangkan bagi para pengusaha perempuan, sebaiknya meningkatkan kompetensi dan integritas, agar usahanya juga berjalan dengan halal dan sesuai aturan hukum. Jadilah diri sendiri, wahai perempuan. Tinggalkanlah kubangan pseudo-metaphor!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar