Dalam komunikasi politik terdapat teori-teori yang berkaitan dengan
komunikasi politik, secara garis besar teori ini terbagi pada dua macam
yaitu teori kepribadian dan diri politik[1].
Teori kepribadian dalam politik.
Jumlah teori tentang kepribadian sama banyaknya dengan jumlah
defenisinya. Pada tulisan ini akan difokuskan pada beberapa saja
diantaranya, tetapi lebih spesifik pada yang memberikan gambaran tentang
belajar politik.
1. Teori kebutuhan.
Teori kebutuhan mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan
psikologis, rasa mana dan kepastian, kasih sayang, penghargaan diri, dan
katualisasi diri. Perilaku manusia merefleksikan upaya untuk memenuhi
kebutuhan ini. Kecuali jika orang telah memenuhi kebutuhan pokok
tertentu –kebutuhan akan makanan, pakain, rumah, energi, keturunan, dsb-
sedikit seklai kemungkinan bahwa mereka akan berpikir, merasa atau
bertindak secara politis. Orang hanya berbalik kepada politik hanya
setelah memenuhi kebutuhan pokok fisik dan sosial.
Para perumus teori kebutuhan berargumentasi bahwa banyak diantara yang
dipelajari orang tentang politik bergantung pada kepribadian yang
diperoleh pada masa kanak-kanak sementara berusaha memenuhi kebutuhan
pokok psikologis dan sosial pada masa dini usianya.
Tulis Knutson, betapa pentingnya pola kepribadian yang dipelajari anak
sebelum memulai pendidikan formalnya. Sehingga “Kperibadian individu,
sebagai mana dibentuk dalam tahun-tahun pertama usianya, akan merupakan
sumber yang lebih penting meskipun kurang tampak dari ‘informasi, nilai,
atau perasaanya di hadapkan kepada’ peraturan dasar yang pokok yang
mengerjakan dan menghubungkan seluruh sistem kemanusiaan –sosial,
politik, dan ekonomi –kepada ketimbang sosialisasi yang terjadi
bersamaan dan di kemudian hari terwujudnya yang mempengaruhi dirinya.
Ringkasnya, kebutuhan membuat anak itu menjadi bapak manusia politik.
2. Teori psikoanalitik.
Dua variasi yakni personal dan interpesoanal, bagaimana kepribadian mempengaruhi belajar dan perilaku politik.
Personal. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi
Sigmund Freud. Freud berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif
yang tak disadarinya maupun atas dasar pikiran, perasaan dan
kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari. Freud berpendapat
tentang proses yang menjadi pokok berfungsinya kepribadian:
(1) Id, yaitu proses orang yang berusaha memaksakan keinginnanya akan hal yang menyenangkan.
(2) Ego, alat yang digunakan untuk menliai sekitar orang itu, atau realitas.
(3) Superego, yaitu gagasan orang diturunkan (biasanya melalui pengalaman dengan orang tuanya) tentang apa baik dan buruk itu.
Proses id mencari kesenangan dan perasaan benar atau salah,
direfleksiakn didalam superego, sering berselisih. Ego menyeleseikan
konflik ini melalui berbagai mekanisme pertahanan.
Mekanisme ini mencakup represi (memaksakan kepercayaan nilai, dan
pengharapan yang mengancam keluar dari kesadaran), pengalihan
(mengalihkan reaksi emosional dari satu objek ke objek yang lain),
sublimasi (mencari cara yang dapat diterima untuk mengungkapkan dorongan
yang dengan cara lain tidak diterima), rasionalsasi ( memberikan alasan
yang meragukan untuk membenarkan perilaku atau utnuk menghilangkan
kekecewaan), regresi (kembali kepada perilaku yang tidak dewasa,
pembentukan reaksi (beralih dari satu ekstrem kepada ekstrem yang
berlawanan), introjeksi (memungut pendirian orang lain sebagai pendirian
sendiri), atau identifikasi ( meningkatkan rasa kuat, aman dan atau
terjamin dengan mengambil sifat orang lain)
Teori psikoanalitik yang dibawa ke dalam dunia politik ini mengemukakan
bahwa mekanisme pertahanan yang tidak disadari menghalangi belar politik
yang adaptif.
Interpersonal. Varian intrepersonal dari teori psikoanalitik sebagian
besar berasal dari karya Harry Stack Sullivan. Dalam kata-kata Sullivan,
“Keprinadian adalah pola yang relatif kekal dari situasi interpersonal
yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia.” Sullivan menerima
pandangan bahwa manusia memiliki kebutuhan biologis sebagai pembawaan.
–kebutuhan akan makanan, air, kehangatan, dan pembuangan yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Tambahnya, bahwa manusia membutuhkan rasa aman
dari pengalaman dengan orang lain yang membangkitkan kecemaan maupun
jaminan pemuasan ketegangan yang bersifat biologis. Dan dalam mengurangi
kecemasan dan memuasakan tuntutan bilogis orang sering terbentur pada
hubungan sengan oarang lain yang rumit dan menyimpang.
Dalam keadaan ini orang mengembangkan mekanisme pertahanan, atau apa
yang oleh Sullivan disebut “operasi keamanan”., untuk memelihara rasa
aman bersama sesamanya. Sullivan menekankan empat operasi yaitu:
(1) Sublimasi, yang sama dengan mekanisme pertahanann yang diakui dalam teori Freud.
(2) Obsesionalime, yaitu kecenderungan gagasan atau dorongan untuk
tumbuh begitu mendesak dan mengganggu sehingga individu tidak dapat
menghilangkannya dari kesadaran (dalam beberapa hal, dorongan ini
mengambil bentuk verbalime ritualisitk dengan sifat hampir magis.
(3) Disosiasi, yaitu mekanisme untuk menjaga agar pikiran yang bertentangan tetap terpisah,
(4) Keacuhan selektif dan lawannya, perhatian selektif, atau kebiasaan
melihat apa yang kita ingin melihatnya dan menghindari informasi yang
mengancam. disosiasi dan keacuhan selektif memilki gabungan langsung
dengan komunikasi politik dan proses opini.
Selain itu para peneliti sosialisasi politik yang mengambil dari
pemikiran Sullivan, mengemukakan bahwa salah satu cara utama anak-anak
memperoleh kepercayaan dan nilai politik ialah melalui proses pengalihan
interpersonal.
3. Teori Sifat.
Teori-teori dalam kategori ini berfokus pada kecenderungan atau
predisposisi yang menentukan cara orang berprilaku. Setiap kepribadian
mengandung seperangkat sifat yang unik dan individual. Oleh karena itu,
orang dapat dibandingkan satu sama lain berdasarkan perbedaan sifat
mereka –perbedaan yang diukur dengan skala yang menujukan berapa banyak
sari setiap sifat itu yang dimiliki seseorang.
Contohnya sifat kepribadian yang diukur dengan skala seperti ini
meliputi apakah seseorang mudah menyesuaikan diri atau kaku, emosional
atau tenang, cermat atau ceroboh, konvensional atau eksentrik, mudah
cemburu atau tidak, sopan atau kasar, pembosan atau tekun, lembut atau
keras, rendah hati atau sombong, dan lemah atau bersemangat. Sejumlah
ilmuwan sosial menerangkan politik sebagai refleksi sifat kepribadian.
Studi lain berusaha menentukan sifat yang mencakup kepribadian
konservatif.
4. Teori tipe.
Teori ini mengklasifikan orang ke dalam kategori-kategori berdasarkan
karakteristik yang dominan atau tema pokok yang timbul berulangkali
dalam perilaku politik mereka. Meskipun kebanyakan upaya untuk
menguraikan kepribadian politik telah menerapkan teori tipe berfokus
pada karakter dan gaya pemimpin politik, di sini perhatian kita adalah
pada mereka yang etlah menggunakan teori tipe untuk memperhitungkan
bagaimana khalayak komunikasi politik belajar menanggapai dengan
berbagai cara.
Dalam teori ini berdasarkan perbedaan dalam pengaruh orang tua terhadap
kepribadian seseorang terbadi pada beberapa tipe golongan, diantaranya:
(1) Golongan Inaktif adalah sesorang yang berpartisipasi dalam
organisasi politik atau sosial di suatu tempat, mereka sama memiliki
tipe asuhan orang tua yang sama. Orang tua mereka mengkhawatirkan
kesehatan, konformitas, dan kepatuhan akan tuntutan orang tua.
(2) Golongan kovensionalis terdiri dari anggota perkumpulan laki-laki
dan perempuan. Orang yang relatif sedikit keterlibatannya dalam politik
dan merupakan stereotif “Orang Biasa” yang konvensional, orang tua yang
konvensional pada umumnya setia kepada nilai sosial tradisional seperti
tanggung jawaban, konformitas, prestasi, dan kepatuhan serta menuntut
perilaku yang patut secara sosial dari anak-anak mereka. Oarang tua ini
menggunakan hukuman fisik fisik dan psikologis dalam mendidik anak-anak
mereka.
(3) Golongan konstruktivis bekerja pada proyek pelayanan sosial, tetapi
jarang menjadi peserta protes yang terorganisasi; orang tua mereka
menekankan disiplin, prestasi, dan keandalan, pengungkapan diri yang
terbatas, dan menggunakan hukuman nonfisik. Mereka lebih diakrabi
anak-anak mereka ketimbang orang tua golongan konvensionalis.
(4) Golongan aktivis mengajukan protes ataus kekecewaan mereka terhadap
kejelekan masyarakat yang dipersepsi dan juga turut dalam proyek
pelayanan masyarakat untuk memperbaiki keburukan itu, orang tua mereka
mendorong anak-anak merela untuk independen dan bertanggungjawab,
mendiring ekspresi diri berupa jenis agresi fisik, dan keurang menekan
disiplin jika dibandingkan dengan kelompok yang diuraikan diatas. Namun
mereka mengenang hubungan dengan orang tua sebagai hubungan yang kaku.
(5) Golongan penyingkin (disenter) adalah yang hanya terlibat dalam
protes-protes terorganisasi. Orang tua golongan ini tidak konsisten
dalam melaksanakan pendidikan anak. Mereka serba membolehkan (permisif)
dalam bidang tertentu,d an sangat ketast (restriktif) dalam bidang lain,
mereka kurang menekankan indenpedensi dan kedewasaan yang dini
dibandingkan dengan orang tua yang lain, namun menuntut prestasi melalui
persaingan. Golongan pengingkar jauh lebih cenderung unturk memprotes
sebagai bentuk pemberontakan terhadap orang tua daripada dalam golongan
yang lain.
Kebaikan atau kekurangan tipologi seperti itu di sini bukan pokok
masalah, melainkan hanya contoh tentang bagaimana para sarjana
kadang-kadang mencoba menerangkan politik sebagai refleksi kepribadian.
Berbeda dengan teori sifat, pandangan tipe bukan menujukan kecenderungan
yang menentukan perilaku, melainkan berfokus pada konsfigurasi perilaku
yang memisahkan orang terhadap satu sama lain. Namun, baik dalam teori
sifat maupun teori tipe, masa kanak-kanak mempengaruhi permainan peran
utama dalam memberi bentuk kepada pengungkapan politik. Tema bahwa
manusia politik itu dilahirkan dari anak, sekali lagi terjadi.
5. Teori fenomenologis.
Teori fenomenologis adalah pandangan bahwa peran kepribadian dalam
perilaku (termasuk kepribadiandalam politik) paling mudah dipahami
dengan melukiskan peranan langsung orang –yaitu proses yang digunakan
oleh mereka yang memeprhatikan dan memahami fenomena yang disajikan
langsung oleh mereka.
Oleh sebab itu, teori fenomenologis menekankan bahwa cara orang
mengalami dunai secara subjektif –sensasi, perasaan, dan fantasi yang
terlibat- adalah titik tolak untuk meneliti bagaimana orang menanggapi
berbagai objek.
Dua garis uatam berpikir merefleksikan pendekatan fenomenalogis yaitu:
(1) Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi
bahwa aspek utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman
ke dalam pola atau konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan
dalam menyusun persepsi.
(2) Teori medan. Teori ini berargumentasi bahwa kepribadian (pola
perilaku yang kekal dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat
menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap orang memilki ruang hidup
yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak, individu mendekati atau
menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaiaman ia memahami
gaya itu saat bertindak.
Pengalaman yang lalu tentu bisa merupakan gaya di dalam medan itu,
tetapi tidak menentukan bagaimana orang akan bertindak terhadap objek
dalam situasi tertentu. Teori medan. Menolak gagasan bahwa penyebab
tindakan manusia terletak pada masalah yang sudah lama dari setiap
individu; sebaliknya, bidang pada saat sekarang adalah produk dari
bidang tersebut menurut keadaanya pada masa yang baru saja lewat
pengalaman masa lalu jauh turut membentuk bidang masa sekarang secara
tidak langsung dengan perjalanan waktu, tetapi pengalaman yang segera
memberikan keterangan yang lebih pasti tentang mengapa orang berperilaku
seperti apa yang dilakukannya dalam bidang masa sekarang.
Teori bidang mencakup dua gagasan yang mempunyai relevansi khusus dengan
politik, yang pertama ialha bahwa belajar politik merupakan proses
kumulatif, bahwa pengalaman yang sedang dialaminya membantu seseorang
mendiferensiasikan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang difus yang
dipungutnya pada msa kanak-kanak. Manusia politik mengajari anak masa
lalu dengan melibatkan diri ke dalam pengalaman yang baru yang
sebelumnya tidak diperhitungkan.
Kedua, sekelomok ilmuwan sosial menggunakan teori medan untuk mengarahkan riset ke dalam perilaku suatu bangsa.
Diri Politik.
Pada bahasan diatas telah jelas bahwa kepribadian adalah totalitas
perilaku individu yang terwujud dalam kecenderungan yang berulang dan
berpola pada seluruh variasi situasi dan mengenai berbagai objek dan
berpola pada seluruh variasi situasi dan mengenai berbagai objek. Salah
satu objek tindakan orang sehari-hari adalah diri sendiri. Tidak berbeda
dengan tindkan terhadap orang lain, orang bisa menghargai dan mendorong
diri sendiri atau merasa jijik, menayalahkan dan menghukum diri
sendiri.
Banyak orang yang memperoleh diri politik, yakni bagian da\ri diri yang
terdiri atas “paket orientasi indibidual mengani politik sosialisasi
poltik menghasilkan diri politik”. Ada beberapa teori mengani cara
terjadinya hal ini, diataranya:
1. Teori adopsi.
Dengan memberikan perhatian mereka kepada bagaiman orang memperoleh
pikiran, perasaan, dan kecenderungan, psikolog sosial mengajukan
berbagai model yang melukiskan cara memperoleh “semua pengetahuan di
dunia, dengan benar atau keliru, yang dimiliki oleh organisme tertentu
katakanlah manusia”, dan cara memperoleh “signifikansi yang efektif,
pada neraca yang dinginkan lawan yang tak diinginkan, yang diletakkan
kepada setiap keadaan tertentu.
Label umum yang diterapkan pada model-model ini ialah teori belajar
sosial. Teori belajar sosial mengatributkan cara memperoleh kepercayaan,
nilai, dan pengaharapan personal kepada pengalaman individual dengan
orang lain, objek, atau peristiwa. Ada dua tipe pengalaman demikian-
langsung dan tidak langsung.
2. Teori perubahan.
Teori belajar sosial menekankan berbagai cara yang mungkin digunakan
orang dalam mengadopsi pikirna, perasaan, dan kecondongan awal mereka.
Namun, seperti yang dikemukakan, teori ini tidak banyak membicarakan
proses mental yang terlibat, juga tidak menerangkan perubahan dalam
opini awal.
Teori konsistensi adalah seperangkat model yang berfokus pada perubahan
opini. Model-model ini memperhitungkan bahwa orang tidak hanya
mempersepsi tanda, atau rangsangan –pokok dasar gagasan belajar sosial-
tetapi juga menginterpretasi dan menanggapi tanda berdasarkan
interpretasi itu.
Teori penjulukan (labelling theory) mengatakan bahwa proses penjulukan
adapat sedemikian hebat sehingga korban-korban msinterpretasi ini tidak
dapat menahan pengaurhnya. Karena berondongean julukan yang bertentangan
dengan pandangan mereka sendiri, citra-diri asli mereka sirna,
digantikan citra-diri baru yang diberikan orang lain. Dampak penjulukan
itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran penjulukan
tersebut, terutama bagi orang dalam posisi lemah, rakyat jelita
misalnya, benar atau salah, penjulukan itu reaksi yang diberikan objek
yang dijulukui terhadap orang lain “membenarkan” penjulukan tersebut.
Maka nubuat itu telah dipenuhinya sendiri, dan dalam kasusu ini menjadi
realitas bagi si penjuluk dan orang yang dijuluki (phlip fones,
1985:65). Pernyataan klasik sosiolog ternama William I Thomas “if men
define situation as real they are real in their consequences” yang
terkenal itu masih aktual. Manusia memutuskan melakukan sesuatu
beradsarkan penafsiran atas dunia di sekeliling mereka[2].
Pustaka Acuan.
Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Dan Nimmo, 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Yosat. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
[1] Dan Nimmo, 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Hal: 91.
[2] Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosda Karya Hal: 69.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar